Maret 28, 2024
iden

Menata Ulang Sistem Bantuan Keuangan Partai

Besaran Rp. 108 per suara dari negara terhadap partai politik dinyatakan tidak lagi relevan di tengah tingginya belanja kebutuhan partai. Belanja partai sendiri terbagai kedalam dua kategori yakni belanja pengorganisasian seperti biaya kesektariatan, rapat rutin partai, kaderisasi, dan gaji pegawai. Serta belanja kampanye yang meliputi biaya tim sukses, pencetakan baliho dan spanduk, serta biaya marketing politics lainnya.

Berdasarkan studi yang pernah dilakukan oleh Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem 2011), keberadaan bantuan keuangan negara memang tidak sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan partai politik. Dari total keseluruhan kebutuhan partai, kehadiran bantuan diperkirakan hanya mampu memenuhi 1,32% dari total belanja kebutuhan partai.

Jika memang demikian, lalu dari mana partai politik memperoleh dana untuk memenuhi sisa kebutuhannya ? Serta apakah peningkatan bantuan negara sebesar 1 Triliun seperti yang diwacanakan Mentri Dalam Negri dapat sepenuhnya diberikan ?

Konteks persoalan

Subsidi negara melalui APBN dan APBD memang bukanlah satu-satunya sumber penerimaan yang diperoleh partai politik. Iuaran anggota beserta sumbangan yang sah menurut hukum merupakan dua sumber resmi lainnya yang berhak diperoleh partai politik.

Akan tetapi pada realitasnya iuran anggota nyaris tidak berjalan di tubuh partai politik. Studi yang dilakukan oleh Ari Diwipayana (2013) misalnya, berhasil menjelaskan keberadaan bantuan keuangan negara terhadap partai menjadi salah satu aspek yang mengakibatkan menurunnya semangat voluntarisme anggota partai untuk mendonasikan uang dan barangnya terhadap partai.

Pada sisi lain adanya sumbangan dari kalangan internal ataupun eksternal partai yang jumlahnya dapat lebih besar dari bantuan keuangan negara, mampu memoposisikan dirinya sebagai donor utama bagi partai politik dalam memenuhi kebutuhannya. Walapun UU No.2/2011 sudah mengatur batas maksimal sumbangan perseorangan sebesar Rp. 1 miliar dan perusahaan Rp. 7,5 miliar. Tetapi, sumbangan tidak sedikit para pemodal yang mendonasikan uangnya lebih dari batas tersebut melalui cara-cara yang kasat hukum.

Padahal keberadaan sumbangan berlebih dapat berdampak pada kemandirian partai politik. Dalam hal ini partai politik akan lebih menggantungkan hidupnya kepada sumbangan yang diberikan pemodal dibandingkan kepada partai secara kelembagaan. Alhasil hubungan simbiosis mutualisme yang terbangun dalam relasi klientelistik antara partai politik dengan pemodal tidak dapat di hindari.

Pemberi sumbangan menempatasi posisi sebagai patron yang akan mempengaruhi partai politik sebagai klien dan memiliki fungsi strategis di pemerintahan, untuk menghasilkan kebijakan sesuai dengan kepentingannya. Sehingga keberadaan partai politik yang seharusnya menjadi representasi rakyat, tidak lebih dari representasi kalangan pemodal.

Tidak hanya cukup sampai disitu, problematika lain yang marak terjadi ialah adanya praktek pencarian dana illegal oleh partai politik dalam rangka memenuhi kebutuhan belanja partai. Kuskridho Ambardi (2009) dalam studinya Politik Kartel, berhasil mengkonfirmasi adanya praktek-praktek pencarian dana illegal yang dilakukan oleh partai politik dengan cara berburu rente.

Dengan memanfaatkan posisi dari para kadernya yang menduduki jabatan publik di pemerintahan, partai politik berusaha untuk memperoleh dana-dana non budgeter. Kasus DKP dan buloggate I dan II merupakan contoh nyata dari praktek rent-seeking yang dilakukan oleh partai melalui pos kementrian dan BUMN.

Menyiapkan sistem

Salah satu cara untuk menanggulangi berbagai persoalan tersebut ialah dengan mendekorasi kembali sistem bantuan keuangan partai politik. Sebagai contoh, sejak tahun 1970-an beberapa negara di Eropa Barat mulai menerapkan kebijakan pemberian subsidi keuangan kepada partai politik sebagai cara untuk meminimalisir intervensi pemodal terhadap partai.

Dalam rangka mengembalikan partai politik ke jalannya yakni sebagai organisasi yang mandiri serta organisasi penghubung antara masyarakat dan negara. Di sisi lain keberadaan bantuan keuangan negara ini dapat menekan praktek perburuan dana illegal yang marak dilakukan oleh partai politik.

Meski demikian, bukan berarti peningkatan subsidi negara sebesar Rp. 1 Triliun dapat sepenuhnya diberikan. Akan tetapi perlu ada metode penghitungan besaran jumlah subsidi yang proposional dan jelas. Mengingat subsidi negara terhadap partai memiliki dilema tersendiri yang dapat membuat partai tergantung terhadap negara, serta menggantikan posisi iuran anggota.

Salah satu metode penghitungan yang dapat digunakan ialah melalui penentuan besaran harga per suara berbasiskan pada rata-rata kebutuhan partai politik dengan batas maksimal 30% dari kebutuhan partai politik. Batas maksimal ini hadir karena APBN bukanlah satu-satunya saluran penerimaan yang diperoleh partai politik.

Akan tetapi terdapat pula alokasi dana dari APBD Provinsi/Kabupaten/Kota untuk kepengurusan partai politik di level lokal, serta untuk mendorong adanya proposionalitas penerimaan keuangan partai dari sektor lainnya seperti iuaran anggota. Belum lagi ditambah dengan adanya beberapa aspek belanja kampanye partai politik dalam pilkada serentak yang hari ini sudah di biayai oleh negara, yang tentunya semakin mengurangi beban belanja kampanye partai politik.

Secara spesifik metode penghitungan yang berbasiskan pada kebutuhan partai dapat dilakukan dengan rumus jumlah total belanja partai dibagi dengan jumlah partai politik diparlemen dikalikan 30%, yang akan menghasilkan total subsidi negara melalui APBN untuk partai. Lalu untuk mencari besaran harga per suara dapat melalui rumus jumlah total subsidi negara dibagi dengan jumlah partai politik di parlemen.

Sedangkan untuk menentukan jumlah besaran bantuan keuangan negara terhadap partai di daerah melalui APBD. Formula penghitungannya dapat dikaitkan dengan upah minimal regional sebagai tolak ukur. Dengan kata lain, melalui rumus ini besaran subsidi negara terhadap partai politik di daerah satu dengan yang lainnya cenderung berbeda, serta besaran harga per-suara akan cenderung berubah mengikuti perubahan upah minimal regional.

Melalui kedua motode tersebut, secara tidak langsung memaksa partai politik di parlemen untuk membuka laporan keuangan riil setiap tahunnya. Hal ini karena besaran belanja partai politik dalam satu tahun menjadi salah satu variabel penting dalam meghitung besaran bantuan negara terhadap partai politik.

Dengan konsekwensi terjadinya disproposionalitas jumlah bantuan keuangan negara terhadap partai. Sehingga metode ini sebetulnya memberikan ruang lebih bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) termasuk masyrakat untuk ikut berperan aktif mengontrol keuangan partai politik. []

HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)