April 19, 2024
iden

Sony Maulana: Perlu Kesepahaman Hukum Antar Peserta Pemilu

Bias redaksi dalam membaca undang-undang sering menjadi penyebab konflik dalam penyelenggaraan pemilu. Salah satunya soal pelanggaran kampanye dari kata “dan” yang dimaknai kumulatif.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengartikan “Kampanye Pemilu”  adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Pada Pasal 81 Ayat (1), materi kampanye meliputi visi, misi dan program partai. Kalimat ini sering dimaknai kumulatif. Jika materi kampanye hanya ada satu, bukan dimaknai sebagai “Kampanye Pemilu”. Lalu bagaimana jika peserta pemilu melakukan salah materi kampanye di tempat atau waktu yang dilarang berkampanye?

Membahas hal tersebut wartawan rumahpemilu.org, Usep Hasan Sadikin mewawancara pakar rancangan hukum, Sony Maulana Sikumbang yang juga dosen perancangan undang-undang di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini di Jakarta, (10/4).

Bagaimana jika materi kampanye dari peserta pemilu hadir pada tempat dan waktu yang dilarang untuk berkampanye?

Kata ‘dan’ dalam kalimat hukum memang suka ditafsirkan begini: kalau saya melanggar salah satunya, ya tidak dihukum. Misal ada aturan “dilarang menginjak dan berjalan di rumput ini”. Orang yang kepentingannya akan terpenuhi dengan melanggar aturan itu, akan berdalih:

saya cuma menginjak. Atau, saya berjalan, bukan berarti menginjak. Yang dihukum jika melakukan keduanya.

Atau sebaliknya, kalau redaksi kalimatnya: “dilarang menginjak atau berjalan di rumput ini”, kata “atau” suka diartikan kalau saya melakukan keduanya bukan termasuk pelanggaran.

Pengacara atau pihak berkepentingan suka memainkan celah itu.

Secara umum pun kata dalam setiap kalimat hukum mempunyai makna yang abu-abu, bisa ambigu. Ada makna inti, yang dari kita semua bisa menangkap maksudnya. Tapi juga ada kata yang bermakna bayang-bayang. Perancang hukum harus mengurangi kemungkinan makna bayang-bayang yang bisa ditangkap oleh pelaksana undang-undang.

Tapi, meskipun kemungkinan adanya bias atau ambiguitas kalimat hukum sudah diantisipasi perancang hukum, akan tetap ada potensi perbedaan tafsir atau pemaknaan kalimat hukum.

Apakah KPU melalui kewenangan membuat Peraturan KPU bisa mengatasi bias kalimat hukum itu?

Saya berpendapat jika KPU coba memperjelas maksud dari “dan” dalam kampanye beserta pelanggarannya melalui peraturan yang lebih detail akan mudah dibantah oleh peserta pemilu. Sangat sulit jika KPU melakukannya, meskipun berwenang. Permasalahannya lebih berletak di kesadaran peserta pemilu.

Kita perlu sadari, undang-undang pemilu dibuat oleh anggota legislatif dari partai. Di pemilu mereka akan menjadi peserta. Keinginan berkuasa pada pembuat undang-undang tentu memungkinkan bias kalimat yang terkait dengan kepentingan politik bisa masuk dituliskan.

Lalu, bagaimana sebaiknya?

Idealnya perlu ada kesadaran dari peserta pemilu terhadap kepastian hukum pemilu. Partai sebagai peserta pemilu secara bersama harus menyepakati satu makna terhadap sejumlah kalimat hukum yang berpotensi bias. Inisiatif kesepakatan bersama ini, lebih baik dari partai.

Jika dari partai tak ada inisiatif itu, KPU bisa melakukannya. Ini seperti deklarasi pilkada damai. KPU bisa mengundang semua ketua umum semua partai peserta pemilu, lalu menyepakati bersama satu makna terhadap kalimat yang bias makna.

Hukum dibuat untuk semua orang. Ini berarti hukum harus dipahami bersama semua orang yang diperintahkan hukum itu. Jika tak ada ini, pelanggaran akan terjadi dan cenderung didiamkan, tak dihukum.

Ada sebab lain kenapa pelanggaran hukum dibiarkan?

Kekuatan kuasa. Bisa uang, pemerintah atau massa. Siapa yang berani mengadukan Prabowo yang mempublikasikan perekrutan partai atau iklan partai di media massa di luar masa kampanye? Kita bisa memahami kondisi penegakan hukum di Indonesia dari kasus Rhoma Irama yang jelas berceramah di dalam masjid dengan mengarahkan untuk memilih siapa di Pilkada Jakarta tapi tidak dihukum. Keadaan politik, budaya dan agama di masyarakat bisa mengalahkan hukum di negara hukum ini.

Anda melihat kecenderungan itu di pemilu?

Bagi saya demokrasi itu hukum rimba. Yang kuat yang menang. Hanya pertarungannya dibuat elegan. Sebaiknya kita terus menyadari, demokrasi menuntut kita merumuskan bersama aturan, cara.

Sayangnya, ketika cara yang telah dirumuskan dan disepakati bersama itu menghasilkan sesuatu yang tak sesuai dengan harapan satu pihak, malah diprotes. Sering pihak yang kalah memprotes hasil dari cara demokrasi yang sudah disepakati. Padahal, pemenang pemilu pun tak jarang juga dicurangi.

Akhirnya kembali lagi, ini soal kesadaran hukum. []