Selepas Undang-Undang Pemilu disetujui oleh DPR dan Pemerintah, ada beberapa pengaturan yang masih menyisakan perdebatan panjang. Salah satu isu di dalam UU Pemilu yang menjadi perhatian penting adalah pengaturan ambang batas pencalonan presiden.
Banyak kalangan, termasuk saya, jauh sebelum pembahasa UU Pemilu dimulai berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden sudah tidak lagi relevan dengan pelaksanaan Pemilu 2019 yang akan diselenggarakan serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden dan DPR.
Tesis sederhananya adalah, suara hasil pemilu legislatif yang dalam pemilu presiden sebelumnya dijadikan sebagai ambang batas pencalonan presiden, sudah tidak bisa lagi dilaksanakan, karena Pemilu DPR dan Pemilu Presiden dilaksanakan dalam waktu dan jam yang bersamaan pada 2019 nanti. Artinya, sudah tidak ada lagi hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan sebagai ambang batas sebagai persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Untuk memahami ini, tentu tak perlu orang yang harus belajar hukum tata negara, sistem politik, serta ilmu pemerintahan selama bertahun-tahun.
Namun, politik hukum Presiden Jokowi yang disokong penuh oleh partai politik pendukungnya di DPR–minus PAN–memilih jalan lain. Presiden Jokowi sebagai pemegang separuh kekuasaan pembentuk undang-undang menginginkan tetap adanya ambang batas pencalonan presiden, layaknya Pemilu Presiden 2009 dan 2014. Presiden Jokowi melalui Kementerian Dalam Negeri dalam pembahasan UU Pemilu dari awal ngotot menolak angka ambang batas pencalonan presiden dikurangi, apalagi ditiadakan.
Argumentasi yang disampaikan, Presiden Jokowi tidak ingin pengaturan di dalam UU Pemilu berjalan mundur. Jika ambang batas pencalonan presiden ditidakan, menurut Presiden Jokowi, itu adalah pilihan mundur karena pada Pemilu 2014 saja terdapat angka ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah pemilu legislatif secara nasional.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa perlu penyederhanaan sistem politik. Juga angka ambang batas pencalonan presiden dinarasikan untuk menciptakan sistem presidensial yang kuat dan efektif.
Alasan dukungan terhadap pengaturan ambang batas pencalonan presiden yang tidak jauh berbeda juga selalu didengungkan oleh partai politik pendukung pemerintah di DPR. Alasan lain yang selalu dikatakan, Presiden Jokowi bersama partai politik pendukung pemerintah mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah dua kali menguji konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden.
Mahkamah memang memutus dalam amarnya bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Meskipun, jika dibaca utuh, putusan MK dan membaca Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, dalam konsepsi pemilu serentak ambang batas pencalonan presiden sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Tapi sudahlah. Tulisan ini tidak akan mendebat lagi argumentasi Presiden Jokowi dan partai politik pendukungnya terkait pengaturan ambang batas pencalonan presiden.
Apa pun, jika dibangun dan ditinjau dari sudut pandang manapun, argumentasi pengaturan ambang batas pencalonan presiden dalam pelaksanaan pemilu serentak sangat mudah untuk dibantah.
Tulisan ini justu hendak menyampaikan potensi bahaya layaknya bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Jika bom waktu itu meledak, Presiden Jokowi adalah pihak yang paling berpotensi dirugikan dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden. Kenapa?
Sulit dibantah bahwa tujuan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden adalah untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden pada Pemilu 2019 nanti. Sulit juga dibantah, jika jumlah pasangan calon presiden terbatas, pihak yang paling diuntungkan dalam kondisi tersebut adalah Presiden Jokowi sebagai calon petahana. Apalagi Presiden Jokowi memegang modal politik cukup kuat: sepanjang hasil survei yang pernah saya ikuti, tingkat kepuasaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi agaknya tak pernah kurang dari angka 40%.
Hingga hari ini, sudah ada Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Persaturan Pembangunan (PPP), dan Partai Hanura yang sudah mendeklarasikan akan mengusung Presiden Jokowi pada Pemilu Presiden 2019. Dengan kondisi ini, tanpa partainya sendiri pun (baca: PDI-Perjuangan) Presiden Jokowi sudah bisa mendapatkan tiket pencalonan Presiden 2019. Artinya, dengan pengaturan ambang batas pencalonan presiden, dipastikan butuh koalisi beberapa partai politik untuk memenuhi angka ambang batas pencalonan presiden, karena angkanya diambil dari hasil Pemilu 2014.
Tapi, Presiden Jokowi perlu mengingat kembali kiasan politik klasik Indonesia: tak ada yang pasti dalam politik. Dalam politik, yang pasti adalah ketidakpastian itu. Lalu sudah amankah tiket pencalonan Presiden Jokowi? Jawabannya adalah ketidakpastian itu.
Dengan masa pencalonan presiden Pemilu 2019 masih sekitar 26 bulan lagi, tentu apa pun masih bisa terjadi. Presiden Jokowi bukanlah kader dari partai yang sudah mendeklarasikan akan mengusungnya sebagai pasangan calon presiden. Kemungkinan partai politik tersebut berbalik badan untuk tidak mencalonan Presiden Jokowi tentu masih terbuka kemungkinan.
Dengan kiasan sederhana tidak ada yang pasti dalam politik, kemungkinan itu masih sama besarnya dengan kemungkinan seluruh partai politik tersebut mencalonkan Presiden Jokowi untuk Pemilu 2019. Presiden Jokowi tentu saja sudah tahu bahwa PDI-P sebagai partai di mana Presiden Jokowi adalah kadernya, dipastikan tidak bisa mengusung pasangan calon presiden sendiri dengan angka ambang batas berdasarkan hasil Pemilu 2014. Persentase kursi PDI-P di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014 “hanya” 18%.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi perlu hati-hati betul untuk hal ini. Sangat mungkin pengaturan ambang batas pencalonan presiden ini justru akan menyulitkan pencalonan Presiden Jokowi, andai partai politik yang sudah menyatakan dukungan saat ini berbalik badan. Beberapa bakal calon kepala daerah pastinya pernah mengalami fenomena peralihan dukungan partai politik di detik akhir pencalonan seperti itu.
Soal penyebab partai politik itu berbalik badan, adalah sebuah kemugkinan dalam ketidakpastian pilihan politik itu sendiri. Semoga sehat selalu Presiden Jokowi! []
FADLI RAMADHANIL