Maret 28, 2024
iden

Chris Biantoro (Kontra-S): HAM Berjejaring Isu Lain untuk Politik Publik di Pemilu

Keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu parameter penting demokratisasi. Dari pemilu pascarezim otoriter ke pemilu-pemilu selanjutnya, demokrasi akan bernilai baik saat terjaminnya pemenuhan HAM dalam kehidupan warga bernegara terpenuhi dan pelaku kejahatan HAM masa lalu bisa diadili. Keadilan HAM di Indonesia terbilang suram jika merujuk pada penyelenggaraan pemilu pasca-Reformasi. Kejahatan HAM yang masuk kategoriextraordinary crime (menghilangkan HAM melalui kewenangan negara) sebelum Reformasi tak menjadi agenda politik partai di pemilu. Malah kecenderungannya permasalahan ini semakin dilupakan, pun begitu dengan Pemilu 2014. Tokoh-tokoh yang diduga kuat terlibat kejahatan HAM semakin ada di posisi penting, baik di partai maupun pemerintahan. Berikut penjelasan mengenai prospek keadilan HAM di Pemilu 2014 oleh aktivis HAM dari Komisi Penanggulangan Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontra-S), Chris Biantoro melalui wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Usep Hasan Sadikin di Jakarta (2/9).

Pengalaman di pemilu sebelumnya, HAM meskipun keras disuarakan tapi kurang berpengaruh di hasil pemilu. Bagaimana penjelasan keadaan itu bagi gerakan HAM?

Ya itu kami sayangkan. HAM memang belum menjadi kebijakan politik. karena isu HAM masih dianggap isu balas dendam. Orang-orang yang dulu menjadi korban ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM. Jadi sesederhana itu. Isu-isu HAM ini muncul mendekati pemilu dan luntur setelah pemilu. Ini juga harus kami pikirkan.

Tak ada kemajuan sama sekali?

Pengalaman di Pemilu 2009 kemarin, meskipun tak banyak kemajuan tapi paling tidak ada beberapa revisi kebijakan yang mendukung HAM. Misal penerbitan regulasi di DPR. Cukup mempertimbangkan HAM. Ketika mereka mengesahkan undang-undang intelejen pun sudah membuka ruang untuk kontrol publik dan independen. Ketika mereka menyusun RUU Kemanan Nasional mereka pun cukup memperimbangkan masukan dari masyarakat sipil tentang HAM. Meskipun lambat tapi saya pikir ini pekerjaan rumah yang harus terus didorong. Agar menjadi prioritas kebijakan politik pemerintah.

HAM secara umum memang tak diadopsi pemerintah menjadi kebijakan politik. Alat ukur menilai ini apa? Alat ukurnya jelas keadilan korban. Kasus-kasus dulu, dari kasus ’65 dan Munir misalnya, sampai hari ini tak ada keadilan substansi HAM. Tak ada keadilan untuk menghukum orang-orang yang diduga kuat melakukan pembunuhan, aktor intelektualnya, kompensasi atau hak-hak korban tak dipulihkan.

Di Pemilu 2014, HAM terkait jejak rekam peserta pemilu tak berpengaruh. Malah ada yang elektabiltasnya naik padahal punya rekam jejak HAM yang buruk. Bagaimana?

Iya. Itu memang ironi. 14 tahun Reformasi, malah menjadi panggungnya orang-orang yang sebenarnya harus bertanggung jawab di muka hukum. Saya pikir ini tak lepas dari pemerintahan hasil Pemilu 2009. Pemerintahan SBY tak tegas dan tak mampu memberikan sikap hukum di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Orang-orang itu dengan mudah mengabaikan panggilan Komnas HAM. Dipanggil memberikan keterangan, mereka tak hadir. Nama-nama mereka yang sudah disetorkan ke Kejaksaan Agung, dengan mudah dipangkas oleh Jaksa Agung. Jadinya hanya menyisakan prajurit lapangan. Ini semua tak lepas dari lemahnya dukungan politik SBY.

Tentu saja kita khawatir. Kami malah menilai, ini cenderung mau menghapuskan ingatan kasus-kasus HAM masa lalu itu. Misal, Prabowo, dalam manifesto Partai Gerindra memang jelas mau menghapuskan pengadilan HAM. Jika terpilih, perjuangan HAM akan alami kemunduran yang signifikan. Bagaimana mungkin, orang yang punya rekam jejak kejahatan kemanusiaan lalu menjadi presiden akan memajukan atau menyelesaikan kasus-kasus HAM. Itu bukti nyata Reformasi gagal dan demokratisasi kita gagal.

Baiknya bagaimana?

Mestinya kita belajar dari negara lain. Afrika Selatan misalnya. Mereka berhasil menyembuhkan luka masa lalu seiring rekonsiliasi nasional. Atau belajar dari Guatemala yang berhasil mengadili mantan presidennya yang melakukan kejahatan serius terhadap Suku Maya. Atau kita belajar dari Peru yang pemerintahan transisi demokrasinya dengan tegas menolak amnesti (pengembalian status tak bersalah) untuk Alberto Fujimori.

Di Indonesia, 14 tahun Reformasi, pengadilan HAM-nya malah melangkah mundur. Satu indikasinya ketika ada partai yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Belakang Soeharto diusulkan nama jalan. DPR tak menjadikan penyelesaian HAM sebagai prioritas kebijakan. Padahal DPR memegang peran penting dalam pembentukan pengadilan HAM. Ini sudah sistematis. Perlahan-lahan menghapuskan kasus-kasus HAM dari agenda politik pemerintah. Akhirnya menjadi puncak saat orang-orang yang punya rekam jejak kasus HAM menjadi presiden.

Kalau Kontra-S dan lembaga HAM lainnya menghitamkan peserta pemilu tertentu, tak khawatirkah akan ditunggangi dengan peserta pemilu lain?

Tidak. HAM itu lintas bidang. Kami berjejaring dengan lembaga dengan isu lain. Isu lingkungan hidup, pengrusakan hutan, itu pun terkait dengan HAM. Teman-teman di lingkungan juga menekankan HAM di kasus-kasus lingkungan seperti Lapindo kemudian perkebunan sawit dan sebagainya.

Wajar memang ada pemanfaatan isu lain oleh peserta pemilu untuk menaikan popularitasnya. Karena itu pentingnya dari kita untuk berjejaring dengan lembaga lain dan isu lain. Menyatukan pemahaman yang menyeluruh untuk menjadi perjuangan bersama di pemilu.

Berjejaring dengan LSM atau lembaga lain sangat relevan di Pemilu 2014. Ini bagian dari kontribusi teman-teman masyarakat sipil Indonesia dalam membangun kesadaran politik publik. Khususnya untuk isu HAM dan politik di pemilu.

Dari Kontra-S, kami membagikan alat kampanye isu HAM di pemilu. Kami mengupayakan referensi bagi masyarakat untuk memilih caleg di pemilu. Di dalam alat kampanye ini ada beberapa yang menyinggung rekam jejak beberapa kasus yang diduga kuat sebagai pelanggaran HAM. Ini bukan hanya kegiatan sehari atau sekali saja. Ada rangkaian kegiatan sebelum dan selanjutnya. Di daerah dan di Jakarta. []