Maret 29, 2024
iden

Digitalisasi Tahapan Pemilu, Yang Perlu Diperhatikan Penyelenggara Pemilu

Dalam proses perumusan Rancangan Undang-Udang (RUU) Pemilu pada 2017 lalu, para legislator mengeluarkan wacana mengenai e-voting, yakni pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik. Ini bukan wacana main-main, sebab anggota Panitia khusus (Pansus) sampai berangkat ke Jerman untuk kunjungan singkat belajar e-voting. Hasilnya, sebagaimana dilansir dalam kompas.com, Pansus sepakat menyatakan Indonesia belum siap menerapkan e-voting. Evaluasi pemerintah Jerman, e-voting mesti dihentikan karena alasan keamanan sistem dan kesiapan teknologi. Yang bisa diterapkan di Indonesia, mencontoh Jerman, adalah e-rekapitulasi.

“Proses pemilu di Jerman berakhir pukul 2 siang dan sekitar pukul 10 malam hasilnya sudah bisa diketahui. Jadi, ini yang bisa dilakukan KPU. Walaupun KPU belum terlalu maju, itu yang kami mau upgrade lagi,” kata Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu, Yandri Susanto, dalam kompas.com (20/3), penulis Nabilla Tashandra.

Kesimpulan ini sesungguhnya bisa didapatkan oleh Pansus dengan hanya membaca buku Memperkenalkan Pemilihan Elektronik Pertimbangan Esensial yang dipublikasi oleh International IDEA pada 2011. E-voting di Jerman telah dinyatakan inkonstitusional sejak 2009.

“Tahun 2009, e-voting dinyatakan tidak konstitusional. Menurut konstitusi, semua pemilu harus terbuka untuk umum. Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa langkah utama pemilu—termasuk pemberian suara dan menghitung—harus tunduk pada pengawasan publik yang tidak harus memerlukan pengetahuan khusus,” tertulis di halaman 26.

Sebab teknologi pemilu amat berbeda dari teknologi lainnya, ia berkenaan dengan kedaulatan rakyat dan kehidupan demokrasi seluruh warga negara, maka pemilihan teknologi pemilu mesti memiliki acuan kerangka hukum. Aturan mengenai e-voting misalnya, mesti bersesuaian dengan konstitusi, dan tak  hanya tercantum pada UU Pemilu, melainkan UU atau peraturan lainnya.

Masalah kepemiluan dan peluang masuknya teknologi

Saya bertemu dengan Kepala Data Science Indonesia, Prasetya Dwicahya, saat mengikuti training Data for Development yang diadakan oleh Datakali. Mas Pras mengatakan satu hal yang saya rasa bermanfaat untuk dibagikan kepada kawan-kawan, yakni teknologi yang akan dimanfaatkan mestilah bersesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan teknologi diperuntukkan  sebagai pemecahan masalah, sehingga tak tepat jika menggunakan teknologi untuk hal-hal yg tidak bermasalah.

Statement Pras, yang juga mengingatkan saya pada apa yang sering disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mesti menjadi titik tolak bagi pertanyaan-pertanyaan yang ingin dimunculkan sebelum penyelenggara pemilu memutuskan untuk memanfaatkan teknologi informasi. Apa saja masalah-masalah dalam tahapan pemilu kita?

Sebagai awam yang baru menggeluti isu pemilu sejak dua tahun terakhir, saya melihat ada tiga masalah pada beberapa tahapan pemilu. Satu, kualitas daftar pemilih. Dua, tiadanya laporan dana kampanye yang terintegrasi dengan rekening khusus dana kampanye sehingga laporan dana kampanye seringkali dicurigai tak sesuai dengan realita di lapangan. Tiga, kecurangan pada tahap rekapitulasi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memiliki sedikitnya enam sistem informasi, yakni Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) untuk memutakhirkan data pemilih, Sistem Informasi Pencalonan (Silon) untuk membuka data pencalonan peserta pemilu, Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) untuk membuka data partai politik, Sistem Informasi Logistik (Silog) untuk memeriksa arus logistik, Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) untuk mempublikasi laporan dana kampanye, dan Sistem Informasi Penghitungan (Situng) untuk menampilkan hasil hitung cepat. Namun, kecuali Silog dan Sidakam yang jarang jadi sorotan, semua sistem informasi KPU menerima kritik karena acap kali bermasalah. Apa yang perlu diperbaiki?

Digitalisasi tahapan pemilu, yang mesti dipenuhi

Internationl Foundation of Electoral System (IFES) dalam bukun panduannya berjudul Implementing and Overseeing Elctronic Voting and Counting Technologies (2013) memang tidak mendorong agar penggunaan teknologi kepemiluan dilakukan secara berjenjang. Namun, untuk konteks Indonesia dimana sistem layanan publik belum terdigitalisasi dengan baik dan dapat diakses dengan lancar, KPU mesti menabung kepercayaan publik. Sebagai contoh, sebelum memiliki ambisi untuk menerapkan sistem e-rekapitulasi yang hasilnya ditetapkan secara resmi dan dengan demikian menghilangkan rekapitulasi manual, KPU terlebih dulu mesti mampu membangun sistem eregistrasi atau pemutakhiran data pemilih secara elektronik yang andal. Jika KPU telah mampu menunjukkan bahwa sistem e-registrasinya tanpa masalah dan secara efektif mengeliminasi pemilih ganda, keberhasilan ini akan menjadi modal kepercayaan publik untuk membangun sistem informasi lain yang ekskalasi politiknya lebih besar seperti e-rekapitulasi.

KPU memang telah menerapkan digitalisasi tahapan pemilu, namun sistem ini perlu dievaluasi. Sependek saya bergelut pada masalah kepemiluan, pernah terjadi tiga masalah dalam sistem IT KPU. Pertama, masalah Sipol pada akhir 2017 ketika partai politik calon peserta pemilu beramai-ramai menyengketakan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena Sipol seringkali tak bisa diakses dan mengalami mati sistem selama beberapa waktu. Sipol dinyatakan tak dapat dijadikan acuan dalam pendaftaran peserta pemilu sebab tak tercantum di dalam UU Pemilu dan sistemnya tak andal. Buku panduan IFES dan IDEA menyebutkan, penggunaan teknologi kepemiluan harus tercantum di dalam UU, bahkan tak hanya di UU mengenai pemilu.

Kedua, kasus Silon. Melalui sistem informasi ini, pemilih dapat melihat riwayat hidup dan dokumen-dokumen yang diserahkan calon anggota legislatif (caleg) pada saat pendaftaran kepada KPU. Ada caleg yang bersedia riwayat hidupnya dibuka, juga ada yang tidak bersedia. Bagi yang tidak bersedia, sistem IT KPU akan menampilkan keterangan bahwa yang bersangkutan tak mengizinkan riwayat hidupnya dibuka. Ada kasus dimana salah seorang caleg dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang menyatakan bersedia riwayat hidupnya dibuka, namun Silon menyatakan riwayatnya tak bisa dibuka karena yang bersangkutan tak mengizinkan. Kesalahan ini merugikan caleg tersebut, sebab ada kampanye masyarakat sipil yang mengimbau agar pemilih tak memilih caleg yang tak mau membuka riwayat hidupnya kepada publik.

Ketiga, kasus Sidalih. 5 September 2018, Bawaslu merekomendasikan agar KPU menunda penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Di dalam penjelasannya, Bawaslu menilai Sidalih tak efektif menghapus data pemilih ganda. Saya tak pernah melihat tampilan Sidalih dari akun operator, namun patut kita ajukan satu pertanyaan, yakni apakah tak ada fitur yang memberikan warning kepada operator bahwa ada sekian data ganda? Data ganda dinilai banyak pihak sebagai pembuka peluang manipulasi suara pada tahap rekapitulasi.

Sekali lagi saya ingin mengapresiasi digitalisasi yang telah dicoba KPU, namun saya ingin kembali kepada penjelasan Pras bahwa untuk menjamin sistem informasi berjalan tanpa masalah, dibutuhkan tenaga teknik informatika yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas. Traveloka, sebuah platform untuk memesan tiket hotel dan penerbangan misalnya, membutuhkan lebih dari 200 tenaga IT. Berapa jumlah yang dibutuhkan agar sistem informasi yang mendigitalisasi tahapan pemilu berjalan tanpa masalah? Di tingkat pusat, saat ini terdapat sekitar 20-an tenaga IT yang dimiliki oleh KPU, menurut keterangan salah satu staf IT KPU, Kemal. Jumlah tersebut dinilai kurang.

“20 orang itu gak cukup Mbak, kurang,” kata Kemal kepada saya lewat Whats App (20/9).

Di daerah, kondisinya tak lebih baik. Di KPU Jawa Barat misalnya, tak ada staf khusus IT. Yang ada adalah 7 operator untuk menjalankan tujuh sistem informasi KPU. Di Jawa Tengah, Ketua KPU Jawa Tengah, Joko Purnomo juga mengatakan tak ada staf khusus di bidang IT. Yang menjalankan sistem informasi KPU adalah operator yang tak ia ketahui latar belakang pendidikannya.

“Kalau staf khusus yang menangani IT tidak ada, tetapi yang mengelola IT (website, medsos, dll) ada 2 orang. Kalau yang mengelola Sipol, Situng, Sidalih, Sidakam, SIPPP ada operatornya sendiri-sendiri,” terang Joko saat dimintai keterangan (20/9).

Dalam sistem informasi, terlebih yang ditujukan untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan negara, menekan jumlah staf  IT demi menekan biaya bukanlah hal yang dapat dilakukan. Dalam hal pengolahan data misalnya, sedikitnya jumlah staf IT yang ditugaskan berakibat pada tak optimalnya hasil pengolahan data. Padahal, data KPU diolah oleh banyak pihak. Peneliti Perludem, Heroik Pratama misalnya, sempat mengeluhkan perbedaan data caleg yang disusun oleh KPU.

Kembali lagi mengambil pelajaran dari Pras, baik buruk suatu sistem informasi ditentukan oleh enam komponen, yakni program manager, data engineer, data analyst, expert subject matters, procurement specialist, dan IT developer. Semua komponen kecuali data analyst, menurut Pras, mesti dimiliki oleh penyelenggara pemilu dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Apakah KPU telah memiliki seluruh komponen dengan jumlah yang memadai untuk menjalankan digitalisasi tahapan pemilu lebih baik?

Sebuah saran dari IDEA dan IFES, sistem teknologi pemilu yang baik adalah sistem yang berkelanjutan. Teknologi berakselerasi dengan kecepatan yang melebihi kecepatan siklus pemilu berikutnya, maka wajib bagi lembaga penyelenggara pemilu untuk berinvestasi pada sumber daya pengelola IT mereka. Training reguler dapat diberikan, dan yang terpenting, jumlah staf IT yang cukup untuk mengelola sistem teknologi informasi dari pemilu yang sering disebut sebagai the biggest election in the world.

 

AMALIA SALABI