Maret 28, 2024
iden

Panama Papers dan Uang di Pusaran Politik

Panama Papers menguak kepemilikan perusahaan di negeri suaka pajak. 899 nama taipan Indonesia yang beberapa di antaranya berafiliasi dengan partai menguatkan tesis bahwa partai dikendalikan uang haram.

Segelas air mineral diteguk Marcin Walecki saat membuka diskusi terbatas soal standar internasional dalam pengaturan keuangan partai. Seorang Penasihat Senior  International Foundation for Electoral System (IFES) untuk isu Keuangan Politik ini kemudian mengibaratkan tata kelola keuangan politik dengan gelas yang diisi air tersebut.

“Tata kelola keuangan politik tak hanya membutuhkan sistem yang transparan, serupa gelas ini, tapi juga sumbernya mesti jelas. Kita tak akan mau minum jika kita mengetahui air ini kotor atau sumbernya kotor,” kata doktor dari Universitas Oxford ini (29/3).

Sepekan pascadiskusi itu, jutaan dokumen finansial perusahaan bayangan yang didirikan di negara suaka pajak bocor. Panama Papers, dokumen bocor milik firma hukum Mossack Fonseca, diperoleh International Consortium of Investigative Journalists dari harian Jerman Sueddeutsche Zeitung. Uang haram diduga mengalir dan mengendalikan partai.

Aktor politik di Panama Papers

Beberapa nama di dokumen itu punya afiliasi dengan partai. Majalah Tempo edisi 11-17 April 2016 menurunkan laporannya berjudul “Penghuni Surga Pajak dari Senayan.”

Harry Azhar Azis adalah Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2010—tahun yang sama ketika Mossack Fonseca mendaftarkan perusahaannya. Politikus Golkar kelahiran Kepulauan Riau ini menjadi anggota DPR sejak 2004. Ia bergelut di sektor keuangan, perbankan, dan perpajakan. Pada periode 2004—2009, Harry pernah menjadi Ketua Panitia Khusus RUU Pajak Daerah. Ia juga terlibat di pansus RUU BPK, lembaga yang dipimpinnya kini.

Politikus Golkar lain, Airlangga Hartarto, juga terdeteksi namanya di Panama Papers. Saat ini ia duduk di Komisi XI DPR, komisi yang membidangi keuangan dan perbankan. Di Politik, kiprahnya dimulai ketika menjadi Wakil Bendahara Golkar era Jusuf Kalla. Di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, Airlangga tercatat sebagai salah satu ketua.

Johnny Gerald Plate, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem, juga terekam dalam Panama Papers. Perusahaannya yang bernama Serenity Pacific Limited terdaftar di British Virgin Islands pada 18 Oktober 2007. Ia kini tercatat sebagai anggota Komisi XI DPR.

Uang di pusaran politik

Wahyudi M. Tohari, Koordinator Program Tata Kelola Ekonomi Transparency International Indonesia, mengungkap bahwa uang yang lari ke negara-negara suaka pajak belum tentu berasal dari hasil-hasil korupsi. Di kasus Panama Papers ini, ia menekankan hal lain—bukan lagi soal sumber haram/halal uang yang lari ke negara suaka pajak tersebut.

Dalam melihat kasus Panama Papers, ia menekankan soal masih banyaknya konglomerat negeri ini yang memanfaatkan mafia pajak dan negara suaka pajak. Mereka memanfaatkan ketersediaan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya, dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.

Masih banyak praktik negara suaka pajak memanfaatkan rezim kerahasiaannya untuk memberikan kekebalan hukum pada koruptor, pencuci uang, dan pengemplang pajak. Warga super kaya dari Indonesia banyak melakukannya. Perusahaan modal asing dan perusahaan dalam negeri juga tidak sedikit yang menjalankan penghindaran dan pengelakan pajak.

Uang dari negeri suaka pajak ini kemudian dimanfaatkan para oligark untuk menguasai politik yang bisa menguntungkan bisnisnya. “Rezim antikorupsi makin kuat. Korupsi dari APBN atau APBD pun sudah sangat old-school. Maka mereka mencari cara lain untuk generating income. Salah satunya pengemplangan pajak ke negara suaka pajak ini,” tandas Wahyudi, ditemui di Jakarta Selatan (8/4).

Para konglomerat yang masuk ke politik, menjadi oligark, dan menguasai politik—menurut Marcin—telah menjadi tren global dalam 20 tahun terakhir. Pola serupa telah terjadi di negara-negara Eropa Timur dan Amerika Tengah.

Oligarki bisa mendirikan partai atau bahkan membeli anggota partai. Partai atau anggota partai ini kemudian dijadikan sebagai investasi bisnis untuk mengakses sumber daya. Untuk investasi di politik sebagai market place ini tentu dibutuhkan uang yang besar.

“Diperlukan 10-15 juta dolar untuk membentuk partai di Indonesia,” tandas Marcin.

Studi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2011 memperkirakan anggaran belanja partai sekelas PAN per tahun mencapai Rp. 51,2 miliar. Jumlah ini terdiri dari operasional sekretariat Rp 1,4 miliar, konsolidasi organisasi Rp 8,2 miliar, pendidikan politik dan kaderisasi Rp 33,7 miliar, unjuk publik Rp 6,7 miliar, dan perjalanan dinas Rp 1,2 miliar.

Ongkos politik juga kian mahal ketika masuk dalam fase pemilu. Rata-rata belanja partai di Pemilu Legislatif 2009 mencapai Rp 91,84 miliar. “Gerindra tertinggi dengan menghabiskan 300,34 miliar dan PKB terendah dengan 3,61 miliar,” papar Lia Wulandari, peneliti pada Perludem saat dihubungi (11/4).

Kondisi ini membuat partai jadi bergantung pada oligark. “Partai akhirnya terperangkap pada kepentingan tertentu,” kata Marcin yang kini mengepalai Departemen Demokratisasi dari Kantor Institusi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Office for Democratic Institutions and Human Rights, ODIHR).

Panama Papers setidaknya membuktikan hal itu. Jejaring kroni Muhammad Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat yang tejerat korupsi itu, terungkap. Duit panas diperoleh Nazaruddin dari sejumlah kontraktor yang namanya terdaftar di Panama Papers atas jasanya memenangkan banyak proyek pemerintahan untuk pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan di daerah.

Ada juga nama Paulus Tannos dan Azmin Aulia (adik mantan Mendagri Gamawan Fauzi). Mereka berada di pusaran kasus korupsi proyek pembuatan KTP elektronik. Azmin Aulia tergabung dalam Konsorsium Perusahaan Percetakan Negara RI (PPNRI). Konsorsium PPNRI mendekati Mendagri diduga melalui jalan Azmin Aulia.

Bantuan keuangan partai: memutus jerat oligark

Undang-undang partai menyebut keuangan partai bersumber dari iuran anggota, penyumbang, dan bantuan negara. Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai menjelang Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, belum ada satu pun partai berhasil mengumpulkan iuran anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan maupun badan usaha.

Di sinilah partai menghadapi situasi dilematis: di satu pihak, untuk membiayai kegiatan operasional dan memenangkan pemilu, partai membutuhkan uang banyak; di lain pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian partai dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Besarnya sumbangan dapat mengganggu partai sebagai pemegang mandat rakyat karena partai bisa mengutamakan kepentingan penyumbang daripada kepentingan rakyat.

Dalam menghadapi situasi ini, sejak 1970-an secara bertahap, tren negara-negara Eropa Barat menerapkan dua kebijakan: pertama, melakukan pembatasan sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada partai politik; kedua, memberikan bantuan keuangan atau subsidi keuangan partai.

Di konteks Indonesia, bantuan keuangan penting untuk mendapat perhatian. Ia bisa membantu partai menghindari jeratan para pemilik uang dan sekaligus membantu mengembalikan partai sebagai organisasi perjuangan rakyat. UUD 1945 memberi banyak peran strategis pada partai untuk mengelola negara. Pembiaran justru akan membuat partai tidak saja mengabaikan kepentingan rakyat, tetapi juga bisa berkembang menjadi lembaga perusak demokrasi.

Lia Wulandari menilai pemerintah belum serius menggarap kebijakan bantuan keuangan partai ini. Angka bantuan partai yang hingga hari ini masih Rp. 108 per suara hanya mencukupi 1,3 persen dari total kebutuhan dana partai tingkat nasional per tahun. “Total bantuan keuangan pada 9 partai politik pemilik kursi di DPR hasil pemilu 2009 saja hanya 0,0007 persen dari APBN,” tutur Lia.

Untuk itu, besaran keuangan partai politik perlu ditingkatkan dari 1,3 persen total kebutuhan partai per tahun setidaknya menjadi 5 persen per tahun. Selanjutnya perlu disusun desain bantuan keuangan partai sehingga dalam jangka 10-20 tahun ke depan bantuan keuangan partai bisa mencapai 30 persen dari total kebutuhan partai per tahun.

“Inilah angka ideal yang bisa mengoptimalkan fungsi bantuan keuangan parta sebagai penjaga kemandirian partai,” tegas Lia.

Marcin, di akhir diskusi, merekomendasikan bantuan keuangan ini mulai dilakukan setelah Pemilu 2019. Pemberian tentu dilakukan setelah partai memenuhi syarat audit dan kontrol tertentu. Sementara Lia menegaskan, partai perlu merapikan laporan keuangannya terlebih dahulu.

“Partai tentu diwajibkan membuat laporan keuangan partai tahunan dan membuat laporan keuangan kampanye setelah pemilu usai. Dua laporan ini adalah instrumen untuk memaksa partai menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitan pengelolaan keuangan partai,” kata Lia.

Marcin kemudian kembali pada pembuka tadi: mengangkat gelas dan mengisinya dengan air mineral kembali. “Bantuan keuangan dari negara ibarat air yang bersih ini dan uang dari sumber-sumber ilegal ibarat air kotor yang kita semua tak akan mau meminumnya,” tutup Marcin.

MAHARDDHIKA