Maret 28, 2024
iden

Good News is A Good News

Penting mengklarifikasi pernyataan “bad news is a good news”. Berita buruk sebagai berita baik cenderung dimaknai untuk melihat sisi negatif suatu kejadian. Biasanya bertujuan pragmatis. Biar banyak pembaca tertarik sehingga menaikan oplah, “view”, atau rating. Ditambah judul yang bombastis, kejadian yang diberitakan malah cenderung dimaknai publik sebagai masalah pelik. Pengkonsumsi berita menjadi pesimistis dan apatis terhadap pemerintah dan negara.

Bisa dibayangkan jika pemilu yang sudah dinilai buruk masyarakat pun diberitakan dengan “bad news is a good news”. Contohnya pemberitaan bertajuk “Nilai 5 untuk KPU”, “Bubarkan Bawaslu”, “90 Persen Caleg Incumbent Tak Layak Dipilih”, “Pemilu Tak Janjikan Perubahan”, atau “Pemilu, Mahal dan Gagal”. Ditambah ada kecenderungan tingkat memilih yang menurun (1999: 90%; 2004: 80%; 2009: 70%), pemberitaan negatif mendorong masyarakat makin menjauhi pemilu.

Di tahap penyusunan daftar pemilih Pemilu 2014, judul “Kisruh Dafar Pemilih” berdampak ke publik yang tak jernih menilai keadaan. Bila kita mau menambah pengetahuan, sebetulnya daftar pemilu sama sekali tak kisruh. Ada masalah memang. Tapi menekankan kisruh pada daftar pemilu cenderung mau menghitamkan pemilu. Kecenderungan ini tak menyertakan kompleksitas permasalahan penduduk dan rendahnya melek pemilu dan politik di masyarakat.

Keadaan diperburuk dengan media popular (televisi) yang dimiliki pimpinan partai. Alih-alih publik dididik menyukai dan peduli pemilu, makin kuatlah alur pikir “pemilu adalah partai dan partai berarti buruk sehingga pemilu pun buruk”. Pimpinan partai yang memiliki dan mengintervensi media pun berdampak pada tak dipercayanya pers sebagai lembaga netral dan berkepentingan kepada publik.

Pemilu Indonesia terus membaik

Menilai pemilu dengan pendekatan positif akan menemukan banyaknya perbaikan dari pemilu kita. Secara sistem, Pemilu 1999 mendorong partisipasi rakyat, bukan mobilisasi. Lalu, sejak 2004 Indonesia menerapkan pemilihan presiden secara langsung. Capaian ini menguatkan pemerintahan Indonesia yang di dalam konstitusinya merupakan pemerintahan presidensial. Rakyat, partisipasi, dan pemimpin.

Kebijakan afirmasi (penguatan) perempuan di pemilu beserta penerapannya berhasil bukan hanya pada tataran prosedur tapi juga substansi. Partisipasi sebagai inti demokrasi di sini berwujud makin aktifnya identitas warga yang lama didomestikan menjadi aktif di partai dan parlemen. Secara substansi, caleg perempuan berkualitas hasil pemilu, menghasilkan undang-undang KDRT, antitrafiking, pembelaan buruh migran, perlindungan saksi/korban, juga status kewarganegaraan perempuan dan anak.

Melalui afirmasi perempuan yang lebih kuat, Parlemen 2009-2014 hasil Pemilu 2009 lebih banyak diisi perempuan. Komisi II-nya, menghasilkan Undang-Undang No. 8/2012 yang mensyaratkan keanggotaan partai dan pencalonan legislator minimal 30 persen perempuan.

Pemilu 2014 yang terbaik

Membaiknya penyelenggaraan pemilu pun terjadi di Pemilu 2014. Jika harus dipaksa menyebutkan satu kata mewakili Pemilu 2014, kata itu adalah “transparansi”. Dimulai dari perekrutan komisioner, pemilu keempat pasca-Reformasi ini paling terbuka dan kompetitif. Ada ribuan orang ikut seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum. Hasilnya, pengamat pemilu ada yang menilai tujuh komisioner terpilih merupakan “The Dream Team”.

Tujuh orang sebagai tim impian ini lah yang kuat mengupayakan transparansi pemilu. Transparansi dari komisioner pertama kali diupayakan melalui perbaikan kesekretariatan KPU. Pleno putusan KPU diselenggarakan terbuka. Lalu profil caleg dan daftar pemilih dipublikasikan secara online. Belum lagi pengupayaan laporan keuangan dan dana kampanye partai beserta caleg yang dalam UU pemilu tak bersanksi.

Memang itu semua belum sempurna. Tapi yang terpenting, pemilu sebagai proses publik bisa diakses keterbukaannya untuk lebih mendapatkan keterpercayaan yang sebenarnya. Mungkin tak ada media yang memberitakan itu semua secara khusus. Dan mungkin tak ada yang menjadikan capaian baik itu menjadi perspektif positif peliputan Pemilu 2014.

Perlu menjadi catatan, pemilu merupakan barang baru bagi Indonesia. Pasca-Reformasi, Indonesia baru tiga kali secara “benar” melaksanakan pemilu (1999, 2004, dan 2009). Sebelumnya selama 30-an tahun pemerintahan Soeharto, Indonesia pura-pura melaksanakan pemilu untuk pengesahan dominasi Golkar di parlemen yang kembali memilih Soeharto. Saat rezim tirani ini, akademisi menyimpulkan untuk apa mempelajari pemilu kalau setiap pemilu pemenangnya sudah diketahui.

Banyak yang menilai Indonesia pernah berhasil dengan Pemilu 1955 merupakan pemilu terbaik. Tapi penulis menilai, Pemilu 1955 menjadi terbaik hanya dalam tataran peserta. Saat itu ideologi dan massa, aktif sebagai kekuatan partai. Tapi dalam tataran penyelengaraannya, Pemilu 2014 lebih baik.

Percepatan demokrasi oleh pers

Sebagai pilar demokrasi, pers bertanggung jawab menopang demokrasi berdasar masyarakat. Pers menjadi penentu keterkaitan pemilu dengan pilar eksekutif dan pilar legislatif. Pemilu merupakan media pemilihan orang di dalam eksekutif dan legislatif. Seiring pemberitaan pers, kedua pilar itu lalu memilih orang-orang di pilar yudikatif.

Jika ada percepatan demokrasi dalam transisinya (yang biasa dilakukan partai), pers pun bertanggunggungjawab melakukan percepatan. Melalui fungsi menyampaikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat, pers sebaiknya memberitakan pemilu secara positif sehingga pembaca pun positif berdemokrasi.

Judul “Bawaslu Belum Optimalkan Fungsi Pengawasan” lebih positif dibandingkan judul “Bubarkan Bawaslu”. Judul “KPU Lakukan Terobosan, Publikasikan Profil Caleg” lebih berdampak baik dibandingkan “Publikasi Profil Caleg Terkesan Formalitas”. Atau judul “Partisipasi Warga Melapor akan Sempurnakan Daftar Pemilih” akan mendorong masyarakat peduli hak pilihnya dibandingkan “DPT Pemilu 2014 Ulangi Keburukan DPT Pemilu 2009”.

Kita tahu, kebebasan pers baru dipenuhi Pasal 28 UUD 1945 dengan redaksi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya”. Tanpa terma “kemerdekaan pers”, semangat kebebasan harus disertakan perspektif positif dalam pewartaan.

Pers harus bertanggung jawab saat masyarakat masih bingung menjawab “pilih partai apa di 9 April 2014?” atau “pilih caleg siapa?”. Kebingungan yang tak dipenuhi dengan upaya dan akses mengetahui akan mendorong golput. Dengan gampang massa menyimpulkan, partai tak ada yang bagus. Korup, kolot, malas, dan jauh dari rakyat merupakan gambaran anggota dewan.

Percepatan demokrasi dari pers dengan pemberitaan positif mirip pendekatan jurnalisme damai di tengah keadaan perang dunia. Jurnalisme damai berupaya menuliskan keburukan perang dengan memunculkan harapan masih mungkinnya pilihan berdamai. Dampak yang ditimbulkan dari bacaan menjadi tetap positifnya publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. []

USEP HASAN SADIKIN