Maret 29, 2024
iden

Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari EVM

20150528_030140_evm_paper_cover2

Ringkasan Eksekutif

Tahun 2014, KPU memperkenalkan sejumlah inovasi teknologi informasi (TI) untuk meningkatkan kualitas pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. KPU menetapkan standar-standar layanan baru pada sejumlah bidang, termasuk:

  • SIDALIH, basis data daftar pemilih nasional pertama di Indonesia dan terbesar di dunia dengan hampir 190 juta pemilih, yang menghasilkan daftar pemilih KPU yang paling akurat dan tidak kontroversial sampai saat ini;
  • Application Programming Interface (API) KPU, yang memungkinkan KPU untuk menyajikan data kepemiluan dalam format open data sehingga meningkatkan tingkat transparansi dan memungkinkan masyarakat maupun mitra KPU untuk mengembangkan layanan kepemiluan yang bermanfaat bagi mereka berdasarkan data tersebut;
  • Arsip online yang berisikan hasil pemindaian formulir model C1 dari seluruh TPS, yang memungkinkan masyarakat umum untuk turut serta melakukan penghitungan hasil pemilu secara swadaya melalui crowdsourcing;Infrastruktur TI yang menghubungkan 531 kantor KPU dan memungkinkan KPU menjalankan SIDALIH dan inisiatif pemindaian (scan) hasil pemilu.

Sayangnya, pemilu 2014 juga menyoroti beberapa bidang di mana KPU belum berhasil mencapai standar internasional penyelenggaraan pemilu, khususnya:

  • KPU tidak sanggup mengumumkan hasil pemilu dengan cepat;
  • Tingginya jumlah suara tidak sah
  • Kurangnya tenaga ahli TI di KPU untuk mengembangkan dan memelihara sistem TI  mereka sendiri
  • KPU tidak memiliki strategi TI kelembagaan yang mampu memberikan solusi atas kebutuhan organisasi.

Akhir-akhir ini, perdebatan mengenai penyelenggaraan pemilu salah satunya terfokus pada peran teknologi yang dapat digunakan pada pemilu Indonesia yang akan datang, dengan penekanan khusus pada pengenalan mesin pemungutan suara (elektronic voting machine atau EVM). IFES beranggapan bahwa pengenalan EVM di Indonesia adalah suatu kesalahan dan perubahan yang dilakukan sebagai imbas penerapan EVM akan melemahkan kinerja pemilu itu sendiri. Ketika mempertimbangkan penggunaan EVM dalam konteks Indonesia serta best practice internasional, kami menemukan bahwa:

  • Kegiatan pemungutan dan penghitungan suara di Indonesia telah menjadi standar internasional dalam hal transparansi dan merupakan kepemillikan lokal yang justru akan dilemahkan dengan keberadaan EVM. Pada hari pemungutan suara, di hampir setengah juta TPS di seluruh negeri, KPU menyelenggarakan pemungutan suara dan menyediakan layanannya yang bagi para penduduk dianggap sebagai sebuah perayaan, bukan kewajiban – sesuatu yang didambakan oleh banyak negara.

Secara global, EVM mulai kehilangan kredibilitas. Hanya sedikit negara yang menggunakan EVM secara eksklusif, kebanyakan sistem EVM tidak mendapatkan kepercayaan publik, EVM tidak memberikan penghematan biaya seperti yang dijanjikannya, dan EVM kurang transparan. Hal-hal tersebut telah mondorong banyak negara melarang penggunaannya.

Singkat kata, IFES sangat menganjurkan agar EVM tidak diperkenalkan di Indonesia.
Sebaliknya, untuk membuat kemajuan yang berarti, dengan memanfaatkan keberhasilan TI pemilu 2014, KPU sebaiknya memimpin diskusi pemilu yang lebih luas daripada hanya sebatas EVM. Secara khusus, KPU harus:

 

  • Membangun sistem manajemen hasil pemilu elektronik (disebut juga eRekapitulasi atau eRekap) yang memungkinkan KPU untuk menetapkan hasil pemilu secara cepat dan kredibel.
  • Mendapatkan pedoman dan kepiawaian melalui kerja sama dengan pihak-pihak yang menyuarakan e-government di Indonesia untuk mengatasi keterbatasan kapasitas TI dalam KPU.
  • Mengembangkan strategi TI kelembagaan yang menangani semua aspek penyelenggaraan pemilu.
  • Membangun solusi TI yang memanfaatkan infrastruktur TI terkini dan memperkenalkan alat bantu baru yang mampu mengefektifkan layanan kepemiluan (pendaftaran pemilih, hasil pemilu, pendidikan pemilih, pendaftaran partai politik dan kadidat, keuangan partai politik, dan lain-lain) dan tugas-tugas organisasi (keuangan, logistik, pengadaan, SDM, analisa data, dan lain-lain).

KPU harus memulai usaha ini dengan meniru kesuksesan yang diperoleh saat melakukan reformasi pendaftaran pemilih. Pada pemilu 2014, untuk pertama kalinya daftar pemilih tidak dipermasalahkan. Melalui kegiatan Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU, telah dibentuk sebuah komite pengarah yang dipimpin KPU dan beranggotakan perwakilan dari KPU pusat dan KPU daerah, perwakilan institusi pemerintahan dari Kemendagri dan BPPT, dan para pemimpin masyarakat sipil dan akademisi, untuk membantu mensukseskan penyusunan daftar pemilih.

Keberadaan proses konsultatif dan inklusif serupa yang mendukung terbentuknya dewan penasihat nasional terkait teknologi kepemiluan yang dipimpin oleh KPU akan sangat bermanfaat bagi KPU dan proses kepemiluan. Proses konsultatif ini akan memungkinkan kepemimpinan KPU untuk memperkuat hubungannya dengan mitra dari lembaga pemerintahan yang lain dan juga figur-figur utama dalam reformasi pemilu. Dewan penasihat ini juga akan menyediakan jalur bagi KPU untuk mendapatkan pedoman strategi TI berkelanjutan yang dibutuhkan oleh KPU. Usaha ini bertujuan untuk memberikan dukungan yang luas terhadap reformasi teknologi kepemiluan yang spesifik dan tepat. Langkah-langkah pertama yang akan dilakukan oleh dewan penasihat adalah:

Melaksanakan kajian kelayakan EVM yang berfokus pada pertanyaan ‘Apakah Indonesia membutuhkan EVM?’ dan bukan pada pertanyaan ‘Apakah Indonesia siap untuk EVM?’

  • Mendukung KPU dalam mengembangkan sistem manajemen hasil pemilu
  • Membantu KPU mengembangkan strategi TI yang komprehensif dan memastikan seluruh solusi teknologi pemilu yang ada sudah sesuai, terintegrasi, dan dijalankan menggunakan infrastruktur yang sama.Makalah lengkap dapat diunduh dari link ini:

Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari EVM

Publikasi-publikasi yang menjadi sumber acuan makalah tersedia untuk diunduh di bawah ini