Maret 19, 2024
iden

Menata Kembali Dana Kampanye Parpol

Dana kampanye partai politik menjadi salah satu indikator kekuatan sumber daya ekonomi parpol untuk berkontestasi di pemilihan umum. Calon legislatif menjadi tumpuan parpol dalam penggalangan dana tersebut. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak menuntut eksistensi caleg agar lebih transparan dalam laporan dana kampanye.

Sumber daya partai politik di Pemilu 2019 cenderung mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari berkurangnya penerimaan sumbangan dana kampanye parpol di Pemilu 2019 dibandingkan dengan yang mereka peroleh di pemilu lima tahun sebelumnya.

Berdasarkan data Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Partai Politik di Pemilu 2019, total penerimaan sumbangan dari 16 parpol peserta pemilu nasional mencapai Rp 2,4 triliun. Penerimaan ini turun 22 persen dibandingkan dengan yang diterima parpol ketika Pemilu 2014 yang mencapai Rp 3,1 triliun.

Jika merujuk penerimaan sumbangan di setiap parpol, sebagian besar memang mengalami penurunan. Dua parpol peserta Pemilu 2014 yang gagal lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019, yakni Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tercatat paling tajam penurunannya dalam menggalang sumbangan dana kampanye. Penerimaan sumbangan untuk Hanura turun 86,9 persen. Sementara PKPI anjlok 88,5 persen, yaitu dari Rp 52,9 miliar di 2014 menjadi hanya Rp 6,2 miliar di 2019.

Sementara untuk parpol yang lolos ke DPR dan mengalami penurunan tajam dalam penerimaan sumbangan tercatat terjadi pada Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Parpol ini mengalami penurunan penerimaan sumbangan hampir 70 persen, dari Rp 435 miliar di Pemilu 2014 menjadi Rp 134 miliar di Pemilu 2019.

Dari 16 parpol peserta pemilu nasional, hanya ada dua parpol yang mengalami kenaikan sumbangan dana kampanye, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kenaikan tertinggi dialami PBB yang sumbangan dana kampanyenya meningkat hampir 65 persen. Dari dua parpol ini, hanya PKS yang lolos di DPR.

Tentu saja, dinamika naik turunnya sumbangan dana kampanye ini hanya berdasarkan laporan resmi yang masuk dan diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum. Banyak pihak meyakini, sumbangan dana yang dihimpun caleg ataupun parpol jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini mengemuka dalam focus group discussion (FGD) tentang ”Evaluasi Pengaturan dan Pelaksanaan Dana Kampanye Pemilu 2019” yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis (20/6/2019).

Sebagian besar peserta diskusi menyampaikan laporan dana kampanye tersebut disinyalir tidak mencakup total keseluruhan dana kampanye yang dihimpun. Apalagi, turunnya total penerimaan sumbangan dana kampanye ini dianggap belum menggambarkan fakta di lapangan yang di Pemilu 2019 justru membutuhkan logistik lebih besar bagi caleg.

Setidaknya hal ini tergambar dari pengakuan sejumlah caleg yang mengonfirmasi bahwa biaya yang harus mereka keluarkan untuk kampanye di Pemilu 2019 meningkat tajam. Kompas pernah melaporkan, caleg dari PKS, Nasir Djamil, menyebutkan, estimasi biaya kampanyenya untuk pemilu kali ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Nasir pindah daerah pemilihan (dapil) dari Aceh I ke Aceh II. Untuk kampanye di dapil barunya, Nasir memperkirakan butuh biaya sekitar Rp 5 miliar.

Hal yang sama juga dinyatakan caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dari dapil DKI Jakarta II, Masinton Pasaribu. Masinton menyatakan, rancangan biaya kampanyenya di Pemilu 2019 naik hingga 10 kali lipat dibanding Pemilu 2014. Saat Pemilu 2014, ia mengeluarkan Rp 500 juta, kali ini biaya yang perlu ia siapkan sekitar Rp 5 miliar (Kompas, 29/1/2019). Berdasarkan simulasi yang dilakukan Litbang Kompas, kedua caleg ini lolos ke DPR.

Sumbangan caleg

Harus diakui, ujung tombak pemilihan legislatif adalah caleg itu sendiri. Semakin gencar dia berkampanye dan mendulang suara, semakin besar peluang memberikan kontribusi suara ke parpol dan semakin terbuka kesempatan meraih kursi. Tidak heran jika kemudian dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, caleg memberikan porsi terbesar dalam biaya politik tersebut.

Dari data LPPDK partai politik peserta Pemilu 2019 tampak semua caleg memberikan sumbangan untuk dana kampanye parpol. Dari 16 parpol peserta pemilu nasional, tiga parpol di antaranya hampir 100 persen sumbangannya berasal dari caleg yang diusungnya. Ketiga parpol itu adalah Gerindra (99,3 persen), Partai Amanat Nasional (99,9 persen), dan PBB (99,6 persen).

Tingginya sumbangan dana kampanye resmi yang berasal dari caleg ini menunjukkan sumber pendapatan dana kampanye terbesar memang ditopang penuh oleh caleg. Artinya, caleg juga berpeluang menggalang dana sumbangan secara mandiri untuk kepentingan kampanye parpol dan dirinya.

Sayangnya, regulasi di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak menempatkan caleg secara eksplisit sebagai peserta pemilu. Dalam undang-undang tersebut, yang disebut peserta pemilu adalah partai politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; perseorangan untuk pemilu anggota DPD; serta pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden.

Di dalam FGD Perludem terekam, tidak disebutkannya caleg sebagai peserta pemilu seakan bertentangan dengan sistem pemilu yang diterapkan. Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, menyatakan, dengan diterapkannya sistem proporsional daftar terbuka dengan penentuan pemenang pemilu dengan suara terbanyak, mesin utama parpol dalam mendulang suara adalah caleg itu sendiri. ”Mesin parpol dalam berkampanye di pemilu sesungguhnya adalah caleg,” ujarnya. Data LPPDK semakin menguatkan argumentasi ini, caleg yang lebih banyak mengeluarkan uang.

Revisi regulasi

Terkait hal itu, ke depan diperlukan penataan ulang untuk memosisikan secara eksplisit caleg sebagai peserta pemilu. Saat ini, tidak disebutkannya caleg sebagai peserta pemilu membuat mereka bukan subyek yang diwajibkan untuk melaporkan dana kampaye. Tentu, ini menjadi kelemahan regulasi yang menyebabkan persoalan ketidakjujuran pelaporan dana kampanye selalu terjadi.

FGD juga menangkap, boleh jadi ketidakjujuran ini terkait pembatasan sumbangan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Jika kita bandingkan, sejak Pemilu 2004 diatur secara eksplisit batasan maksimal sumbangan dana kampanye, baik dari perseorangan maupun badan hukum swasta. Dari pemilu ke pemilu, batasannya meningkat. Dalam praktiknya ditemui sumbangan dengan nama dan alamat fiktif. Hal ini untuk menyiasati batasan sumbangan tersebut.

Boleh jadi untuk bisa menyumbang melebihi batasan dana kampanye yang diatur, laporan kemudian dipecah dengan nama-nama orang beragam. FGD Perludem juga menangkap usulan perlunya dibuka opsi untuk menghapus aturan batasan sumbangan ini. Hal yang lebih penting uang masuk dan keluar bisa diaudit secara ketat. Jika ditemukan manipulasi, sanksinya tegas dan berat.

Berpijak dari hal tersebut, penataan kembali dana kampanye partai politik penting dilakukan dalam revisi undang-undang pemilu nanti. Harus ada konsistensi pengaturan siapa yang menjadi peserta pemilu, sesuai dengan kewajiban melaporkan dana kampanye. Jika menggunakan sistem proporsional daftar terbuka dan penentuan pemenang dengan suara terbanyak, calon legislatif harus disebut dan diatur sebagai peserta pemilu.
(YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/07/15/menata-kembali-dana-kampanye-parpol/