April 18, 2024
iden

Adu Argumen Ahli IT Terkait Situng di Sidang MK

Pada sidang mendengarkan keterangan saksi dan ahli pada perkara perselisihan pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres), isu Sistem Informasi Penghitungan (Situng) menjadi salah satu isu yang diperdebatkan, disamping isu Daftar Pemilih Tetap (DPT), status Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas pada Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah dan Bank Syariah Mandiri, dan penyalahgunaan aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi. Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon (paslon) 02 mendatangkan dua ahli informasi dan teknologi (IT),yakni Jaswar Koto dan Soegiyanto Soelistiono, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadirkan ahli IT dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Marsudi Wahyu Kusworo. Sementara Tim Kampanye Nasional (TKN) 01 sebagai pihak terkait tak mengajukan ahli IT.

Keterangan ahli BPN

Jaswar Koto, selanjutnya ditulis Jaswar, merupakan President of Ocean and Aerospace Research Institute, Indonesia dan President of International Society of Ocean, Mechanical & Aerospace (ISOMAse). Pada profil Jaswar yang dimuat oleh Tirto.id, Jaswar mengecap pendidikan pada Program Studi Fisika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada 1994. Ia kemudian meraih gelar magister program studi Manajemen dari Notre Dame University, Australia, pada 2000, dan doktor pada Prefecture University, Jepang, tahun 2004 dalam bidang Engineering, Aerospace and Ocean Engineering, School of Engineering.

Dalam keterangannya, Jaswar mengatakan ada keanehan dari Situng. Keanehan ditemukan Jaswar setelah melakukan tujuh metode, diantaranya analisis eror pada data entri untuk memeriksa apakah eror terjadi secara acak atau terpola, photo phir untuk melihat perubahan pada data, Google platform untuk membandingkan data dari hari ke hari, dan forensik ELA untuk mengetahui apakah C1 yang diunggah adalah foto C asli atau telah diedit. Kesimpulannya, mayoritas C1 yang diunggah ke dalam Situng adalah C1 editan.

“Dari banyak C1 yang kami gunakan dengan photo phir, kami menyimpulkan C1nya sudah diedit. Forensik ELA, misal, kita punya tembok dengan warna yang pudar. Setelah itu, saya tulis dengan cat baru. Di tengah malam, saya kasih cahaya. Kira-kira mana yang memberikan pantulan yang terang? Tentu yang baru. Maksudnya, dinding yang warna pudar tersebut menyerap cahaya. Tapi cat yang baru butuh cahaya besar. Makanya, yang putih itu, diedit,” kata Jaswar pada sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat (20/6).

Selain itu, Jaswar juga menerangkan temuan DPT bermasalah yang disebutnya dengan ghost voters. Dari 110 juta data pemilih yang dianalisis, terdapat 27 juta pemilih ganda. Sebelumnya, dengan data 89 juta pemilih, ditemukan 22 juta pemilih ganda.

“Data ini valid karena saya dapat data (DPT) ini dari Idham (saksi BPN). Ini data KPU. Memang, ada pemilih yang berumur 1 tahun (yang masuk DPT),” tandasnya.

Ahli BPN yang kedua, Soegiyanto Soelistiono, adalah dosen pada program studi Fisika pada Universitas Airlangga (Unair). Ia menamatkan S1 Fisika di Institut Teknologi Sepuluh November tahun 1992, mendapatkan gelar Magister Manajemen, dan gelar doktor didapatkan dari ITBu ntuk jurusan Fisika Komputasi.

Soegiyanto menyampaikan terjadinya perubahan data di dalam Situng setiap harinya. Dari pengamatan yang dilakukan, suatu hari ada 500 TPS yang datanya berubah. Pada tanggal 1 Ramadan, perubahan data Situng mengakibatkan turunnya suara paslon 02 sebanyak 107 ribu, sementara suara 01 tak berkurang. Secara keseluruhan, perubahan data, meski terjadi pula pada perolehan suara paslon 02,  secara signifikan menaikkan perolehan suara paslon 01.

“Pada saat kita sedang awal pertama kali salat tarawih, itu nomor 02, itu turun sebanyak 107.000 suara. Sementara, Nomor 01 tidak akan pernah turun, selalu naik. Jadi, logikanya kalau misalkan menambahkan sesuatu, maka setiap 15 menit itu penambahan itu harusnya, harus ada penambahan didua-duanya, begitu. Tapi, kenapa di 15 menit itu, tiba-tiba itu menjadi tidak ada? Menjadi atau berkurang,” tukas Soegiyanto.

Pengamatan yang dilakukan Soegiyanto menggunakan metode Snapshot. Seluruh halaman Situng di-snapshot dua kali sehari dan data ditampung oleh 16 server dan disimpan di dalam database. Ia memprediksi telah terjadi penggelembungan suara pada Situng sebanyak 20 juta untuk paslon 01.

“Yang saya analisis ini adalah penggelembungan sebanyak 20 juta. Mungkin nanti bisa dieksplorasi dari angka-angka yang sudah saya berikan,” kata Soegiyanto.

Keterangan ahli IT KPU

Marsudi Wahyu Kusworo mengenyam pendidikan sarjana jurusan Pengaturan dan Komputer di ITB. Kemudian ia melanjutkan studi S2 di Australia dalam bidang Ilmu Komputer, dan S3 dengan jurusan yang sama pada Western University Australia. Selain mengajar sebagai guru besar Ilmu Komputer di ITB, ia juga terlibat dalam pembangunan berbagai sistem informasi. Marsudi, bersama ahli IT lain dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Semarang (ITS), menulis buku Grand Desain Sistem Informasi Pemilu.

Pertama kali, Marsudi menguraikan penjelasan mengenai arsitektur Situng. Sesuai dengan tujuan bahwa Situng adalah media untuk mentransparansi hasil perolehan suara pemilu, maka Situng pada 2003 dirancang sebagai teknologi keterbukaan informasi. Pembangunan sistem Situng dinyatakannya mengikuti standar teknologi informasi yang diterapkan secara internasional.

“Kami dulu waktu merancang, semua standar itu dipenuhi,” tukas Marsudi.

Bangunan Situng terdiri atas dua komponen, yakni sistem internal Situng, dan tampilan luar Situng yang dimuat di dalam website Situng. Sistem internal Situng hanya dapat diakses dari dalam gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh petugas KPU, sementara Situng website dapat diakses oleh siapa saja. Situng website merupakan visualisasi sistem Situng sehingga apabila website Situng diretas, peretasan tak akan memengaruhi data pada sistem Situng yang asli. Server Situng disimpan di tiga lokasi berbeda, yakni di KPU dan dua lokasi rahasia lainnya.

“Situng sesungguhnya ada di dalam KPU yang hanya bisa diakses dari dalam KPU, dan merupakan intraweb di dalam KPU. Sebagian informasi yang ada di Situng internal ini kemudian divisualisaiskan berupa website Situng itu. Jadi, yang sering dipermasalahkan adalah website Situng,” jelas Marsudi.

Bukti bahwa apabila terjadi peretasan tidak berpengaruh pada sistem Situng, kata Marsudi, adalah sistem Situng segera dapat memperbarui data yang asli setelah terjadi peretasan pada website Situng. Sistem Situng diamankan secara kuat dan bahwa sistem IT ini terpisah dari jaringan biasa. Kecurangan hanya dapat dilakukan oleh orang dalam atau setiap orang yang dapat masuk ke ruang dimana sistem Situng dioperasikan. Adapun website Situng diamankan secara cukup karena didesain agar dapat diakses oleh semua orang dengan mudah.

“Kalau web diretas, silakan saja. Nanti 15 menit lagi juga akan balik lagi. Jadi, tidak ada gunanya meretas website Situng. Sistem SItung yang asli diamankan dengan sangat kuat,” tandas Marsudi.

Mengenai tuduhan manipulasi Situng pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, menurutnya terjadi karena adanya kesalahan entri data, bukan kesalahan pada sistem Situng. Marsudi melakukan analisis uji statistik terhadap kesalahan entri data, dan hasilnya menunjukkan bahwa kesalahan entri data terjadi secara acak, tidak terpola. Per 10 Juni 2019, pengaruh kesalahan pada paslon 01 terjadi di 233 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan melibatkan 12.889 suara, dan pengaruh pada paslon 02 terjadi di 400 TPS, melibatkan 14.990 suara. Dari data pemeriksaan dua hari terakhir, dimana masih ada kesalahan entri data perolehan suara 01 pada 233 TPS, total kesalahan entri terjadi di 833 TPS.

“Dari grafik ini, kelihatan sekali tidak ada pola yang teratur. Kalau diterapkan uji statstik juga angkanya random,” simpul Marsudi.

Ia kemudian menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis kesalahan entri data Situng. Pertama, ada angka tetapi tak ada file C1. Kasus ini terjadi sekitar 40 persen. Kedua, kesalahan pada data pendukung. Contohnya, hasil penjumlahan perolehan suara 01 dan 02 tidak sesuai dengan angka yang dientri. Kesalahan sebanyak sekitar 30 persen. Ketiga, kesalahan entri perolehan suara paslon.  Kasus terjadi sebanyak 20 persen.

“Nah, yang terakhir ini sedikit, 20%, itu hanya yang betul-betul memang memengaruhi perolehan suara di masing-masing paslon. Tetapi, seperti saya tunjukkan tadi, dua-duanya ada yang diuntungkan dan dua-duanya ada yang dirugikan. Saya tidak tahu, mungkin status saat ini mungkin sudah tinggal lebih sedikit lagi karena setiap hari saya melihat data Situng ini selalu diperbaiki, selalu direvisi, dan seterusnya mungkin oleh KPU, sehingga makin lama memang semakin sedikit,” terang Marsudi.

Selanjutnya, Marsudi membandingkan data Situng dengan data Kawal Pemilu. Dengan data masuk pada Situng 97 persen dan Kawal Pemilu 96 persen, perbedaan perolehan suara paslon 01 terjadi di 233 TPS. Berdasarkan ilmu statistik, kewajaran perbedaan ada di angka 0,05 persen.

Pada kesmepatan itu, Marsudi juga menyampaikan kelemahan pada Situng. Situng semestinya menampilkan data yang telah tervalidasi dengan data yang belum tervalidasi secara terpisah. Ata perolehan hasil akhir yang ditampilkan di Situng idealnya sama dengan data perolehan suara pada rekapitulasi manual berjenjang.

“Nah, kalau saya boleh memberi masukan untuk KPU berikutnya, itu nanti kalau menampilkan itu, tampilkanlah dua halaman yang berbeda. Ini data yang sudah tervalidasi, sehingga kalau dicek semuanya valid, benar, gitu,” ujarnya.

Kata pengamat

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyayangkan sidang yang didominasi oleh isu Situng. Situng bukan mekanisme untuk menentukan hasil resmi, melainkan hanya sebagai layanan informasi bagi masyarakat dan transparansi kinerja KPU. Pembuktian kecurangan berupa penggelembungan suara semestinya dibuktikan terhadap rekapitulasi manual berjenjang.

“Sayang sebetulnya karena isu Situng dibahas terlalu banyak. Karena, Situng ini tidak dirancang untuk menjadi instrumen formal rekapitulasi suara,” kata Titi kepada rumahpemilu.org (20/6).

Titi mengatakan bahwa yang disampaikan oleh hakim MK, Arief Hidayat dalam persidangan penting untuk dijadikan poin yang semestinya dapat mengakhiri diskusi mengenai Situng. Pernyataan lengkap Arief yang dimaksud Titi yakni, “Jadi pihak Pemohon itu dalam petitumnya kan minta supaya ditetapkan suara yang benar adalah ini. Yang didasarkan kepada perhitungan audit forensik yang disampaikan oleh ahli tadi pagi. Sehingga, mendesak kepada Pemohon, supaya di dalam Situngnya itu juga, dari Termohon supaya di dalam Situngnya juga bisa mengemukakan itu. Tapi kita harus ingat bahwa untuk menetapkan perolehan suara yang benar, itu bukan dari Situng, bukan dari itu. Undang-undang jelas mengatakan bahwa hasil Situng bukanlah hasil resmi. Hasil resmi adalah hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang. Sehingga, Situng tidak mempengaruhi atau tidak digunakan untuk penghitungan suara resmi.”