Maret 28, 2024
iden

Pilkada dan Status Tersangka

Dinamika politik dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018 mulai terasa. Pemungutan suara pada 27 Juni mendatang banyak dinilai sebagai pemilu mini, persiapan akhir menuju Pemilu 2019.

Hal itu tidak berlebihan. Pasalnya, menurut perhitungan Kementerian Dalam Negeri, jumlah pemilih pada Pilkada 2018 sekitar 85 persen dari pemilih yang akan memberikan suaranya pada Pemilu 2019. Dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada, beberapa di antaranya merupakan lumbung suara untuk Pemilu 2019. Daerah itu, misalnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, hingga Sulawesi Selatan.

Di tengah kondisi ini, pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo tentang banyak calon kepala daerah yang akan ditetapkan sebagai tersangka korupsi memunculkan dinamika baru. Apalagi, pernyataan itu muncul di tengah ada sejumlah kepala daerah yang juga peserta Pilkada 2018 ditangkap KPK.

Mengenai hal ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bahkan mengimbau KPK untuk menunda pengumuman status tersangka calon kepala daerah yang masuk dalam ”radar” KPK.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dalam acara ”Satu Meja” di KompasTV, Senin (19/3) malam, mengatakan, pernah ada kesalahpahaman media dalam mengartikan pernyataan Agus. Ketika itu, sejumlah media menuliskan, 90 persen calon kepala daerah akan menjadi tersangka.

”(Padahal) 90 persen itu maksudnya derajat keyakinan kekuatan bukti yang sudah dimiliki oleh KPK. Artinya, ketika sudah 90 persen yang sifatnya substantif untuk bukti sudah selesai. Tinggal beberapa prosedur administratif dan pembuktian lebih lanjut,” kata Febri dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo tersebut.

Turut hadir sebagai nara sumber dalam acara tersebut Tubagus Ace Hasan Syadzily dari Partai Golkar, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, serta pemerhati hukum Asep Iwan Iriawan.

Tersangka

Dalam kesempatan tersebut, Febri memastikan, KPK tidak memiliki tendensi untuk bermain politik saat menetapkan seorang calon kepala daerah menjadi tersangka korupsi.

”Meskipun kami berada dalam pusaran politik atau meskipun kami ada dalam tarik-menarik warna-warna tertentu, semua kami kembalikan ke koridor hukum,” kata Febri.

Namun, Ace Hasan mengingatkan, pernyataan Agus tersebut bisa digunakan oleh lawan-lawan politik para kandidat kepala daerah. Pada saat yang sama, dia juga mengatakan, jika seseorang kandidat kepala daerah masuk dalam radar KPK, itu juga belum tentu terbukti hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. ”Kalau tidak salah, tidak perlu takut,” katanya.

Sementara Titi menilai, pernyataan Agus sudah terlalu jauh melampaui tugasnya sebagai Ketua KPK. Meski masyarakat mengapresiasi kerja KPK dalam menindak tegas perkara korupsi, dia mengingatkan, dalam menjalankan tugasnya, pimpinan KPK tidak perlu harus mendahuluinya dengan pernyataan yang bertendensi politis.

Titi memahami, pernyataan Agus adalah bagian dari pendidikan politik untuk masyarakat, yakni agar warga menggunakan hak pilihnya dengan hati-hati. ”Tapi, Pak Agus terlalu jauh. Kalau sudah cukup alat bukti, ya, tetapkan (sebagai tersangka),” ujarnya.

Pelajaran buruk

Namun, Titi juga mengkritisi pernyataan Wiranto yang mengusulkan penundaan penetapan tersangka. Hal itu membahayakan legitimasi kerja Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena dua lembaga itu disangka meminta penundaan penetapan tersangka melalui pemerintah.

Keinginan pemerintah untuk menunda penetapan tersangka juga mengindikasikan ada perbedaan perlakuan antara politisi dan warga negara biasa.

”Hanya karena kamu calon, maka proses hukummu bisa ditunda. Tetapi, kalau kamu warga biasa, belum tentu mendapatkan hak khusus atau privilege yang sama. Ini sebuah pelajaran politik yang sangat buruk bagi rakyat,” kata Titi.

Menurut catatan Perludem, sejak 2015 terdapat lima daerah dengan calon kepala daerah terpilih berstatus sebagai tersangka. Di Buton, Sulawesi Tenggara, misalnya, kepala daerah terpilih langsung dinon-aktifkan sesaat setelah dilantik karena berstatus tersangka.

Hal demikian tidak terlepas dari kelemahan peraturan yang tetap membolehkan seorang tersangka maju sebagai calon kepala daerah. Menurut Titi, penetapan tersangka tidak akan membuat seseorang menjadi jera untuk korupsi ketika nantinya memimpin daerah. Padahal, yang dibutuhkan oleh daerah adalah sosok yang bersih, memiliki program kerja yang baik untuk mengangkat dan memperbaiki kualitas hidup di daerah.

Febri mengatakan, sejak tahun 2012-2013, KPK sudah melakukan edukasi kepada para calon kepala daerah tentang pendidikan antikorupsi. KPK juga sudah melakukan sosialisasi kepada partai politik, termasuk masalah pembiayaan keuangan partai politik.

Sementara itu, Asep bahkan menilai lebih jauh lagi, selama tersangka masih mencalonkan diri sebagai kepala daerah, itu membuktikan watak orang tersebut adalah sebenarnya watak penjahat. ”Penjahat yang ingin menjadi pejabat,” ujarnya. (MAHDI MUHAMMAD)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2018 di halaman 5 dengan judul “Pilkada dan Status Tersangka”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/03/21/pilkada-dan-status-tersangka/