Maret 19, 2024
iden

Saat Elite Partai Jadi Penentu…

Melalui proses yang cenderung elitis dan sentralistis, sejumlah partai mengumumkan calon yang diusung dalam Pilkada 2018. Ini membuat calon yang diusung berpotensi lebih merefleksikan kepentingan elite partai.

Empat hari menjelang tahapan pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengumumkan Djarot Saiful Hidayat menjadi calon gubernur untuk Pilkada Sumatera Utara. Ia berpasangan dengan Sihar Sitorus.

Mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Blitar ini di luar opsi nama yang diajukan elite PDI-P di Sumut ataupun yang dikaji elite PDI-P di pusat. Saat mengumumkan Djarot, Megawati menceritakan pilihan kepada Djarot sepenuhnya pilihan dirinya.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menjelaskan, keputusan partainya untuk mengusung Djarot-Sihar merupakan bagian dari kesepakatan dengan PDI-P untuk Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Di Jateng, PDI-P menyerahkan posisi calon wakil gubernur kepada PPP yang kemudian diisi oleh kader PPP, Taj Yasin Maimoen.

Sementara di Jabar, PDI-P melepas Ridwan Kamil sebagai bakal calon gubernur provinsi itu sehingga PPP bisa menjadikan kader PPP, Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, sebagai pendamping Ridwan.

Mendekati tahapan pendaftaran pula, Partai Golkar tiba-tiba menarik dukungan kepada Ridwan Kamil untuk menjadi calon gubernur Jabar. Penarikan dilakukan menyusul terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar.

Sebagai gantinya, Golkar mengusung kadernya sendiri, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang sebelumnya getol mendorong Novanto diganti karena terjerat kasus korupsi proyek KTP elektronik. Keputusan bongkar pasang itu langsung ditetapkan oleh Airlangga, bahkan sebelum ia resmi dilantik menjadi Ketua Umum Golkar dalam musyawarah nasional luar biasa, Desember lalu.

Kondisi ini memunculkan spekulasi, Dedi mendapat tiket pencalonan karena ia vokal mendukung Airlangga menjadi ketua umum. Namun, Dedi membantahnya. Menurut dia, dirinya mendukung Airlangga semata untuk mendorong perubahan di Golkar.

Masih terkait Pilkada Jabar, awal Desember 2017, Partai Gerindra tiba-tiba memunculkan figur Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Sudrajat untuk menjadi calon gubernur Jabar.

Pilihan calon di sejumlah daerah itu setidaknya menggambarkan keputusan partai untuk Pilkada 2018 tak berbeda dengan pilkada di banyak daerah sebelumnya. Keputusan cenderung elitis dan sentralistis karena ditentukan oleh elite partai, khususnya elite di pusat.

”Ranah kontestasi yang lekat dengan konteks lokal dan artikulasi kepentingan lokal dikooptasi dengan wajah partai yang elitis dan sentralistis,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tegas menyebutkan, perekrutan calon oleh partai seharusnya dilakukan secara terbuka dan demokratis.

Sulit dihindari

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengakui, pengambilan keputusan yang sentralistis sulit dihindari, terutama untuk daerah yang menjadi lumbung suara saat pemilu nantinya. Kalkulasi politik dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah perlu memperhatikan banyak faktor, termasuk kepentingan dan peta politik di tingkat pusat.

”Tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pengurus daerah tanpa kendali pusat. Ini karena bisa saja ada kader yang mengusung calon yang bertentangan dengan kepentingan partai atau elite pusat atau tak seiring dengan ideologi partai,” kata Riza.

Meski demikian, menurut dia, semua keputusan selalu dikomunikasikan dan dikonsultasikan dengan daerah. ”Jadi, tidak tiba-tiba pusat memutuskan,” ucapnya.

Lain lagi dengan Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira. Menurut dia, figur-figur yang diusung PDI-P merupakan hasil penjaringan dan seleksi yang dilakukan jajaran pengurus partai di daerah dengan melibatkan jajaran pengurus di pusat.

Jika kemudian Megawati memutuskan hal yang berbeda, menurut Ketua DPP PDI-P Hendrawan Supratikno, itu menjadi hak yang diberikan partai kepadanya. PDI-P pun tak mempermasalahkan pilihan Megawati. PDI-P melihat Megawati memiliki intuisi dan kalkulasi politik yang tepat.

Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid sekaligus Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Golkar pun meyakinkan, semua proses pemilihan dan penetapan calon telah melalui mekanisme yang demokratis. ”Semuanya musyawarah mufakat melalui pleno di pusat ataupun daerah. Bottom-up,” kata Nurdin.

Pemilu internal

Menurut Titi, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat lahir keharusan melakukan uji publik bagi bakal calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Lewat uji publik yang dilakukan akademisi, tokoh masyarakat, dan komisioner KPU daerah, ruang partisipasi publik itu hendak dibuka.

Perludem pun pernah mengusulkan agar digelar semacam pemilu di internal partai yang melibatkan struktur partai di daerah dalam menentukan calon yang diusung partai. Dengan demikian, penentuan calon yang hanya didominasi oleh segelintir elite di pusat bisa dicegah.

”Namun, yang terjadi kemudian, produk Undang-Undang Pilkada selanjutnya justru memperkokoh wajah partai yang elitis dan sentralistis dalam menentukan calon,” ujarnya.

Dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada, misalnya, ditambahkan ketentuan, pendaftaran calon dapat dilaksanakan oleh pimpinan partai tingkat pusat jika pimpinan partai tingkat provinsi atau kabupaten/kota menolak mendaftarkan calon yang diputuskan pusat.

Padahal, dengan pencalonan yang elitis dan sentralistis, partai sesungguhnya justru dirugikan. Model pencalonan seperti itu justru berpotensi menimbulkan demotivasi di kalangan kader partai. Kader yang telah berkeringat untuk partai dengan harapan kariernya di partai terus meningkat, salah satunya dicalonkan dalam pilkada, bisa dipatahkan semata oleh kepentingan elite partai.

Lebih parah lagi, menurut profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, kepala/wakil kepala daerah terpilih berpotensi lebih merefleksikan kepentingan elite partai. Ini berimbas buruk pada rakyat di daerah karena suara elite tidak jarang justru berbeda dengan kepentingan di daerah.

Selain itu, model pencalonan tersebut juga berpotensi membuat kian marak tren kursi kepala/wakil daerah yang hanya difungsikan sebagai batu loncatan guna mengincar jabatan publik lebih tinggi. ”Akhirnya, kepala daerah hanya sebatas mengincar kekuasaan, bukan bekerja untuk rakyat,” tutur Haris.

(A Ponco Anggoro/Agnes Theodora)

Selengkapnya: https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/01/19/saat-elite-partai-jadi-penentu/