April 18, 2024
iden

Kemandirian KPU Akan Selesaikan Dualisme Partai

Sifat kemandirian Komisi Pemilihan Umum yang dijamin dalam konstitusi diuji dengan dualisme partai di jelang pilkada. Keserentakan pilkada di 233 daerah menambah mendesaknya persiapan KPU. Tapi jumlah pilkada ini menjadikan kuasa kepemimpinan daerah ratusan kali lipat lebih penting bagi partai sehingga intervensi terhadap KPU jauh lebih kuat. Dinamika perumusan Peraturan KPU untuk pilkada menyertai konsultasi dengan Komisi II dan Panitia Kerja Pilkada menjadi jejak rekam KPU membuktikan kemandiriannya.

Berdasarkan undang-undang partai politik, KPU menyampaikan bahwa pihaknya akan berpegang pada Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (SK Kemenkumham) dalam menentukan kepengurusan partai yang sah. Namun, SK tersebut hanya berlaku di masa tenang, di mana tak ada konflik yang terjadi dalam tubuh partai. Selain itu, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah menangguhkan SK Kemenkumham. Dengan demikian, KPU tak dapat lagi berpegang pada SK tersebut.

Dalam rapat Panitia Kerja rancangan PKPU (Panja PKPU), 24 April lalu, Komisi II DPR mengajukan 3 rekomendasi kepada KPU. Rekomendasi pertama adalah kembali ke SK Kemenkumham. Rekomendasi kedua adalah putusan pengadilan terakhir. Sedangkan rekomendasi ketiga adalah menunggu partai yang bersangkutan menempuh jalan islah.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi menyampaikan, rekomendasi pertama, yaitu kembali pada SK Kemenkumham, tak dapat diambil sebagai dasar bagi KPU untuk menentukan kepengurusan partai yang sah. SK tersebut telah ditangguhkan melalui putusan PTUN, sementara putusan itu sendiri tak menyatakan keabsahan kepengurusan partai yang bersangkutan.

Merujuk pada Pasal 32 ayat (1) UU No. 2/2011 tentang Perubahan atas UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, perselisihan dalam tubuh partai harus diselesaikan dahulu secara internal melalui Mahkamah Partai. Menurut Veri, dualisme partai yang berlangsung berlarut-larut saat ini terjadi karena Kemenkumham terlalu terburu-buru mengeluarkan keputusannya tanpa memandang Pasal tersebut. Alih-alih mengembalikan persoalan internal partai ke Mahkamah Partai, Kemenkumham justru menyerahkannya ke PTUN.

“Menkumham mengambil langkah politik yang justru berujung pada konflik yang berkepanjangan ini,” ujar Veri.

Rekomendasi DPR untuk menjadikan putusan pengadilan terakhir sebagai dasar bagi KPU untuk menentukan kepengurusan partai yang sah juga berpotensi menimbulkan konflik. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, sebaiknya KPU tak mengambil langkah tersebut. Menurutnya, rekomendasi itu tak ideal, karena dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari ketika putusan pengadilan yang lebih tinggi berbeda dengan putusan tersebut.

“KPU harus menunggu keputusan di pengadilan yang paling tinggi,” kata Fadli.

Mengingat tahap pendaftaran calon kepala daerah akan dimulai pada 24 Juni mendatang, mekanisme tersebut berarti juga memaksa KPU untuk kemudian mengambil langkah tegas. Jika perselisihan internal dalam partai tak juga memeroleh keputusan pengadilan yang bersifat selesai dan mengikat kurang dari dua bulan mendatang, KPU tak punya pilihan lain selain menggugurkan pendaftaran partai-partai yang bersangkutan.

Berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2009 lalu, di mana Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mengalami perselisihan internal, yang saat ini dialami Golkar dan PPP, KPU tetap berpegang pada SK Kemenkumham dan mengundang kedua kubu yang terbelah dalam tubuh PKB. Pada saat itu Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid sama-sama datang ke KPU untuk mengambil nomor urut.

Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, putusan PTUN hanya menangguhkan SK Kemenkumham, tapi tidak pernah membatalkannya. Ia juga mengatakan bahwa keputusan Menkumham dalam menentukan kepengurusan yang sah terlalu terburu-buru. Namun demikian, bagaimanapun, kepengurusan itulah yang telah dicatat.

“Dan menurut undang-undang, yang tercatat itulah yang sah,” kata dia. Menurut Refly, langkah yang diambil oleh KPU pada Pemilu 2009 lalu dapat diikuti dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun ini.

Konflik internal partai yang berlarut-larut terbukti menghambat penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015. Hingga 24 April lalu, KPU baru mendaftarkan 3 dari 10 rancangan PKPU mereka ke Kemenkumham. Persoalan yang paling mengemuka dalam pembahasan rancangan tersebut tak lain adalah soal keabsahan kepengurusan partai yang sedang berselisih. Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik telah mengambil langkah tegas dengan menyatakan bahwa pihaknya telah cukup mendengarkan rekomendasi dari Komisi II DPR per 23 April lalu.

Pada 30 April lalu, KPU RI telah menyelesaikan pembahasan 7 PKPU yang tersisa melalui rapat pleno. Melalui kesepakatan dalam rapat tersebut, KPU memberikan dua pilihan bagi partai-partai yang sedang bersengketa. Pilihan pertama, KPU akan mendasarkan keabsahan kepengurusan partai yang bersangkutan berdasarkan dari putusan pengadilan terakhir. Pilihan kedua, partai-partai tersebut harus menempuh jalan islah.

Husni mengatakan, kepengurusan yang telah disepakati melalui islah tetap harus didaftarkan terlebih dahulu di Kemenkumham. KPU yakin, partai-partai tersebut akan berdamai sebelum tahap pendaftaran dimulai. []

BAGUS PURWOADI

Jurnalis rumahpemilu.org