Maret 29, 2024
iden

ANFREL: Pemilihan Legislatif Kamboja 2018 Tak Akan Berjalan Demokratis

Asian Network for Free Election (ANFREL) melaporkan bahwa Pemilihan Legislatif (Pileg) Kamboja yang akan dilangsungkan pada 29 Juli 2018 mendatang tak akan berjalan demokratis sesuai dengan asas-asas pemilihan umum yang bebas dan adil. Kamboja diselimuti iklim politik yang suram dimana kediktatoran terselubung membajak penyelenggaraan pemilu Kamboja.

Sebab buruknya demokrasi di Kamboja, ANFREL beserta Neutral Impartial Committee for Free and Fair Elections in Cambodia (NICFEC), Committee for Free and Fair Elections in Cambodia (COMFREL) dan kelompok-kelompok masyarakat sipil Kamboja menolak untuk melakukan pemantauan terhadap hari pemungutan suara Pileg Kamboja 2018. Pileg Kamboja dinilai ANFREL gagal memenuhi standar dan norma internasional mengenai hak sipil dan hak politik yang diakui oleh Kamboja sendiri.

“ANFREL tidak akan menempatkan pengamat di Kamboja karena kami percaya lingkungan politik yang represif merugikan proses pemilu yang benar-benar demokratis,” kata Tim Hubungan Masyarakat (Humas) ANFREL, sebagaimana tertulis di dalam rilis pers yang diterima oleh rumahpemilu.org (24/7).

Dalam rilis persnya, ANFREL melaporkan bahwa Pemerintah Kamboja dan Komisi Pemilihan Nasional (KPN) didominasi oleh Partai Rakyat Kamboja (PRK) yang saat ini sedang berkuasa. Tanpa kehadiran partai oposisi utama, PRK berhasil mengerdilkan perkembangan proses pemilihan yang kompetitif sehingga demokrasi multipartai Kamboja mulai hilang. Kondisi ini menyebabkan banyak rakyat Kamboja menyatakan diri tak akan memberikan suara pada 29 Juli.

Berdasarkan hasil pantauan yang dilakukan oleh ANFREL dalam waktu terakhir, para pengamat mendapatkan fakta di lapangan bahwa hak sipil dan hak politik warga negara diabaikan, kebebasan media dikekang, pemberlakuan impunitas bagi pejabat negara, intimidasi merajalela, dan kompetisi politik yang menguntungkan partai penguasa. PRK memobilisasi pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan ancaman akan menarik dana subsidi bagi pemilih yang ditemukan jarinya tak bertinta pada hari pemungutan suara.

“Di seluruh negeri, laporan mengenai ancaman oleh pejabat pemerintah dan partai politik penguasa adalah hal yang lumrah. Ironisnya, Pasal 142 Undang-Undang Pemilu digunakan secara masif untuk membungkam mereka yang menyatakan keinginan mereka untuk tidak memilih, meskipun pemungutan suara tidak diwajibkan di Kamboja,” jelas ANFREL.

Pemantau pemilu partisan di seluruh Kamboja

ANFREL menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dan data yang dimiliki, tak ada pemantau pemilu non partisan yang akan mengawal Pileg Kamboja 2018. Dari hampir 80 ribu pemantau domestik terakreditasi, lebih dari separuhnya berasal dari dua kelompok, yakni Persatuan Federasi Pemuda Kamboja (PFPK) atau dan Perempuan Kamboja untuk Perdamaian dan Pembangunan (PKPP). PFPK dipimpin oleh Hun Many, salah satu putra Perdana Menteri, sementara PKPP dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Kamboja, Men Sam An.

“Setengah dari jumlah pemantau berasal dari organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan partai yang berkuasa. Sisanya, pemantau datang dari organisasi yang lebih kecil yang kurang dapat dikenali tetapi sama dipertanyakannya dengan motivasi dan metodologi mereka,” ujar ANFREL.

Menurut ANFREL, absennya pemantau independen hanya akan memperkuat narasi PRK tentang penyelenggaraan Pileg 2019. Ditambah, pengamat yang disebar oleh Pemerintah dan KPN bukanlah pemantau terlatih yang memiliki metodologi pemantauan.

Media telah dibungkam

Selain telah “mengkondusifkan” pemantau Pileg, Pemerintah juga telah “mengkondusifkan” media sebagai corong penyebar informasi. Pemerintah telah menutup satu surat kabar berbahasa Inggris, mengawasi portal-portal berita independen secara ketat melalui Badan Pengawasan Media Sosial, dan menutup banyak stasiun radio ditutup secara paksa.

“Penindasan terhadap portal berita independen disertai dengan pengawasan yang meningkat dari Badan Pengawasan Media Sosial milik Pemerintah. Padahal, portal berita independen merupakan satu-satunya bentuk kebebasan berbicara yang masih tersisa di negara ini,” tandas ANFREL.

Pemilu demokratis tak hanya soal praktek pungut hitung

ANFREL mengingatkan warga internasional dan juga Pemerintah Kamboja bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu tak dapat dinilai dari hanya tingkat partisipasi pemilih, melainkan pula dari jumlah surat suara yang tidak sah, yang mencakup surat suara kosong dan rusak. Lebih dari itu, dilaksanakannya praktek pungut-hitung tak secara langsung menandakan bahwa pemilihan dilangsungkan secara bebas dan adil.

“Pemilihan tidak boleh dinilai secara terpisah dari ketidakadilan yang mencemarkan iklim pemilihan demokratis di negara ini. Sebagai organisasi pemantau, kami mempertimbangkan partisipasi pemilu, dalam kapasitas apa pun, sebagai penyaluran hak sipil dan politik fundamental setiap orang,” kata ANFREL.

ANFREL menegaskan bahwa perampasan peluang untuk berpartisipasi serta penggunaan ancaman dan kekuatan untuk mempengaruhi kehendak pemilih merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan tidak memiliki tempat dalam proses demokrasi sejati. Dengan yakin ANFREL menyatakan bahwa Pileg Kamboja 2018 tak akan berjalan demokratis.壁 ペンキ 色ru.oltatravel