April 18, 2024
iden

Memutar Haluan Mahar Politik

ilustrasi-tahapan-18

Pemilihan Kepala daerah (Pilkda) Serentak Jilid I sudah berakhir dan sekarang kita menunggu perhelatan Pilkada Serentak Jilid II. Pilkada kembali menjadi asyik diperbincangkan dari semua aspek kajian keilmuan. Salah satu pembahasan yang menjadi perbincangan dengan kesulitan pembuktian terkait mahar politik.

Mahar politik dipahami berupa setoran dari seseorang pendaftar bakal calon kepala daerah untuk diusung partai di pilkada. Mahar politik bagaikan isu di atas langit yang kita ketahui berupa uang terima kasih kepada Pengurus Pusat Partai demi meraih selembar surat rekomendasi demi melengkapi syarat berkas pendaftaran bakal calon kepala daerah ke KPU.

Isu setoran pendaftar partai untuk dicalonkan sebagai pasangan calon bagaikan angin, terasa namun tak berwujud. Sayup-sayup terdengar mahar politik namun tak satupun bukti menandakan keberadaannya. Begitulah cerita pilu proses pencalonan yang dinilai sebagai salah satu indikator kelahiran calon perseorangan. Karena calon perseorangan tak mampu membayar mahar dan akhirnya maju bermodalkan kekuatan dukungan KTP dan tanda tangan.

Tahun ini, persoalan Pilkada bukan hanya ramai karena Revisi Undang Undang (RUU) Nomor 8 Tahun 2015 (RUU Pilkada). Tetapi ramai karena perdebatan selingkup pencalonan baik perseorangan maupun dukungan parpol. Kali ini penulis mencoba membaca terwujudnya era baru yang berkemungkinan menghentikan laju calon perseorangan tanpa ada yang tersakiti.

Belajar pada Nasdem

Pencalonan tanpa mahar terdengar diusung oleh Partai Nasdem pada Pilkada Serentak Jilid I. Partai Nasdem membebaskan belenggu setoran dari pasangan calon yang diusung. Mereka yang berniat berlomba merebut kuasa Pemerintahan Daerah Otonom cukup melengkapi persyaratan dan mengikuti prosedur seleksi pencalonan. Kemudian Partai Nasdem pun mengeluarkan rekomendasi dukungan untuk mendaftar ke KPU Provinsi bagi Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur atau ke KPU Kabupaten/Kota bagi Pasangan Calon Bupati dan Walikota beserta wakilnya.

Kita tidak bisa menyatakan bahwa parpol lain meminta mahar politik dengan melandaskan program pemenangan pilkada versi Nasdem. Hanya saja, Nasdem sangat menyuarakan begitu massif terkait pencalonan Pilkada. Hal ini adalah langkah awal yang baik untuk menjaring para politisi daerah dengan dana minimal maju mencoba peluang menggunakan hak asasi untuk dipilih dalam pilkada.

Pola pemilihan demokratis bakal calon kepala daerah dengan cara Nasdem tetap memiliki titik lemah. Sayup-sayup terdengar bahwa Pengurus Daerah kalang kabut mencarikan uang untuk membiayai semua proses pendaftaran hingga pengusungan bakal calon kepala daerah. Mereka tidak boleh menarik uang namun wajib mengupayakan operasional sendiri dalam menjalankan mekanisme partai.

Mekanisme ini diketahui penulis mulai dari penjajakan calon, penerimaan berkas calon, pelaksaan survey, pengumpulan data dukungan di dalam kader, rapat-rapat partai hingga pengiriman berkas dan pertanggungjawaban kepada Pengurus Pusat. Semua aktifitas itu dilakukan secara mandiri hingga membuat bintang-bintang berputar diatas kepala dan kadang badan pun terhuyung-huyung.

Aksi menolak mahar politik

Partai Nasdem akan memiliki rekan seperjuangan dalam rumpun menolak mahar politik. Partai tersebut adalah Partai Golkar yang disuarakan oleh sang nakhoda baru hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Setya Novanto (Setnov) dalam media indonesia (18/5) menyatakan bahwa dalam program kerja 100 hari berupaya mempersiapkan Golkar dalam Pilkada serentak 2017. Setnov menyatakan dengan tegas menolak mahr politik bagi calon-calon yang akan diusung Golkar.

Kita anggap saja ini adalah suatu kebenaran nyata bila dilihat dari nama besar pimpinan Golkar yang dikenal hartawan. Kekayaan Setnov takkan bertambah hanya dengan menerima mahar politik dari calon yang akan diusung Golkar untuk Pilkada serentak 2017. Bahkan Setnov melanjutkan pernyataannya dengan niat membantu menyiapkan dana bergulir dan konsultan pemenangan gratis.

Golkar akan menjadi parpol kedua paska Nasdem yang menghapus mahar politik dalam pencalonan pasangan calon yang diusung partai atau gabungan parpol. Namun, Golkar memiliki nilai tambah tersendiri yaitu membantu dana bergilir serta tim konsultan pemenangan. Target program Golkar adalah menemukan kader pemimpin daerah berkualitas yang siap memenangkan Pilkada dan meningkatkan suara Golkar di Pemilu 2019.

Permasalahannya adalah bagaimana mekanisme pemilihan dan penetapan pasangan calon yang diusung golkar tanpa mahar politik. Pengurus Teras dari pusat hingga ke daerah memiliki prioritas tersendiri di tubuh golkar. Kalaupun ada dukungan terhadap calon di luar pengurus teras biasanya adalah pengusaha di lokal kedaerahan atau calon yang diusung oleh gabungan koalisi.

Mengubur mahan politik

Bila program Nasdem dan Golkar benar-benar terjadi tanpa celah, maka kita akan menghadapi era baru dalam kontestasi politik daerah. Pertama, tokoh-tokoh masyarakat dan politisi daerah ramai-ramai mendaftar sebagai pasangan calon kepala daerah. Dampak kedepan adalah terbangun konvensi-konvensi pemilihan calon yang diusung partai.

Hasil konvensi lah yang didaftarkan menjadi pasangan calon dari parpol dan gabungan parpol. Secara tidak langsung, peminat jalur perseorangan akan menipis tanpa harus dijegal melalui pemberatan syarat di RUU Pilkada. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan publik bahwa parpol adalah alat rakyat untuk mensejahterakan melalui pesta-pesta demokrasi.

Tentu saja konvensi dalam bentuk teknis apapun termasuk uji publik harus penuh diamanhkan kepada partai. Peserta konvensi tidak boleh dibebankan dalam keharusan mengupayakan biaya bensin dan nasi bungkus pendukung dan tim hore. Implikasinya, tokoh daerah menjadi magnet tersendiri dalam membentuk wajah baru demokrasi penentuan pasangan calon kepala daerah.

Kedua, arus balik mahar politik yang selama ini dikenal dari bakal calon ke parpol, berubah dari parpol kepada pasangan calon seperti Golkar. Mahar Politik dari parpol ke pasangan calon yang diusung terbangun setelah menutup keran setoran dan membuka konvensi berkeadilan. Kedepan, parpol lah yang memberikan mahar politik kepada warga negara yang lulus tahapan konvensi, bukan sebaliknya.

Mahar politik wajah baru ini mengurangi beban batin pasangan calon untuk membiayai pertarungan selama tahapan pilkada. Mahar politik ini juga diharapkan sesuai dengan aturan dan ketentuan jelas. Kalau perlu, KPK dan PPATK diperbantukan oleh parpol dalam hal mengatur keamanan dana bantuan demi menjaga pilkada tetap bersih.

Namun, kita sudah terlalu lama terbungkam dalam kemerdekaan berpolitik akibat ketidakberdayaan terhadap kekuatan uang. Sehingga sulit percaya bahwa mahar politik berubah haluan. Ketakutan lain pembiayaan penuh parpol kepada pasangan calon adalah munculnya boneka parpol dalam kepemimpinan Pemprov, Pemko dan Pemkab.

Disinilah kita harus mengiklasi nasehat “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Bila sudah sakit, pengobatan membutuhkan energi dan biaya besar, begitu juga mengobati politik pilkada. Mengubur mahar politik dikhawatirkan memunculkan pekerja partai berstatus kepala daerah.

Akhirnya penulis berpesan, mari kita dukung dahulu penguburan mahar politik. memutar haluan mahar politik harus dilandaskan pada niat perbaikan politik bangsa. seiring berjalan waktu kita juga akan menemukan obat penyakit politik dari hasil menghapuskan mahar politik. []

ANDRIAN HABIBI

Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia