Maret 19, 2024
iden

Sidang PHPU Pileg Mesti Jadi Momen Evaluasi Pemilu 2019

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merilis hasil kajian sementara atas sidang perselisihan hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Perludem menilai sidang berjalan cukup lancar, dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membagi sidang ke dalam tiga panel dengan tiga hakim MK di masing-masing panel.

“Ini merupakan komitmen Perludem untuk mengawal penyelenggaraan pemilu, dari hulu ke kilir. Jadi, tidak hanya proses pembentukan undang-undangnya, tapi juga sampai penegakan hukumnya. Ini juga fase yang sangat menentukan,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, pada diskusi media “Analisis Permohonan Perselisihan Pileg 2019 dan Hasil Pemantauan Sementara Perselisihan Hasil Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi” di Cikini, Jakarta Pusat(15/7).

Mayoritas permohonan diajukan atas nama partai

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengemukakan bahwa dari total 608 permohonan sengketa Pileg, khususnya sengketa Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPR Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, permohonan paling banyak diajukan oleh partai politik, bukan oleh calon anggota legislatif (caleg). Tercatat, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mengajukan 107 perkara, Partai NasDem 61 perkara, dan Partai Beringin Karya (Berkarya) 49 perkara.

“Jadi, dari kategori sengketa internal, itu PDIP yang paling banyak mengajukan sengketa atas nama partai,” ujar Fadli.

Terkait dengan data tersebut, Titi menilai wajar pasalnya berdasarkan peraturan MK, caleg hanya dapat mengajukan sengketa hasil atas seizin ketua umum dan sekretaris jenderal partai. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22E pun menyatakan bahwa peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Beberapa partai, seperti PDIP, tidak mengizinkan caleg maju bersengketa ke MK atas nama pribadi.

“Pada waktu itu, 2009, meskipun open list system, tapi MK belum membuka ruang bagi calon untuk menggugat. MK baru membuka pada 2014 dan juga diatur di UU No.8/2018, meski tidak eksplisit, bahwa boleh caleg mengguggat, tapi harus ada izin dari partai. Jadi, itu kondisinya,” jelas Titi.

Minimnya caleg yang maju ke MK pun dinilai disebabkan oleh tiga alasan lain. Pertama, adanya mekanisme internal partai melalui Mahkamah Partai. Kedua, rasionalitas caleg yang telah kalah berperkara di badan hukum sebelumnya, seperti di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ketiga, keterbatasan anggaran. Titi mendorong agar publik menyorot mekanisme di internal partai karena proses penyelesaian keberatan caleg melalui Mahkamah Partai berada di ruang yang tak terjangkau aturan hukum dan minim keterbukaan.

“Mekanisme internal partai juga harus diawasi. Putusan Mahkamah Partai itu mengikat dan bisa dilakukan upaya hukum ke pengadilan negeri satu kali. Nah, mekanisme internal partai itu lebih pada ruang-ruang yang tidak aksesibel. Ini tetap harus dipantau karena ini soal kemurnian suara rakyat. Jangan sampai intervensi elit partai menciderai kemurnian suara rakyat dan keadilan pemilu berkurang derajatnya,” tegas Titi.

Titi juga menggarisbawahi poin kedua. Ia mengingatkan agar Bawaslu tidak melampaui kewenangannya dengan memutuskan perkara yang memengaruhi perolehan hasil caleg. Sengketa hasil adalah ranah MK. Adapun MK, yang pada putusannya untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tak mencampuri putusan badan penegak hukum pemilu, dapat dilihat konsistensinya pada putusan Pileg.

“Ketika Bawaslu menerima sengketa dengan bungkus kemasan pelanggaran administrasi pemilu, bahwa ada rekap yang tidak sesuai prosensya, Bawaslu harus menyesuaikan. Tapi, harus ingat, kewenagan Bawaslu untuk menangani pelanggaran administrasi pemilu, tidak boleh menyentuh hasil,” tandas Titi.

Tiga isu jadi dalil “terfavorit”

Perludem juga menemukan adanya tiga permasalahan yang sering didalilkan di dalam permohonan sengketa Pileg, yakni kecurangan atau kesalahan dalam rekapitulasi suara, Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan netralitas penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) banyak diadukan melakukan kesalahan dalam merekap.

“Ada 260 permohonan yang menyoal terjadi kesalahan dari KPU dalam merekap. Ini bentuk sengketa yang paling banyak,” tukas Fadli.

Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati mengherankan DPT yang kerap dipermasalahkan tiap kali pemilihan. Pasalnya, proses penetapan DPT oleh KPU daerah melibatkan partai politik peserta pemilu. Permasalahan DPT semestinya tak terjadi jika mesin partai bekerja maksimal dengan memastikan konstituennya telah terdaftar di dalam DPT.

“Di kabupaten/kota tidak pernah dipermasalahkan, baru nanti di ujung. Nah, ini menunjukkan kalau mesin partai tidak maksimal,” ucap Khoirunnisa.

Adanya aduan manipulasi suara dalam proses rekapitulasi manual berjenjang oleh para pemohon tutut disorot oleh Perludem. KPU diminta mengoreksi kinerja jajarannya dan memastikan apakah oknum jajarannya memang terlibat dalam manipulasi suara. Momen sengketa hasil di MK mesti dijadikan momen untuk mengevaluasi kinerja jajaran penyelenggara pemilu.

“KPU harus memastikan jajaran mereka, apakah yang didalilkan itu benar dilakukan oleh jajarannya. KPU RI kan hierarkis. Nah, momen di MK adalah mome yang tepat bagi KPU RI untuk menilai dan mengukur integritas, profesionalitas, dan netralitas jajaran mereka,”kata Titi.

Caleg nomor urut 1 banyak menggugat

Fadli menyampaikan bahwa salah satu temuan adalah banyaknya caleg bernomor urut 1 yang menggugat hasil Pileg. Hal ini menjadi menarik karena berdasarkan kajian Perludem pula, lebih dari 50 persen caleg terpilih merupakan caleg dengan nomor urut 1. Diduga, banyaknya permohonan gugatan oleh caleg nomor urut 1 didorong oleh selisih perolehan suara yang tipis dengan caleg lain.

“Ada 74 perkara yang diajukan oleh caleg nomor urut 1. 35 pekrara oleh nomor urut 2. 13 oleh nomor urut 3. Menurut saya, makin banyak nomor urut1 yang gugat, berarti ada selisih suara yang signifikan mempengaruhi kemenangan antara nomor urut 1 dengan nomor urut lain,” terangnya.

Tak hanya caleg bernomor urut 1, caleg petahana juga ada yang mengajukan gugatan. 5 caleg petahanan DPR RI, 1 caleg petahanan DPRD provinsi, dan 1 caleg petahana DPRD kabupaten/kota bberperkara di MK.

Sengketa hasil paling banyak dari Papua

33 dari 34 provinsi di Indonesia mengajukan permohonan sengketa. Kalimantan Utara menjadi satu-satunya provinsi yang tidak melakukan gugatan. Adapun Papua, menyumbang kasus sengketa hasil terbanyak di Pileg 2019 dengan 20 permohonan.

Perludem memandang penting evaluasi khusus terhadap Papua, terutama evaluasi sistem noken. Noken pada Pemilu 2019 tak berjalan sesuai dengan amanat MK, dimana noken beralih dari konsensus oleh kepala suku menjadi penguasaan politik oleh orang kuat lokal atau kepala daerah. Noken semestinya diadministrasikan dengan baik, berikut dengan jumlah pemilih yang menggunakan sistem noken.

“Bacaan kami, konsenus itu tidak diambil oleh kepala suku, tapi oleh orang kuat lokal, bupati, kepala daerah. Jadi, harusnya adat istiadat, beralih ke orang kuat politik,” tandas Titi.

Perludem mengusulkan reformulasi sistem noken di dalam undang-undang. KPU mesti dapat menyelenggarakan pemilu dengan sistem noken di Papua secraa tertib dan berkepastian hukum.

“Noken tidak boleh disepelekan. Sayangnya, waktu Pemilu 2019, KPU tidak punya cukup regulasi untuk mengatur noken secara tertib dan berkepastian hukum. Noken dibiarkan begitu saja berdasarkan praktik bebas,” tutup Titi.

Terhadap sejumlah dalil mengenai  persoalan dalam rekapitulasi manual berjenjang, Perludem mengusulkan dikajinya rekapitulasi elektronik oleh semua pemangku kepentingan. Salah satu prinsip pemilu yang jujur dan adil yaitu hasil pemilu yang cepat. Penggunaan teknologi diharapkan dapat mewujudkan prinsip tersebut.