Maret 28, 2024
iden
Print

Menguji Pesona Demokrasi

Demokrasi hingga saat ini masih bisa dikatakan sebagai sistem terbaik dalam menentukan pemimpin pada masyarakat yang kompleks. Dalam pesona kejayaan demokrasi sebagai sistem yang diakui seperti itu, tentu banyak ujian pada proses pelaksanaan sistem ini sebagai bentuk “diskursus” bahwa kejayaan itu tak bersifat semu.

Berbondong-bondongnya masyarakat menyatakan sikap politik, misalnya, kritik akan kualitas calon kepala daerah dan keterlibatan memilih pada pilkada nanti, bagian dari bentuk partisipasi politik menjalankan “khittah” demokrasi. Demokrasi merupakan bagian dari “budaya”—ia harus melekat pada diri masyarakat jika ingin mengukur demokrasi sebagai sebuah keniscayaan yang didengungkan-dengungkan, lebih hebat dari pada sistem monarki, fasis dan lain-lain yang dulu menjadi konsep populer dalam tradisi kepemimpinan bangsa-bangsa di dunia.

Menurut Damsar (2010), pengertian partisipasi politik dipahami melalui pengertian penggabungan dua konsep, yaitu partisipasi dan politik, maka paritipasi politik dapat dijelaskan, “sebagai turut ambil bagian, ikut serta atau berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (alocation).” (Damsar, 2010:179).

Momentum pilkada serentak ini, apabila pengujian sistem yang dianggap telah mapan, maka demokrasi yang dulunya terpusat (sentralisasi) maka munculnya era otonomi daerah maka demokrasi menyebar  pada daerah (desentralisasi). Partisipasi politik masyarakat akan berubah, dulunya hanya dikenal masyarakat hanya pileg dan pilpres, keberadaan otonomi daerah, menyebabkan suasana pemilihan besar tersebut juga berefek pada Pilkada, sebagai bentuk bahwa hal ini meruntinkan partisipasi masyarakat untuk “melek politik”.

Pendek kata, partisipasi politik masyarakat pada pilkada bagian bawa secara sistem Indonesia telah mulai menata sistem demokrasi yang mengakar dari pusat hingga daerah. Pilkada serentak adalah bagian dari proses pengujian itu, tentang konsistensi “kita” menjalankan demokrasi yang selalu kita agung-agungkan.

Kembali pada hal yang dikemukaan sebelumnya, tentang Pilkada. Sejarah pemilihan kepala daerah muncul sejak era Orde Lama. Pemberlakukan UUD sementara Tahun 1950 saat Indonesia berbentuk serikat (RIS), yakni lahirnya UU No 1 Tahun 1957, pasal 23 UU No 1/1957 menyebutkan, kepala daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Keberadaan undang-undang tersebut dengan sisem  kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Pascadekrit presiden 5 Juli 1959, maka munculah penetapan presiden nomor 6 tahun 1959 saat Indonesia berpatokan pada NKRI. Selanjutnnya, karena kegaduhan politik maka keluarlah UU No. 18/1965 yang memiliki wewenang menentukan kepala derah adalah pemerintah pusat.

Pada sisi ini, pemilihan kepala daerah yang sebelumnya DPRD, wewenang ini dominan diambil oleh presiden. Hal ini disempurnakan Presiden Soeharto dengan mengeluarkan UU nomor 5 tahun 1974, bahwa kepala daerah ditentukan oleh presiden, sehingga untuk membentuk stabilitas hubungan pusat dan daerah wewenang DPRD tidak kuat menganti kepala daerah.

Pascareformasi, amandemen UUD 1945, dibukanya otonomi daerah memberikan ruang daerah menunjukan kekuasannya dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999, selanjutnya diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004. Perdebatan alot beberapa waktu lalu, menghasilkan undang-undang otonomi daerah yang baru, 23 tahun 2014. Pada undang-undang ini, undang-undang yang mengatur tentang pilkada, yakni undang-undang no 8 tahun 2015, pada akhir tahun ini—9 desember 2015—akan diadakan secara serentak, dan semester dua tahun 2017.

Tentunya pilkada serentak akan menjadi “batu sandungan” ujian demokrasi kita jika tak dilaksanakan secara hati-hati, sebagai bentuk uji coba pilkada serentak akan menjadi hambatan banyak daerah yang belum matang secara sumber daya manusia. Kemunculan calon-calon “boneka” atau “tunggal”, bentuk gagalnya penguatan masyarakat sipil di daerah, dengan adanya peluang “petahana” untuk memperkuat basis politiknya dengan memperalat birokrasi dan lain-lain.

Otonomi daerah bukan bentuk dari penguatan partisipasi masyarakat di daerah. Tetapi itu semua adalah bagian dari terbentunya “raja-raja kecil” di daerah. Dengan kata lain, kondisi saat ini selain hal itu terjadi pada pelaksana pilkada—permainan petahana—yang membajak demokrasi dengan adanya “monopoli” birokrasi, selain hal ini menyebabkan partisiapsi masyarakat mandeg, demokrasi hanya sebatas seremonial semata, bahwa setelah pesta selesai maka kewajiban telah usai.

Ibarat pada pesta pernikahan, pesta adalah bentuk apresisasi dan rasa syukur pengantin pada lingkungan sosial. Sesungguhnya, pesta pernikahan tanpa ada rasa cinta pengantin, akan sama saja ada “makna” kawin paksa (orang tua) atau terpaksa kawin (hamil), begitu juga dengan demokrasi yang tak bisa dilihat secara parsial.

Pilkada serentak yang akan kita laksanakan nanti bagian dari kedewasan kita dalam berpolitik, saat pilkada berjalan dengan baik berati kita memang telah siap “berjiwa besar”, kunci sesungguhnya dalam demokrasi. Maka dari itu, ini adalah proses pengujian bagi kita, apakah demokrasi memang “benar” nyatanya sebagai sistem yang membawa “pesona” banyak orang, atau sebatas sistem yang membawa pada kekecewaan. []

ARIFKI
Peneliti Sosial dan Politik FISIP Universitas Andalas, Padang