Maret 29, 2024
iden

W. Riawan Tjandra: PKPU Telah Sesuai UU 7/2017 Kecuali Pasal 13

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memanggil satu orang ahli hukum administrasi negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, W. Riawan Tjandra, guna memberikan pemahaman terkait kebijakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), hak administrasi partai politik, dan prinsip-prinsip pembuatan kebijakan oleh penyelenggara negara.

Berikut penjelasan W. Riawan Tjandra dalam persidangan di Bawaslu dalam bentuk wawancara.

Adakah aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.11/2017 yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No.7/2017?

UU No.7/2017 memberikan kewenangan kepada KPU untuk menyelenggarakan pemilu. Pada wewenang itu, ada aspek pengaturan, keputusan yang dihasilkan, juga tindakan-tindakan faktual.

Di PKPU No.11/2017, di Pasal 13, diatur kewajiban bagi partai politik untuk memasukkan data partai ke Sipol. Namun, pada ayat ke-5 dinyatakan bahwa kalau tidak memasukkan data ke Sipol, tidak bisa mendaftar sebagai peserta pemilu. Nah, aturan inilah yang harus dicocokan dengan UU No.7/2017 pasal penyerahan dokumen sebagai persyaratan peserta pemilu.

Memang ada sedikit perbedaan antara UU No.7/2017 dengan PKPU No.11/2017. Saya melihat kesan adanya tambahan syarat, yaitu memasukkan data di Sipol. Dengan Sipol ini, berarti ada dokumen elektronik. Ada aturan tersendiri soal dokumen elektronik di UU Administrasi Pemerintahan.

Bagaimana pengaturan dokumen elektronik di  di UU Administrasi Pemerintahan dan bagaimana sudut pandang hukum administrasi melihat adanya perbedaan tersebut?

Di dalam UU Administrasi Pemerintahan diatur bahwa ada dokumen elektronik dan dokumen elektronik itu punya kewenangan yang sama dengan dokumen yang tercetak. Tapi, di UU Administrasi Pemerintahan, kalau ada perbedaan antara dokumen elektronik dengan dokumen tercetak, maka yang harus dipakai adalah yang tercetak.

Nah, pada persoalan pendaftaran di KPU kemarin, yang saya lihat justru terjadi sebaliknya. Preferensi justru diberikan kapada dokumen yang sifatnya elektronik dan bahkan sebelum mendaftar harus memasukkan dokumen elektronik ke dalam Sipol.

Berdasarkan sudut pandang hukum administrasi negara, KPU tentu menjalankan administrasi pemerintahan. Ada dua wewenangnya, yaitu membentuk hukum administrasi yang sifatnya heteronom dan juga otonom. Heteronom berarti pejabat negara, saat membuat kebijakan, mengacu pada UU. Sedangkan otonom, membuat kebijakan atas kreativitasnya.

Nah, di PKPU  No.11/2017, ada campuran norma, heteronom dan otonom. Yang otonom itu soal Sipol.

Kedua, UU No.7/2017 jelas masih memberikan preferensi pada dokumen tertulis. Meskipun memungkinkan efesiensi dengan dikembangkannya sistem elektronik, tetapi tetap dominan untuk  dokumen tertulis itu.

Jadi, kebijakan Sipol adalah hukum administrasi otonom yang menyalahi UU No.7/2017?

Sebenarnya, konstitusi kita ingin mengembangkan sebuah norma yang sifatnya membuka hak seluas-luasnya kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam pemilu. Jadi, harus ada fasilitas yang memadai.

Nah, di PKPU No.11/2017, di Pasal 13, adalah asal mula permasalahan. Meskipun saya melihat pasal a quo sebagai perwujudan hukum administrasi negara yang efektif dan efisien, tetapi warga negara harus dibawa pada situasi yang dapat memastikan haknya itu. KPU, dalam menggunakan wewenang, harus memastikan tidak memberikan kerugian pada hak warga negara.

Jadi, harus digarisbawahi bahwa elektronik itu instrumental. Ia harus mencerminkan karakter efektif dan efisien serta mewujudkan hak. Norma pemilu, jika sifatnya di konstitusi adalah membuka, derivasi peraturan tidak boleh bersifat menutup.

Menurut Ahli, apakah PKPU No.11/2017 bersifat menutup terselenggaranya hak partai politik?

Karena di Pasal 13 PKPU ada mekanisme tambahan, berarti itu sebuah norma yang justru menutup terselenggaranya hak. Karena tidak bisa mengupload, jadi dia kehilangan haknya.

Oleh karena itu, sebaiknya, jika masih memungkinkan, pendaftaran partai politik calon peserta pemilu diutamakan saja pada penelitian administrasi dan verifikasi faktual. Mekanisme yang elektronik bisa dilakukan setelah syarat-syarat di Pasal 173 UU No.7/2017 sudah terpenuhi, dengan supervisi dari penyelenggara pemilu.

Intinya, jangan sampai mekanisme elektronik ini jadi hambatan, karena sifatnya instrumental. Apalagi jika sosialisasi Sipol dirasakan kurang, tujuan untuk mencapai transparansi dan efisien jadi tidak tercapai karena yang akan menggunakan hak itu tidak tahu.