Maret 28, 2024
iden

Partisipasi dan Pendidikan Pemilu Programatik

Salah satu bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia adalah jumlah pemilih pemula dan pemilih muda yang masih berusia produktif di Indonesia yang sangat besar. Pemilih pemula adalah mereka yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilih, purnawirawan atau mereka yang sudah tidak lagi bekerja sebagai anggota TNI atau Kepolisian. Dalam konteks ini maka  yang dimaksud sebagai pemilih pemula adalah mereka yang baru pertama kali memilih, sedangkan yang dimaksud dengan pemuda atau pemilih muda di dalam tulisan ini merujuk kepada UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan yaitu mereka yang berusia 16 sampai dengan 30 tahun.

Partisipasi politik yang tinggi di negara demokrasi pada umumnya dianggap baik karena menunjukkan bahwa warga negara aktif mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Hal itu juga menunjukkan bahwa rezim pemerintahan yang berjalan memiliki legitimasi yang tinggi.

Bentuk partisipasi politik yang paling mudah diukur intensitasnya adalah persentase orang yang menggunakan hak pilih pada saat pemilu (voter turnout) dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih. Persoalan yang ada saat ini adalah jika dihitung secara rata-rata partisipasi pemilih di Indonesia terus mengalami penurunan konsisten sebesar sepuluh persen dari tiga periode pemilu  sejak pemilihan umum demokratis pertama kali diselenggarakan di Indonesia pascaruntuhnya rezim Orde Baru.

Turunnya tingkat partisipasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari kurangnya pendidikan politik, masih banyaknya manipulasi dan politik uang, komitmen pemberantasan korupsi yang kurang, hingga ke masalah teknis dan administratif, serta yang juga tidak kalah penting adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan karena terbukti bahwa setelah terjadi pemilu demokratis, kesejahteraan rakyat tidak juga meningkat, jikat tidak bisa disebut tercapai. Faktor ini bisa jadi adalah salah faktor determinan penyebab turunnya partisipasi pemilih dan penyebab munculnya beragam tipe pemilih seperti tipe pemilih skeptis, pesimis, apatis, pragmatis, dan lainnya.

Hal ini adalah respon yang wajar mengingat kondisi politik yang dihadapi oleh Indonesia saat ini yang menunjukkan bahwa hampir seluruh partai politik besar terjerat oleh KPK dalam perkara tindak Pidana Korupsi. Korupsi tersebut dilakukan oleh berbagai aktor yang berasal dari wakil-wakil parpol  di lembaga eksekutif dan legislatif. Pada bulan Juni tahun 2013 lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan memberikan pernyataan kepada media bahwa setidaknya ada tiga puluh enam caleg yang diragukan komitmen antikorupsinya. Tiga puluh enam caleg ini tersebar dari setidaknya sembilan partai besar di Indonesia dan mencalonkan diri di 24 dapil di seluruh Indonesia.

Penilaian itu dilakukan dengan kriteria-kriteria tertentu yang beberapa di antaranya adalah mereka yang pernah terlibat dan menerima sejumlah uang dalam kasus korupsi, pernah terpidana kasus korupsi, serta politisi yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan yang pernah dijatuhi sanksi dalam pemeriksaan oleh badan kehormatan DPR. Kualitas yang buruk ini ditambah dengan eksposure media yang besar dan terus menerus terhadap berita-berita negatif terkait dengan politik dan pemerintahan. Paradigma yang menjadi landasan berpikir yang selalu digunakan oleh pers mainstream adalah bad news is a good news (berita buruk adalah berita baik), hal ini menyebabkan bertaburannya berbagai pemberitaan dengan sentimen negatif di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik.

Ketidaknetralan pers di Indonesia juga  menjadi pemicu berbagai ragam pemberitaan dan sentimen negatif terhadap partai politik, pemerintah, dan juga kepada pers itu sendiri. Hampir seluruh media besar di Indonesia dimiliki oleh kandidat dari partai politik tertentu. Hal ini menyebabkan media massa gagal menjalankan fungsinya untuk melakukan literasi media dan meningkatkan sikap kritis masyarakat sebagaimana yang terdapat di dalam UU Penyiaran Media pasal 52 ayat 2 yang berbunyi: “Literasi media adalah  kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.

Inti dari literasi media adalah pemberdayaan masyarakat untuk kritis atas tayangan media, terutama televisi (mengingat besarnya pengaruh TV).” Pada akhirnya sebagaimana yang diungkapkan Khrisna Sen dan David T. Hill di dalam buku “Media, Culture, and Politics in Indonesia” bahwa  media massa Indonesia bukan menjalankan peran merefleksikan realitas tetapi merepresentasikan realitas. Media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk merumuskan realitas politik, kultural dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak.

Masalah lain yang juga merupakan unsur yang menentukan dalam turunnya partisipasi di dalam pemilu ini adalah pendidikan pemilih yang dilakukan oleh pemerintah. Elemen pendidikan politik ini ibarat sebuah koefisien dalam rumus matematika  yang dapat mempengaruhi unsur-unsur lainnya, tidak hanya partispasi politik tetapi juga kualitas dari para wakil rakyat dari dan di dalam tubuh partai politik itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, Indonesia sebagai negara yang memiliki kegiatan kepemiluan paling kompleks di dunia dengan  empat juta petugas di 550.000 TPS, yang tersebar di berbagai penjuru sebuah negara yang terdiri atas 17.000 pulau, bertugas mengelola 775 juta surat suara dengan 2.450 desain yang berbeda untuk memfasilitasi pemilihan 19.700 kandidat dalam satu Pemilu presiden dan 532 dewan perwakilan di tingkat nasional dan daerah menyebabkan publik begitu berjarak dengan kegiatan pemilu  dan menganggapnya sebagai even lima tahunan semata.

Hal itu juga merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk memberikan pendidikan, sosialisasi, dan informasi kepada segenap rakyat Indonesia karena tanpa adanya pendidikan pemilih yang baik sulit bagi masyarakat untuk mengetahui apa urgensi memilih? Bagaimana cara menjadi pemilih cerdas? Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam memilih seorang kandidat?.

Di lain sisi, pendidikan pemilih yang buruk di dalam tubuh partai politik mengakibatkan buruknya kaderisasi partai. Partai memilih wakil-wakilnya yang duduk di dalam parlemen bukan berdasarkan kualitas, kompetensi, komitmen dan loyalitas caleg terhadap partai  melainkan berdasarkan hitung-hitungan transaksional dan pragmatis semata. Berbicara tentang pendidikan pemilih , perlu untuk dibedakan antara pendidikan kepemiluan (Electoral Education) dan informasi pemilih dan (Voter Education/Awareness) karena kedua hal ini sering salah dipahami oleh para pihak yang terkait di dalam proses kepemiluan.

Pendidikan pemilih bersifat lebih panjang, terstruktur dan terprogram dengan baik. Hal ini berbeda dengan informasi pemilih yang biasanya dilakukan hanya menjelang pemilu dan menyediakan informasi dasar seperti bagaimana cara memilih? Waktu memilih? Lokasi dan tempat memilih. Informasi pemilih biasanya tidak membutuhkan banyak penjelasan tentang konsep pemilu dan demokrasi itu sendiri.

Pendidikan pemilih atau sering disebut electoral education/voter education dilakukan tidak hanya kepada mereka yang memiliki hak pilih tetapi juga kepada mereka yang akan memiliki hak pilih seperti siswa-siswi di bawah usia 17 tahun. Pendidikan pemilih ini biasanya dilakukan di sekolah oleh penyelenggara Pemilu dan meliputi aspek-aspek dasar dan filosofis.

Kondisi yang ada saat ini di Indonesia, pendidikan pemilih bisa dibilang tidak ada, yang ada hanyalah kegiatan informasi pemilih yang diselenggarakan hanya menjelang pemilu setiap lima tahun sekali. Kegiatan informasi pemilih ini dilakukan oleh beberapa LSM dan juga oleh KPU melalui beberapa program sosialisasi dan juga melalui Relawan Demokrasi yang direkrut oleh KPU. Sayangnya informasi pemilih ini masih minim dan belum merata.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India dan Australia, Indonesia masih jauh tertinggal. Pihak KPU sampai saat ini bahkan belum selesai membahas bentuk pendidikan politik yang tepat yang harus diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu sampai saat ini tidak ada  pendekatan programatik dalam melakukan pendidikan pemilih. Sebagai contoh posisi penyelenggara pemilu di Australia sangat besar, mereka tak hanya terlibat dalam pendidikan pemilih saja.

Namun, juga melakukan pendidikan politik kewarganegaraan. Sehingga proses pendidikan pemilih merupakan proses yang panjang dan berkesinambungan. Sedangkan di India upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih  menggunakan Systematic Voter’s Education and Electoral Participation (SVEEP) yaitu yaitu pendidikan pemilih dan partisipasi pemilu yang sistematis, bekerja sama dengan civil society, isnstitusi pendidikan, dan relawan dari golongan muda untuk melakukan sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih.

Selain penyelenggara pemilu pihak yang wajib melakukan pendidikan politik di Indonesia antara lain adalah partai politik. Bahkan partai politik mendapatkan subsidi dari negara untuk melaksanakan kegiatan pendidikan politik yang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh tentunya bermanfaat bagi partai politik itu sendiri sebagai sarana rekrutmen politik. Hal ini karena di setiap partai politik tentunya dibutuhkan kader-kader yang berkualitas. Kewajiban ini bahkan tertuang di dalam Undang-undang No.2 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No.83 tahun 2012.

Sebetulnya jumlah pemilih pemula di Indonesia pada pemilu 2014 ini dapat menjadi sebuah potensi yang besar untuk perbaikan masa depan bangsa Indonesia. Di dalam konteks partisipasi politik, khususnya partisipasi pemilih Indonesia memiliki tantangan untuk menurunkan tingkat potensi golput secara umum maupun dari golongan pemilih pemula dan pemilih muda.

Potensi ini kian meningkat secara konstan rata-rata 10% setiap periode pemilu semenjak dilaksanakannya pemilu demokrasi pertama di masa orde baru. Kurangnya pendidikan politik, berjaraknya masyarakat dengan pemilu, pemberitaan negatif, pers yang partisan serta buruknya performa para wakil rakyat seiring dengan tidak maksimalnya fungsi partai dalam kaderisasi dan pendidikan politik disinyalir menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu.

Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan komitmen bersama untuk melakukan pendidikan pemilih yang programatik dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan institusi pendidikan. Dengan adanya program pendidikan pemilih yang sistematif, terstruktur dan masif, tidak hanya kepada pemilih pemula saja tetapi juga kepada calon pemilih secara keseluruhan maka pemahaman pemilih dan juga motivasi pemilih dapat meningkat serta pemilih, khususnya pemilih pemula dapat menentukan pilihan dengan rasional dan kritis. []

DIAH SETIAWATY
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan DemokrasiÂ