Maret 28, 2024
iden

Anatomi Caleg Pemilu 2019, Ada Harapan Perbaikan Kualitas DPR RI?

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mempublikasi hasil riset mengenai anatomi profil calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Pemilu 2019. Salah satu temuan menarik, 49 persen caleg berdomisili di Jakarta. Terhadap hasil temuan ini, Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai bahwa angka 49 persen menggambarkan rekrutmen politik yang jawa-sentris. Penumpukan caleg domisili Jakarta diprediksi menjadi sebab minimnya kemampuan anggota legislatif terpilih untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan (dapil) asal.

“Kita akan sulit melihat kinerja DPR dalam menyerap aspirasi secara maksimal sehingga kedekatan mereka dengan masyarakat di dapilnya sangat longgar. Tapi, dengan angka ini kita melihat bahwa tidak perlu negara menyediakan 575 rumah dinas bagi anggota legislatif. Mereka bisa pakai rumah lama mereka,” tandas Lucius pada diskusi “Anatomi Caleg Pemilu Legislatif 2019” di Matraman, Jakarta Timur (14/9).

Riset Formappi juga menunjukkan bahwa pertarungan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 didominasi oleh laki-laki. Dari total 7.991 caleg DPR RI, 60 persen caleg berjenis kelamin laki-laki. Dominasi juga terlihat saat memeriksa persentase caleg berdasarkan jenis kelamin yang ditempatkan pada nomor urut satu di Daftar Calon Sementara (DCS). Nomor urut satu diberikan kepada 81 persen laki-laki caleg, sedangkan perempuan hanya ada pada 19 persen kasus.

“Penempatan perempuan di nomor urut bawah menunjukkan afirmasi itu hanya insentif saja. Minimnya perempuan di nomor urut kecil saya rasa sulit untuk mendobrak suara (bagi) perempuan,” kata Lucius.

Lucius menyambut baik latar belakang pendidikan dan usia mayoritas para caleg. Menurutnya, dengan mayoritas berusia produktif, yakni di bawah 59 tahun, dan mayoritas berpendidikan S1 dan S2, kualitas parlemen hasil Pileg 2019 dapat diharapkan.

Data Formappi menunjukkan, 21 persen caleg berusia 21-35 tahun, 68 persen berusia 36 hingga 59 tahun, dan 11 persen berusia diatas 60 tahun. Untuk pendidikan, 22 persen berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), 3 persen D1 hingga D3, 43 persen S1, 27 persen S2, dan 5 persen S3.

Dalam hal pekerjaan, mayoritas caleg berprofesi sebagai pegawai swasta dan wiraswasta. Sisanya, politisi atau pejabat negara 20 persen, profesional 15 persen, dan pekerja rumahan 7 persen.

“Pekerja rumahan ini termasuk emak-emak rumah tangga,” tukas Lucius.

Menimbang incumbent untuk dipilih kembali

Formappi mencermati keberadaan incumbent atau petahana anggota legislatif di dalam DCS DPR RI. 529 dari 560 anggota DPR RI periode 2014-2019 kembali mencalonkan diri pada Pileg 2019. 349 dari 529 diantaranya bertengger di nomor urut satu. Fakta ini dinilai Formappi sebagai peluang besar kemenangan kembali para incumbent.

Lucius mewanti-wanti pemilih agar tidak asal memilih incumbent. Dalam catatan evaluasi Formappi selama empat tahun, kinerja anggota DPR RI periode 2014-2019 tak dapat dinilai baik. Pemilih diimbau untuk tak memilih “politisi petualang” yang pernah meninggalkan pekerjaan rumah (PR) bahasan undang-undang (UU) untuk berkontestasi pada pemilihan eksekutif di daerah. DPR bukanlah tempat transit.

“Anggota DPR yang PAW (pejabat antar waktu) sejak awal membahas RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) karena sibuk nyalon gubernur, kemudian KUHP-nya berantakan. Lalu dia gagal jadi gubernur, kembali lagi jadi caleg 2019. Untuk kepentingan membangun DPR, orang-orang seperti ini mesti diragukan akan fokus jadi anggota DPR,” tegas Lucius.

Hasil riset: keterbatasan publikasi data KPU dan tak terbukanya caleg

Pemetaan yang dilakukan oleh Formappi dilakukan di tengah kondisi terbatasnya publikasi informasi dan profil para caleg. Pada sistem informasi pencalonan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak semua data diri caleg dipublikasi oleh KPU dan tak semua caleg bersedia untuk dipublikasikan informasi dirinya. Hal ini menyebabkan pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terbatas dan hasil riset yang tidak menyeluruh.

Terdapat 1.457 caleg yang tak ada data profilnya di Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU dan 2.074 caleg tak bersedia profilnya dipublikasi.

“Dibanding KPU sebelumnya, dari sisi profesionalitas kerja, KPU sekarang lebih banyak gagap dalam memberikan informasi caleg. Kami sulit mengetahui profil caleg di DCS karena yang diumumkan KPU ini minim, hanya daftar nama caleg dengan keterangan jenis kelamin, domisili, usia, pendidikan, dan pekerjaan. Itu pun kadang tidak semuanya diberitahukan,” jelas Lucius.

Formappi mencatat, caleg dari Partai Demokrat dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) adalah yang terbanyak menutupi publikasi proflnya pada keterangan DCS di Silon. Ketertutupan caleg dalam mempublikasi profil dinilai buruk, sebab mencegah pemilih untuk melakukan pencermatan.

“Apapun alasannya, tidak pernah bisa dibenarkan orang yang ingin dipilih publik, tapi tidak ingin diketahui profilnya oleh publik,” ucap Lucius.

Pemetaan yang dilakukan Formappi ditujukan untuk membantu publik mengenali caleg-caleg yang akan dipilih pada Pileg 2019. Formappi mengimbau agar publik cermat memeriksa rekam jejak caleg di dapil masing-masing. 94 persen incumbent maju kembali, Formappi mengharapkan ada peningkatan kualitas parlemen.маленький ноутбук ценаadverts app