Maret 28, 2024
iden
Print

Kodifikasi UU Pemilu: Sejarah dan Praktik di Beberapa Negara

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan (Pemilu Legislatif) akan digelar bersamaan atau serentak pada tahun 2019. Tentunya hal ini akan menjadi babak baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.

Penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif secara serentak membawa konsekuensi pada perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu. Selama ini pengaturan pemilu tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

Sementara untuk mengatur penyelenggara pemilu terdapat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di samping itu masih ada Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Terdapatnya berbagai pengaturan mengenai pemilu yang tersebar dalam berbagai undang-undang. ini tentulah mengakibatkan terjadinya tumpang tindih pengaturan dan ketidaksinkronan ketika mengatur hal yang sama. Terjadi juga pengulangan dalam pengaturan terutama yang mengatur penyelenggara pemilu.

Keharusan penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak berdasarkan Putusan MK melatarbelakangi munculnya gagasan menyatukan pengaturan Undang-Undang Pemilu yang tersebar itu ke dalam satu Undang-Undang Pemilu dalam bentuk Kodifikasi. Kodifikasi Undang-Undang Pemilu tidak hanya mengatur penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, namun juga mengatur penyelenggara pemilu dan pemilihan kepala daerah yang sekarang masih diatur dalam Undang-Undang yang berbeda.

Istilah kodifikasi berasal dari codificatie dalam Bahasa Belanda atau codification dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodifikasi (kata benda) adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab perundang-undangan; kodifikasi hukum, penggolongan hukum dan undang-undang yang baku.

Sementara mengkodifikasikan (kata kerja) berarti menyusun (membukukan) peraturan sehingga menjadi kitab perundang-undangan. Dalam Kamus Hukum Black Law ditulis codification adalah the process of collecting and arranging systematically, usually by subject, the laws of the state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practices; atau suatu proses mengumpulkan dan mengatur hukum suatu negara atau peraturan-peraturan yang mencakup suatu area hukum atau praktik tertentu  secara sistematis. [1]

Merujuk pada sejarah konsep kodifikasi, Jeremy Bentham (1748-1832) adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah kodifikasi dalam bahasa Inggris, codification.[2] Cikal bakal istilah kodifikasi maupun perkembangannya baru dimulai pada abad ke-18,[3] meskipun kodifikasi yang secara etimologi, berasal dari bahasa latin, codex, yang artinya kitab bisa dilacak sejak zaman Babilonia melalui Code Hamurabi[4]  (1750 SM) yang mendapatkan pengaruh dari Sumerian dan Akkadian Codes.[5]

Pada perkembangannya, konsep kodifikasi juga berkembang hingga ke dalam tatanan hukum Romawi (Roman Law). Artinya mengompilasikan teks-teks dan tulisan-tulisan doktrinal dalam satu “Code” seperti Gregorian Code, Theodosian Code dan Justinian Code atau dikenal dengan Corpus Iuris Civilis.

Intinya, di era kuno seperti Babilonia dan Romawi atau dikenal sebagai era Codex[6], kodifikasi hanya dipandang sebagai suatu bentuk “konsolidasi” dan “kompilasi” peraturan-peraturan materiil yang ada dalam satu buku, sehingga memudahkan praktisi hukum (hakim, jaksa dan advokat) untuk mencari sumber hukum tersebut.”[7] Tujuan kodifikasi seperti ini masih terlihat hingga abad ke-18 ketika terjadi transisi ke era modern codification, seiring dengan pengaruh abad pencerahan (enlightment age).[8]

Pada modern codification, pemaknaan kodifikasi hukum telah jauh berbeda dengan zaman codex. Hal ini ditandai dengan lahirnya Bavarian Civil Code (1756), Prussian General Code (1794) dan Austrian General Civil Code (1811)[9] yang berlaku untuk seluruh wilayah Konfederasi Jerman yang masih tersegmentasi menjadi beberapa kerajaan di kawasan tersebut pada saat itu. Pergerakan kodifikasi modern berkembang sangat masif di Perancis didorong oleh pergerakan Revolusi Perancis. Perancis berhasil merombak tujuan kodifikasi codex menuju pembaharuan kodifikasi.[10]

Hal itu dibuktikan dengan adanya lima kodifikasi hukum (Les Cinq Codes), yang terdiri atas Code Civil des Français(1804), Code de Procédure Civile (1806), Code de Commerce (1807), Code Pénal (1810) dan Code d’Instruction Criminelle (1811).[11] Lahirnya les cinq codes kemudian mendorong terbentuknya kodifikasi hukum di berbagai negara di daratan Eropa Barat yang condong menganut sistem civil law, seperti Belanda, Italia, Portugis dan Spanyol.[12]

Model-model kodifikasi hukum yang berkembang di dunia diawali dengan lahirnya era codex yang dikenal dengan ciri kompilasi ketentuan dalam satu buku khusus. Kemudian pada perkembangannya, konsep kodifikasi hukum ini bergeser ke arah modern codification yang memiliki tujuan tidak hanya sekedar kompilasi hukum, tetapi juga untuk pembentukan sistem hukum baru yang sistematis.[13]

Dalam tataran kodifikasi modern ini, Damiano Canale mencatat terdapat persamaan nilai tujuan yang terkandung dalam fase tersebut dengan fase sebelumnya (fase Codex) yaitu untuk mendesain dan menyimplifikasi perbedaan peraturan perundang-undangan menjadi satu kumpulan dengan maksud untuk memudahkan para praktisi hukum.[14] Dengan kata lain, kodifikasi bertujuan untuk melakukan kompilasi terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada.

Fase kodifikasi modern juga memiliki tujuan lain yang tidak dimiliki oleh era terdahulu. Pertama, untuk membuat sistematisasi hukum materiil serta unifikasi hukum sehingga secara rasional tercipta keterkaitan peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya. Kedua, kodifikasi modern juga bertujuan untuk membentuk suatu sistem hukum yang baru berdasarkan politik hukum yang fundamental sehingga masing-masing lembaga hukum saling mendukung untuk tercapainya kesatuan sistem.[15]

Tujuan-tujuan kodifikasi dalam era modern juga didukung oleh ahli hukum Indonesia, seperti Kansil yang menyatakan bahwa tujuan dari kodifikasi hukum adalah untuk kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum.[16] Selain itu, Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa tujuan umum dari kodifikasi adalah untuk membuat kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti.[17]

Tujuan dari kodifikasi modern juga tercermin dalam praktik di Irlandia ketika negara tersebut mengkodifikasi hukum pidana mereka yang mendasarkan kepada tiga hal pokok, yaitu: (i) untuk menjalankan mandat konstitusi Irlandia, (ii) meningkatkan kualitas hukum pidana nasional Irlandia, dan (iii) meningkatkan efisiensi sistem administrasi pidana Irlandia.[18]

Pada konteks Indonesia, perkembangan kodifikasi hukum tidak terlepas dari pengaruh hukum kolonial Belanda yang berlaku untuk kawasan Hindia Belanda pada masa penjajahan. Secara historis, latar belakang pembangunan kodifikasi hukum di Belanda merupakan refleksi dari kodifikasi modern di Perancis yang juga diterapkan dalam praktik hukum di Indonesia.

Kepatuhan Indonesia terhadap pengadopsian model kodifikasi modern ini tidak terlepas dari jalur politik hukum Hindia Belanda di masa lampau yang menganut asas konkordansi (concordantie beginsel).[19] Pemberlakuan asas ini dimulai sejak 1 Mei 1848. Dasarnya Pasal 131 Indische Staats Regeling (IS) jo Pasal 163 IS yang berakibat berlakunya sejumlah produk hukum Kerajaan Belanda seperti Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandels (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) serta Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda) yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Belanda.

Setelah fase kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, asas konkordansi masih diterapkan pada Pasal II Ketentuan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai bagian dari politik hukum Indonesia, yang menegaskan bahwa ketentuan hukum yang berlaku pada zaman Hindia Belanda masih tetap berlaku sepanjang belum diadakan yang baru menurut UUD 1945 dengan tujuan mencegah terjadinya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum karena terjadinya perubahan sistem hukum dari Hindia Belanda ke sistem hukum Indonesia.[20]

Belajar dari pengalaman itu, maka dalam melakukan kodifikasi untuk membuat kitab undang-undang setidaknya terdapat lima metode, yaitu: menyatukan peraturan-peraturan yang berlaku, mengelompokkan materi sejenis dan menyusunnya ke dalam bagian-bagian secara logis; meniadakan ketentuan-ketentuan rinci dan teknis, dan menghilangkan ketentuan-ketentuan tumpang tindih dan kontradiktif.

Upaya kodifikasi Undang-Undang Pemilu didorong oleh banyaknya undang-undang pemilu yang mengatur pemilu yang berbeda-beda. Penyatuan undang-undang pemilu memungkinkan standardisasi pengaturan terhadap isu sejenis, seperti pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, penghitungan suara, dan lain-lain.

Penyatuan undang-undang juga memudahkan masyarakat untuk memahami undang-undang pemilu secara utuh. Banyak negara melakukan kodifikasi Undang-Undang pemilu untuk membantu pemilih dalam memahami hak-haknya, membantu partai politik dan calon dalam mempersiapkan diri menuju kompetisi politik serta membantu penyelenggara dalam menyiapkan teknis pelaksanaan pemilu.

Salah satu negara yang melakukan kodifikasi terhadap Undang-Undang Pemilu adalah Filipina. Filipina memiliki Batas Pambansa Bilang (Omnibus Election Code of The Philippines atau Kitab Undang-Undang Pemilu yang merupakan kumpulan peraturan sistem pemilu sekaligus peraturan administrasi pemilu.

Kitab Undang-Undang itu mengatur penyelenggaraan pemilu nasional (memilih kongres dan presiden), pemilu regional (memilih dewan provinsi dan gubernur), pemilu lokal (memilih dewan kota dan walikota), serta referendum. Kitab Undang-Undang ini disahkan pada 1985 dan telah diamandemen terakhir pada Maret 2013.

Kitab Undang-Undang Pemilu Filipina mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) sistem pemilu untuk memilih kongres dan presiden, parlemen provinsi dan gubernur, parlemen kota dan walikota; (2) tugas dan wewenang Comelec selaku penyelenggara pemilu; (3) kualifikasi calon dan tata cara pencalonan; (4) pendaftaran partai politik; (5) kampanye; (6) dana kampanye; (7) pendaftaran pemilih; (8) daerah pemilihan dan tempat pemungutan suara; (9) pemantau pemilu; (10) pengesahan suara dan pemilihan ulang; (11) pemberian dan penghitungan suara; (12) rekapitulasi dan pengumuman pemenang; serta (13) pelanggaran pemilu dan sanksi.[21]

CATHERINE NATALIA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


[1] Titi Anggraini, dkk, Kajian Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Cet. 1, November 2014, Jakarta: Yayasan Perludem, 2014, hal. 12.

[2] Stephen Conway (ed.), “Letter from Jeremy Bentham to Tsar Alexander I (June 1815)” dalam The Correspondence of Jeremy Bentham, (Oxford, 1988), hal. 464.

[3] Maria Luisa Murillo, “The Evolution of Codification in the Civil Law Legal System: Towards Decodification and Recodification” dalam Transnational Law & Policy 1 (1994), hal. 3.

[4] Kode Hamurabi adalah kitab hukum pertama yang berhasil ditemukan oleh para ahli sejarah hukum.

[5] Jean Louis Bergel, “Principal Features and Methods of Codification,” 48 La Rev 5 (1988), hal.1.

[6] R. Cabrillac, Les Codifications, (Paris: Presses Universitaires de France, 2002) hal. 56.

[7] Damiano Canale, dkk (eds.), A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence, Vol. 9: A History of the Philosophy of Law in the Civil Law World, 1600-1900 (Dordrecht: Springer Science & Business Media, 2009), hal. 136.

[8] Cabrillac, op.cit. hal. 33.

[9] Thomas Vormbaum dan Michael Bohlander (eds.), A Modern History German Criminal Law: Translated by Margaret Hiley (Heidelberg: Springer, 2014).

[10] Maria Luisa Murillo, op.cit, hal. 4.

[11]Margaret Barber Crosby, The Making of A German Constitution: A Slow Revolution (Oxford: Berg, 2008), hal. 68.

[12] Reinhard Zimmermann, “Codification: The Civilian Experience Reconsidered on the Eve of a Common European Sales Law,” dalam Wen-Yeu Wang (ed.), Codification in International Perspective: Selected Papers from the 2nd IACL Thematic Conference (Heidelberg: Springer Science & Business Media, 2014), hal. 12.

[13] Bernhard Ruben Fritz Sumigar, Kodifikasi dalam RKUHP dan Implikasi terhadap Tatanan Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hal. 3.

[14] Canale, op.cit., hal. 137.

[15] Ibid., hal. 136.

[16] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 12 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 72.

[17] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,  Cet. 6 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 92.

[18] Expert Group on the Codification of the Criminal Law, Codifying the Criminal Law (Dublin: Stationery Office, 2004), hal. 24.

[19] Kansil, op. cit., hal. 178.

[20] Sumigar, op.cit., hal. 4.

[21] Titi Anggraini, op. cit., hal. 19.