Maret 19, 2024
iden

Caleg Muda: untuk Rakyat atau untuk Parpol?

Hasil rekapitulasi daftar pemilih tetap tingkat nasional pemilihan umum tahun 2019, telah ditetapkan terdapat 185.732.093 pemilih. Adapun wilayah dengan pemilih terbanyak terdapat pada Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang berturut-turut sebanyak 32, 30, dan 27 juta orang pemilih. Jumlah tersebut ditambah lagi 2.049.790 pemilih luar negeri. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 memperkirakan akan ada 65.777 juta penduduk Indonesia berusia 15-29 di tahun 2019. Hal tersebut menunjukkan paling tidak terdapat 35,42% pemilih muda untuk Pemilu 2019.

Untuk mewakili suara pemuda, Pemilu 2019 turut menyertakan 559 caleg muda dari total 7896 caleg, yakni berusia 21-30 tahun. Namun data tersebut tidak turut memperhitungkan caleg dari Partai Berkarya, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Berarti, paling sedikit terdapat 7,08% calon legislatif berusia muda mewakili 35,42% suara pemuda Indonesia.

Dari 16 partai nasional, hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Hanura yang secara tegas menyatakan dukungannya terhadap keberadaan pemuda Indonesia, melalui visi misi mereka. Mereka berpendapat bahwa pemuda sebagai penerus bangsa seharusnya bisa dekat dengan politik, karena pemuda penuh dengan semangat dan idealisme.

Calon legislatif muda terbanyak diusung oleh PSI (174), diikuti oleh PPP (78), dan PKB (65). Dengan data ini, PSI mencitrakan sebagai “partai anak muda” melalui pengusungan caleg muda terbanyak. Sementara keseriusan Hanura dalam mendukung pemuda belum bisa dinilai karena banyak kandidatnya yang merahasiakan data pribadinya pada portal KPU (infopemilu.kpu.go.id).

Daerah pilihan dengan caleg muda terbanyak adalah Lampung I (16), Jawa Timur XI (15) dan IX (14), dan Jawa Tengah VII (13). PSI pun turut mengusung 5 caleg muda untuk Lampung I, Jatim XI, Jatim IX dan Jateng VII. Dapil dengan usungan PSI terbanyak terdapat pada Sulawesi Selatan II dan Sumatera Selatan II yakni 6 calon.

Belum terhubung pemilih muda

Tapi, partai politik pengusung caleg muda terbanyak belum terhubung dengan pemilih muda yang merupakan kelompok usia terbesar pemilih. Berdasarkan survei yang dilakukan Indo Barometer (2017), partai dengan elektabilitas tertinggi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) (30,2%) diikuti dengan Golkar (12,5%). Sementara, Hanura hanya punya elektabilitas 2% sedangkan PSI hanya 0,2%.

Poltracking Indonesia (2018) menyampaikan elektabilitas yang mirip dengan Indo Barometer. Partai politik berelektabilitas tertinggi diperoleh PDIP (26,5%) dan Gerindra (13,4%). Elektabilitas Hanura hanya 2,3%, bahkan PSI hanya 1,1%.

Poltracking Indonesia (2018) turut melakukan survei terkait kriteria kandidat. Hasil survei menunjukkan bahwa 4 faktor utama yang dianggap harus dimiliki kandidat adalah sifat merakyat, integritas, berwibawa/bijaksana, dan berpengalaman. Sementara faktor usia tidak menjadi sebuah tolak ukur yang penting karena masih ada faktor lain dengan tingkat persentase lebih tinggi berdasarkan survei. Adapun faktor tersebut adalah tegas, religius, berprestasi, cerdas, kreatif, santun, dan berpenampilan menarik.

Undang-undang No.7 Tahun 2017 mensyaratkan partai politik yang bisa masuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus bisa memperoleh suara minimal 4% dari total suara sah. Berdasar hasil survey sejumlah lembaga survey, partai politik yang banyak melibatkan pemuda dalam pencalonan belum mencapai angka elektabilitas 4%.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Maharddhika menjelaskan, masih sedikit partai politik peserta pemilu yang melibatkan pemuda dalam pencalonan di tengah pemilih muda sebagai kelompok usia terbanyak pemilih merupakan tanda pemuda masih dijadikan objek politik, bukan subjek politik. Di kalangan pemuda pun, “pemuda” (sebagai warga berusia 16-30 tahun) belum disadari sebagai identitas politik yang penting dalam mempengaruhi politik dan kebijakan negara.

Di partai politik dan masyarakat, pengalaman masih jadi hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan jabatan. Aktivisme pemuda yang belum jadi arus utama dalam dinamika politik Indonesia sering dipandang sebelah mata karena aspek pengalaman.

Tapi yang perlu diingat, aspek pengalaman bisa bermakna status quo terhadap sistem atau karakter politik. Alih-alih menjadi wakil rakyat, dewan berpengalaman bisa saja sebatas menjadi petugas partai politik karena cenderung mewakili elite partai politik. Jika aktivisme pemuda bisa meyakinkan masyarakat untuk menjawab kebutuhan perbaikan parlemen, identitas muda caleg bisa jadi aspek yang menentukan elektabilitas.

Proses dan hasil Pemilu 2019 bisa jadi gambaran kuantitas dan kualitas politik muda di Indonesia. Bukan hanya menggambarkan partai politik dengan segala klaim atau slogan “pro-pemuda”, tapi juga menggambarkan sejauh mana identitas pemuda diapresiasi dan mempengaruhi kebijakan. Apakah pemuda sudah dan memang bisa mewakili rakyat? Atau jangan-jangan pemuda masih jadi objek suara untuk lolos parlemen dan mendapat kursi kekuasaan untuk orang-orang tua? []

MILKA