April 19, 2024
iden

Di Balik Polemik Syarat Capres

Tiga jam berlalu, lobi antara fraksi-fraksi di DPR bersama pemerintah untuk membahas lima isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, Kamis (13/7) malam, akhirnya usai. Namun, lobi tertutup yang telah digelar untuk kesekian kalinya dalam satu bulan terakhir itu harus kembali menemui jalan buntu.

Masih panjang lagi ini urusannya,” ujar anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang- Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate, sambil menggelengkan kepala saat keluar dari ruang lobi di Kompleks Parlemen, Jakarta, malam itu.

Tak sebatas antara pansus dan pemerintah, lobi antar-elite partai politik juga sudah sering digelar. Namun, pertemuan demi pertemuan itu tak kunjung membuahkan hasil. Kesepakatan gagal dicapai di tingkat pansus sehingga keputusan akhir diserahkan pada Rapat Paripurna DPR sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi.

Dari lima isu krusial yang ada, yang paling alot dirundingkan adalah perihal ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden. “Ada tokoh dari sejumlah parpol yang ingin maju dalam Pemilihan Presiden 2019 tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Makanya, mereka meminta fraksinya di DPR untuk bersikukuh meniadakan atau menurunkan ambang batas presiden,” tutur anggota Pansus dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo.

Gerindra, sebagai contoh, ingin ambang batas ditiadakan. Alasannya, ambang batas tak relevan lagi saat pemilu presiden dan legislatif digelar serentak. Namun, wakil ketua pansus dari Fraksi Gerindra, Ahmad Riza Patria, pernah mengatakan, partainya bisa kompromi jika besaran ambang batas diturunkan jadi 10 persen kursi DPR atau 15 persen suara sah nasional.

Pada Pemilu Presiden 2014, besaran ambang batas adalah 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. Ini pula yang jadi sikap pemerintah bersama lima fraksi pendukungnya di DPR saat ini, PDI-P, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Nasdem, dan Hanura, dalam pembahasan RUU Pemilu.

Sikap Gerindra itu dinilai untuk melapangkan jalan ketua umumnya, Prabowo Subianto, dalam Pemilu 2019. Dengan ambang batas dihapus atau diturunkan besarannya, mereka tak perlu sibuk mencari parpol lain untuk berkoalisi agar bisa mencalonkan Prabowo. Memang, mengacu pada hasil Pemilu 2014, Gerindra memperoleh 73 kursi di DPR atau 13,03 persen dari total 560 kursi DPR.

Riza tidak menampik, Gerindra memang ingin mengusung Prabowo dalam Pemilu 2019. Namun, dia membantah jika hal itu jadi satu-satunya alasan yang mendasari sikap Gerindra tentang ambang batas pencalonan presiden. “Bukan semata-mata agar kami bisa mencalonkan Prabowo. Lebih dari itu, ini permasalahan konstitusionalitas dan membuka peluang seluas-luasnya,” ujarnya.

Wakil Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman pun mengutarakan alasan senada sebagai dasar sikap partainya. Demokrat, sebagaimana Gerindra, juga ingin ambang batas pencalonan presiden ditiadakan.

“Ambang batas itu bisa berlaku kalau pemilu legislatif dan presiden tidak serentak. Kalau kedua pemilu serentak, masak menggunakan hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai acuan ambang batas Pemilu Presiden 2019? Apalagi hasil Pemilu 2014 itu sudah dipakai untuk Pemilu Presiden 2014,” ujarnya.

Namun, sejumlah elite parpol dan anggota pansus menilai sikap Demokrat itu bagian dari strategi memuluskan jalan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, agar bisa maju pada 2019.

Pandangan ini setidaknya selaras dengan hasil Rapat Kerja Nasional Partai Demokrat, April lalu. Saat itu, Demokrat memutuskan akan mengusung kadernya sendiri dalam Pemilihan Presiden 2019. Pandangan itu sejalan pula dengan pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto. “Kader-kader di bawah menginginkan Agus jadi the next leader(pemimpin berikutnya) dan maju pada 2019,” ujarnya.

Sikap berbeda

Bagaimana dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN)? Informasi yang dihimpun dari sejumlah elite parpol, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga ingin maju dalam Pemilu Presiden 2019. Keinginan itu secara implisit ataupun eksplisit dilontarkan dalam berbagai forum lobi RUU Pemilu antarparpol.

Maka, tidak mengherankan, kedua parpol yang sesungguhnya bagian dari koalisi pendukung pemerintah itu mengambil sikap berbeda. Senada dengan barisan partai nonpemerintah, PAN ingin ambang batas presiden ditiadakan atau kalaupun ada besarannya hanya 10 dan 15 persen. Sementara PKB ingin besaran ambang batas 10 dan 15 persen.

Perhitungannya, jika ambang batas ditiadakan, keinginan kedua parpol lebih mudah tercapai. Kalaupun ambang batas 10 atau 15 persen, peluang masih tetap terbuka. Jika tidak untuk posisi capres, setidaknya untuk kursi calon wakil presiden. Pada 2014, raihan kursi kedua parpol di DPR hanya berselisih 1 persen dengan ambang batas 10 persen kursi.

Namun, ketua pansus dari Fraksi PKB, Lukman Edy, membantah hal ini. Menurut dia, berapa pun besar ambang batasnya, jumlah kursi ataupun raihan suara dalam Pemilu 2014 sudah signifikan bagi PKB untuk bisa terlibat aktif pada Pemilu Presiden 2019. “PKB ingin ambang batas diturunkan agar lebih banyak pilihan calon pemimpin yang dihadirkan ke publik,” katanya.

Zulkifli Hasan mengatakan, untuk sementara ini dirinya juga belum berencana ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden dalam Pemilu 2019 nanti. “Pilpresnya masih jauh, dua tahun lagi. Undang-undangnya saja sekarang belum selesai. Itu urusan nanti setelah undang-undangnya selesai,” katanya.

Sementara itu, di balik sikap pemerintah bersama lima fraksi pendukungnya yang ngotot ambang batas 20-25 persen juga muncul pandangan bahwa itu strategi memuluskan Joko Widodo agar kembali terpilih pada 2019 untuk periode kedua. “Ada kesan mereka (koalisi pemerintah) ingin meminimalkan kompetisi,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani.

Dengan dukungan 51,7 persen kursi di DPR (jumlah total lima fraksi pendukung pemerintah di DPR), kemungkinan munculnya kompetitor lain bagi Jokowi pada 2019 sangat terbatas. Maksimal hanya dua pasang. Ruang kompetisi yang terbatas ini membuat kans Jokowi terpilih kembali makin lebar.

Lima partai pendukung pun bakal meraup untung. Sebab, dengan keserentakan pemilu, elektabilitas figur yang kuat akan ikut memengaruhi perolehan suara partai.

Ahmad Riza Patria menduga, partai politik pendukung Jokowi lebih berkepentingan mendukung ambang batas 20-25 persen. Sebab, jika ambang batas ditiadakan, Jokowi dapat mencalonkan diri tanpa terikat dengan politik PDI-P dan Golkar. “Justru dengan 20 persen ini, Presiden tersandera partai-partai koalisinya,” ujarnya.

Namun, Johnny membantah hal ini. Menurut dia, ambang batas 20-25 persen bukan untuk kepentingan Jokowi, melainkan siapa pun yang terpilih pada 2019. Sebab, presiden terpilih setidaknya sudah memperoleh jaminan mendapatkan dukungan kuat di DPR. Ini penting untuk pemerintahan yang efektif.

Pemerhati politik dari Universitas Paramadina, Toto Sugiarto, menilai, pertarungan kepentingan politik di balik perdebatan ambang batas presiden ini menguatkan pandangan selama ini bahwa alot dan molornya pembahasan RUU Pemilu hanya sebatas kepentingan jangka pendek parpol untuk pemilu 2019.

(AGNES THEODORA/A PONCO ANGGORO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juli 2017, di halaman 4 dengan judul “Di Balik Polemik Syarat Capres”.

http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/07/17/Di-Balik-Polemik-Syarat-Capres?IFA=e04a3ceecd62e5379e984f8db2e56d9cKCd41d8cd98f00b204e9800998ecf8427eKC2cc30a28faf4959c302414518850962c