Maret 29, 2024
iden

Publik Amati Konsistensi Parpol

JAKARTA, KOMPAS – Konsistensi partai politik menjaga agar masa prakampanye Pemilu 2019 tidak diwarnai kampanye berselubung sosialisasi akan diamati oleh masyarakat. Sebab, pemangkasan waktu kampanye yang menyebabkan jeda tujuh bulan sejak penetapan nomor urut parpol dan kampanye merupakan gagasan partai politik melalui revisi Undang-Undang Pemilu.

Kampanye partai politik baru bisa dilakukan mulai 23 September 2018, setelah penetapan daftar calon tetap anggota legislatif. Hal ini berbeda dari Pemilu 2014 lalu yang menggunakan basis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif menyatakan kampanye dilakukan tiga hari setelah calon peserta pemilu ditetapkan.

“Parpol sendiri yang minta waktu kampanye diperpendek, sehingga kemudian dipotong. Artinya parpol juga harus konsisten dengan pilihan itu,” kata Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta, Kamis (22/2).

Kendati begitu, Kaka juga mengingatkan sudah menjadi naluri parpol setelah mendapat nomor urut untuk menyebarkan informasi itu ke masyarakat agar bisa mendapat suara mereka. Menurut dia, upaya parpol dengan menyebut “sosialisasi”, bukan bagian dari “kampanye” merupakan permainan diksi karena perbedaannya sangat tipis. Oleh karena itu, dia menilai Badan Pengawas Pemilu harus bisa mengawal masa-masa prakampanye ini agar tidak digunakan untuk kampanye oleh parpol.

“Kepercayaan publik terhadap kepatuhan para pihak terhadap UU Pemilu akan hilang jika kesepahaman (pengaturan sosialisasi) tidak dilakukan,” kata Kaka Suminta.

Seperti diberitakan sebelumnya, untuk mengatur ruang kosong prakampanye, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers yang tergabung dalam gugus tugas pengawasan menyepakati beberapa hal. Di antaranya, sosialisasi parpol hanya bisa dilakukan dalam dua bentuk, yakni pemasangan bendera parpol berisi lambang dan nomor urut di tempat yang diperbolehkan, serta pertemuan internal partai dengan memberi tahu ke KPU dan Bawaslu setempat. KPU akan menyampaikan hal itu ke parpol.

Mantan anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak menuturkan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang membuka peluang penyalahgunaan kampanye. Masa jeda ini berpotensi menyebabkan ketidakadilan dalam pemilu karena tidak ada batasan maksimal yang sama bagi parpol untuk sosialisasi. “Seolah dibebaskan partai yang uangnya banyak bisa sosialisasi leluasa. Partai yang lain tidak sama peluangnya,” kata Nelson.

Terkait dengan proses pengawasan kepatuhan parpol terhadap konten dan bentuk sosialisasi yang disepakati, anggota Bawaslu M Afifuddin menuturkan, saat ini Bawaslu masih menunggu KPU untuk membuat aturan dalam bentuk edaran prakampanye. Hal ini yang kemudian akan dijadikan landasan bagi Bawaslu dalam menindak jika terjadi pelanggaran.

“Menjadi pertanyaan di kami, karena jika belum ada aturan dari KPU, maka kami juga bingung jika akan menjatuhkan sanksi. Aturan yang dilanggar apa,” kata Afifuddin.

Menurut dia, awal pekan depan, KPU sudah menyepakati akan mengundang partai politik guna membicarakan aturan main prakampanye. Namun, dia juga menyadari bisa muncul resistensi dari parpol terhadap pengaturan di masa prakampanye ini. Afifuddin juga mengaku saat ini sudah mendapat protes dari parpol.

Dikliping dari https://kompas.id/baca/lain-lain/2018/02/22/publik-amati-konsistensi-parpol/