Maret 28, 2024
iden

Rezim Administrasi Pemilu Membelenggu Partai Baru

KINI saatnya pendaftaran partai politik peserta pemilu untuk Pemilu2019. KPU telah merilis Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD (PKPU No 11/2017).

PKPU itu merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No 7/2017). Undang-undang ini mewajibkan semua partai politik, baik lama (sudah pernah ikut pemilu) maupun baru (belum pernah ikut pemilu), untuk mendaftar ke KPU.

Kali ini kita bahas bagaimana partai politik baru memenuhi syarat-syarat agar bisa menjadi peserta pemilu. Sedang untuk partai politik lama kita bahas pada kesempatan berikutnya.

Pasal 173 ayat (2) UU No 7/2017 menyebut sembilan syarat yang harus dipenuhi partai politik baru untuk menjadi peserta pemilu. Ditinjau dari tingkat kesulitannya (dari yang mudah ke yang sulit), syarat-syarat itu bisa dipilah menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama: 1) berstatus badan hukum; 2) mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar; 3) menyerahkan rekening dana kampanye; 4) menyerahkan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan pusat; dan 5) mempunyai kantor tetap di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu.

Bagi partai politik yang benar-benar ingin menjadi peserta pemilu, tidaklah sulit memenuhi syarat-syarat tersebut. PKPU No 11/2017 meminta partai politik mengisi formulir dan menyediakan dokumen yang diperlukan. Semua formulir yang telah diisi dan dokumen yang menyertainya diserahkan ke KPU untuk dicek kelengkapan administrasinya.

Hasil verifikasi administrasi diserahkan KPU ke KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Selanjutnya mereka melakukan verifikasi faktual, untuk membuktikan benar-tidaknya apa yang tercatat dalam formulir dan dokumen. Di sini, partai politik harus memastikan bahwa mereka punya kantor beneran, bukan kantor papan nama atau fiktif.

Kelompok kedua, 6) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; 7) memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota di provinsi bersangkutan; dan 8) memiliki kepengurusan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota bersangkutan.

PKPU No 11/2017 hanya menyebutkan tiga jabatan dan nama pengurus yang harus disebut, yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara. Semua nama pengurus tersebut, diisikan ke dalam formulir lalu disertai dokumen pengesahannya. Semua formulir dan dokumen kepengurusan pusat, provinsi, kebupaten/kota, dan kecamatan harus disetor ke KPU.

Hasil verifikasi administrasi oleh KPU diserahkan ke KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi faktual. KPU Kabupaten/Kota bekerja keras untuk memastikan keberadaan dan keabsahan pengurus di kabupaten/kota dan kecamatan.

Partai politik tidak bisa sembarangan mencantumkan nama. Sebab jika diketahui bahwa orang yang tersebut tidak tahu menahu bahwa dirinya pengurus partai politik, maka di wilayah itu, partai politik dinyatakan tidak memiliki pengurus.

Kelompok ketiga, 9) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.

Inilah syarat yang paling sulit sekaligus paling rumit verifikasinya. Terdapat nama, nomor induk kependudukan, nomor anggota, dan alamat yang diverifikasi. Verifikasi administrasi dilakukan KPU, lalu verifikasi faktual dikerjakan KPU Kabupaten/Kota.

Nah, dalam verifikasi faktual ini, KPU Kabupaten/Kota bisa melakukan sampling anggota, meskipun UU No 7/2017 sebetulnya menghendaki sensus. Secara teknis, partai politik menyediakan 10 persen nama, lalu petugas akan mengecek kebenarannya.

Di sini keributan sering terjadi. Misalnya, pada saat petugas melakukan verifikasi, nama-nama yang disodorkan partai politik tidak ada di lapangan; sebaliknya, pengurus partai politik menuduh petugas yang tidak ada di lapangan. Dalam situasi seperti itu bisa ditempuh jalan pintas: kongkalikong antara petugas dengan pengurus partai politik.

Tulisan ini sangat menyederhankan proses pendaftaran partai politik. PKPU No 11/2017 menunjukkan betapa rumitnya kegiatan ini. Lihatlah berapa jumlah formulir dan berapa dokumen yang harus disiapkan pengurus partai politik. Dan semuanya itu harus diverifikasi KPU secara administrasi dan faktual.

Skalanya juga besar karena semuanya harus disetor ke KPU, lalu ditindaklanjuti KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Makanya, menjelang hari terakhir pendaftaran, kantor KPU akan dipenuhi oleh ribuan kontainer plastik berisi berkas pendaftaran.

Saya menyebut inilah rezim administrasi pemilu yang diciptakan undang-undang pemilu. Dengan dalih membatasi jumlah partai politik peserta pemilu, pembuat undang-undang menciptakan ketentuan-ketentuan administrasi pemilu. Akibatnya adalah kerepotan yang luar biasa, yang memakan banyak tenaga dan dana.

Memang, tidak semua partai politik bisa mengikuti pemilu karena jumlah partai politik yang banyak juga merepotkan pemilih. Namun cara pembatasannya lebih baik difokuskan pada kemampuan partai politik dalam meraih suara untuk mendapatkan kursi dalam pemilu.

Misalnya dengan mengecek dukungan pemilih di satu daerah pemilihan untuk mendapatkan suara yang setara dengan satu kursi. Dengan cara ini, pemenuhan syarat tersebut cukup diwakilkan pada satu daerah pemilihan. Artinya jika di satu daerah pemilihan itu, partai politik mampu memenuhi syarat, maka hal itu diberlakukan ke seluruh daerah pemilihan

Dengan demikian partai politik tidak banyak disibukkan oleh urusan administrasi. KPU juga tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan dana untuk verifikasi administrasi dan faktual. Jika saja syarat kelengkapan pengurus dan kepemilikan kantor hanya jadi syarat badan hukum pemilu, maka juga tidak terjadi pengulangan pekerjaan.

 Simak dan nantikan Kolom Pemilu oleh Didik Supriyanto di Kompas.com. 

http://nasional.kompas.com/read/2017/10/12/19532771/rezim-administrasi-pemilu-membelenggu-partai-baru