Maret 19, 2024
iden

Dana Saksi Partai, Bukti Ketidakpercayaan Partai terhadap Penyelenggara Pemilu

Dana saksi partai menjadi perbincangan di kalangan aktivis dan pegiat pemilu, setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan kembali rencana pembiayaan saksi partai oleh Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Rencana ini sebelumnya pernah digulirkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu pada 2017 lalu, namun karena khawatir akan beban keuangan negara, Pemerintah dan DPR tak jadi memasukkan norma terkait dana saksi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai dana saksi partai untuk Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sebagai bukti ketidakpercayaan partai politik terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Pembuat UU Pemilu, yang merupakan anggota atau pengurus partai politik, tak percaya diri dengan keputusannya untuk mempermanenkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kabupaten/kota) dan membentuk Panitia Pengawas (Panwas) di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Permintaan dana saksi partai ini aneh. Buat apa juga mereka alokasikan dana besar untuk permanenisasi Bawaslu sampai dengan kabupaten/kota dan membentuk Panwas TPS kalau mereka merasa itu semua tidak cukup dan tetap harus ada saksi yang dibiayai oleh negara?” tandas Titi kepada rumahpemilu.org (18/10).

Permintaan dana saksi partai juga dinilai sebagai bukti kegagalan partai politik membangun nilai dan visi misi partai kepada kader. Jika internalisasi nilai berhasil menanamkan rasa bangga dan cinta kepada partai, kader tak akan keberatan mengawal suara partai.

“Partai mestinya bisa mengoptimalisasi keberadaan anggota dan kader organik untuk ikut mengawasi proses pungut hitung di TPS dan mengawal pergerakan suara ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, ongkos yang dikeluarkan bisa ditekan dan lebih efisien,” ujar Titi.

Karena dana saksi sudah diusulkan dan sedang dibahas di Badan Anggaran, keputusan terakhir ada di Pemerintah. Pemerintah punya dua pilihan, yakni mengakomodir dana saksi partai atau menolak untuk membiayai dana saksi karena konsisten pada kebijakan yang terukur dan rasional.

Titi berpendapat, kesetaraan dan keadilan kontestasi Pemilu 2019 bukan dengan membebani keuangan negara dan memberikan tugas tambahan kepada Bawaslu untuk mengelola dana saksi, melainkan memastikan norma-norma di dalam UU Pemilu menjadi hukum yang mampu menciptakan kontestasi yang setara, jujur, adil, dan demokratis.

“Kalau mau wujudkan kesetaraan, pastikan bahwa UU Pemilu itu dibuat dengan mengatur secara baik agar pemilu bisa diselenggarakan secara luber (langsung umum bebas dan rahasia), jurdil (jujur dan adil), dan demokratis, serta penegakan hukum bisa dilakukan dengan optimal,” tutup Titi.