Maret 19, 2024
iden

HARUN HUSEIN | Mendekatkan Pemilu Melalui Jurnalistik

Sosok Harun Husein mengurangi paradoks pemilu yang dikonsepsikan sebagai prosedur pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tapi jauh dari rakyat. Melalui media jurnalistik, Harun memberitakan, menyampaikan data, sekaligus menjelaskan pemilu untuk bisa dipahami masyarakat luas. Harun menyadarkan kita bahwa pemilu jangan sampai jadi komoditas atau kepemilikan elite politik berkontestasi. Pesta demokrasi sejatinya bukan hanya milik rakyat tapi juga harus dipahami rakyat.

Buku “Pemilu Indonesia: Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding” (Perludem, 2014) menjadi prasasti Pemilu Indonesia seorang Harun Husein. Lelaki kelahiran Lakudo, Buton, Sulawesi Tenggara pada 8 Juni 1973 ini menuliskan pengamatannya di bidang pemilu dari 2011 sampai triwulan ketiga 2013 ke dalam buku setebal 700 halaman. Mulai dari RUU Partai Politik, RUU Penyelenggara Pemilu, RUU Pemilu Legislatif, perjalanan tahapan Pemilu 2014, dan sejumlah momentum lainnya.

Sebelumnya tulisan-tulisan di dalam buku itu merupakan bagian terpisah dari setiap judul pembahasannya di harian Republika. Melalui rubrik khusus “Teraju” yang ia gawangi, pemilu ditulis dengan bahasa jurnalistik untuk mempermudah masyarakat memahami pemilu. Harun membenarkan penilaian banyak orang bahwa isu pemilu itu elitis.

“Jurnalistik punya bahasa yang khas. Ada kosakata tersendiri dari seorang jurnalis dalam menulis pemilu. Berbeda dengan orang kampus. Kalau kita baca pemilu yang ditulis orang kampus, katanya sih jadi pegel,” kata jurnalis senior yang memulai karir di Republika sebagai koresponden di Ambon pada 1999 ini.

Ruang bebas dan luas Kolom Teraju dimanfaatkan Harun mengeksplorasi referensi dan perbandingan pemilu antara negara dan daerah. Jangkauan komparasinya membuat kita tahu pilihan desain pemilu serentak Brasil telah memperbaiki peringkat indeks persepsi korupsi dan perekonomian. Kita pun jadi tahu, negara seperti Jerman dan Jepang dengan pertambahan penduduk yang mendekati minus berkeinginan menurunkan usia pemilih hingga balita dengan alasan persamaan hak dan motivasi keluarga mempunyai anak. Pembahasan sistem pemilu dan tata negara yang biasanya dingin bisa dihindari Harun dengan mengaitkan dimensi konstelasi politik dan kepentingan pemilih.

“Ini semacam tulisan semi analisis. Jadinya pembaca memahami tak sepotong-potong. Ada perbedaan jika kita hanya memberi tahu dengan tulisan saja dengan kita yang menunjukan data. Ada bukti dan fakta. Saya tak akan memonopoli pengertian. Biar pembaca menyerap berdasarkan data dan fakta,” Harun menekankan.

Terlepas motivasi Harun yang ingin mendekatkan pemilu dengan rakyat sebagai pemilik daulat bernegara, “Pemilu Indonesia” menjadi “Buku Pintar Pemilu” bagi kita. 2011-2013 sebagai konteks persiapan penyelenggaraan Pemilu 2014 menjadikan karya Harun ini semacam rangkuman dinamika pemilu Indonesia. Akademisi Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani menilai, buku yang dianalisis secara popular ini sangat tepat oleh kita yang ingin mengetahui seluk-beluk pemilu.

Harun berpendapat, pers sebagai pilar demokrasi menjadi semakin signifikan fungsinya jika serius membahas pemilu. Menurut salah satu anggota tim ahli Panitia Seleksi KPU/Bawaslu 2012-2017 ini, sebaiknya pemilik media dan pemimpin redaksi bisa menempatkan jurnalis pemilu untuk lebih fokus. “Jurnalis tak bisa hit and run dalam meliput untuk memahami pemilu. Tugas peliputan berada di KPU, DPR, lalu Kemendagri, meski semuanya politik, tak akan bisa memahami pemilu secara utuh jika tak ada perhatian khusus di pemilu,” ujar Harun.

Sikap dan harapan Harun menjadi relevan di konteks dunia pers saat ini. Pembahasan pemilu yang ditulisnya di Teraju mengingatkan kita bahwa pemberitaan pemilu bukan saja soal kontestasi. Bahkan, mengurangi pembahasan kontestasi akan menghindari pers terhadap stigma dan intervensi politik kuasa yang partisan. Menjadi tanggung jawab pers jika partisipasi masyarakat di pemilu semakin berkurang karena apa yang dibaca di media lebih banyak merupakan artikel yang mendukung dan mengarahkan bahkan menyampaikan kebencian atau pemujaan terhadap kontestan pemilu.

Harun sadar, masyarakat menilai isi yang disampaikan media dan kualitas masyarakat ditentukan oleh isi yang ada di media. Karena itu, Harun berkepentingan meningkatkan kedewasaan demokrasi Indonesia melalui pers. Kedewasaan demokrasi menyertakan pemahaman pemilu amat penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia pun akan semakin baik membuktikan bahwa Islam bisa sesuai dengan demokrasi dan pemilu.

Aspek keislaman itu penting bagi diri Harun. Pada dasarnya, kepeduliannya terhadap pemilu merupakan gambaran tanggung jawabnya untuk peduli terhadap kepentingan publik (umat). Ia kutip substansi yang disampaikan Robert Neelly Bellah dalam “Beyond Belife”: Islam menjadi demokratis karena menerapkan meritokrasi dalam memilih kepemimpinan negara, bukan keturunan.

“Demokrasi itu sistem yang dekat dengan Islam (yang menurut Harun juga berpihak pada perempuan dan budak). Sama halnya dengan demokrasi, di dalam Islam ada prinsip persamaan, kesetaraan, toleransi. Semangat ini ada di Madinah,” ujar Harun yang semasa mahasiswa menjadi Ketua Biro Penerbitan dan Pers LDK Al Ikhwan Universitas Pattimura ini meyakini.

Buku “Pemilu Indonesia” bukan akhir karya tulis Harun di bidang kepemiluan. Melalui rubrik Teraju, dirinya terus menulis pemilu secara luas sekaligus mendalam dengan bingkai jurnalistik. Semoga terus menjadi marka yang menunjukan perspektif pemilu di dunia pers. Dan semoga, pilihannya semua itu menjadi inspirasi jurnalis atau pers lain agar pemilu betul-betul dimiliki dan dipahami oleh rakyat. []

Usep Hasan Sadikin