Maret 28, 2024
iden

Sulitnya Mengafirmasi Perempuan di Internal Partai

DPR dan KPU tidak mewajibkan ketentuan 30 persen perempuan di kepengurusan partai hingga tingkat kabupaten/kota sebagai syarat partai peserta pemilu. Padahal, tidak ada frasa yang berubah terkait syarat kepesertaan ini di UU Pemilu. Jika MK mengabulkan gugatan uji materi dan mewajibkan partai memenuhi syarat 30 persen perempuan di kepengurusan partai hingga kabupaten/kota, tidak ada partai yang lolos sebagai peserta pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) kini sedang menyidangkan perkara uji materi bernomor 60/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Salah satu yang diperkarakan adalah Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu terkait ketentuan keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai yang hanya diwajibkan pada tingkat pusat. Untuk menjadi peserta pemilu, partai harus memenuhi persyaratan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat. Sementara untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tidak ada kewajiban memenuhi 30 persen perempuan di kepengurusan.

Jika dibandingkan dengan ketentuan pada UU Pemilu sebelumnya, UU No. 8/2012, frasa itu sama persis, tidak berubah sama sekali. Pada Pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memandang ketentuan pada undang-undang itu memiliki semangat afirmasi perempuan di kepengurusan partai hingga tingkat kabupaten/kota. KPU menerjemahkan ketentuan itu pada PKPU 8/2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. KPU mewajibkan partai untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Karena frasa tersebut tak berubah di UU Pemilu, KPU tetap mempertahankan ketentuan mewajibkan partai untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota pada draft peraturan KPU yang disiapkan. Namun, pada saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, ketentuan itu ditentang. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Achmad Baidowi, menuding KPU berusaha membuat norma baru yang bertentangan dengan UU Pemilu.

“Norma tersebut secara nyata bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 173 Ayat 2. Dalam ketentuan undang-undang, keterwakilan 30 persen hanya berlaku di tingkat pusat,” kata Baidowi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/8) seperti dikutip Okezone.

KPU terpaksa manut. “Ada ketentuan kewajiban konsultasi dalam forum rapat dengar pendapat yang hasilnya mengikat,” kata Arief Budiman, Ketua KPU, di ruangannya di kantor KPU, Jakarta Pusat (15/11).

PKPU 11/2017 menyebut partai menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat. Sementara untuk kepengurusan partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota, frasanya hanya memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan.

“KPU memahami bahwa penyertaan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan tersebut hanya berlaku bagi kepengurusan partai politik tingkat pusat. Sedangkan terhadap kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sifatnya tidak wajib, namun cukup hanya memperhatikan,” tandas Hasyim Asy’ari, anggota KPU, saat memberi keterangan sebagai pihak terkait pada sidang perkara 60/PUU-XV/2017 di MK (14/11).

Pusat kaderisasi dan sumber perekrutan caleg

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyayangkan hilangnya ketentuan afirmasi perempuan di kepengurusan partai hingga kabupaten/kota ini. Komitmen afirmasi terputus dan tidak secara konsisten dijalankan oleh UU Pemilu. Di satu sisi, partai diwajibkan untuk mengisi sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam daftar calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Sementara pada kepengurusan partai, tidak ada kewajiban itu.

“Padahal dia seharusnya satu-kesatuan,” kata Titi Anggraini, saat memberi keterangan sebagai ahli pada sidang perkara 60/PUU-XV/2017 di MK (14/11).

Keterputusan ini membuat partai tidak berhasil menyediakan perempuan kader dalam jumlah memadai yang siap untuk diusung menjadi caleg.

Hasil penelitian Perludem yang dibukukan dalam Pencomotan Perempuan untuk Daftar Calon (2013) menunjukkan, di tingkat kabupaten/kota, partai politik sesungguhnya kesulitan memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan karena tidak memiliki kader perempuan yang mencukupi. Untuk memenuhi kekurangan kader perempuan tersebut, partai mencomot perempuan dari mana saja untuk dijadikan calon demi tercapainya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Langkah ini juga ditempuh partai untuk menghindar dari ancaman sanksi tidak boleh mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang diterapkan KPU.

“Siapa pun yang bisa masuk dan tanpa melalui proses kaderisasi, dia bisa maju di dalam proses kontestasi. Kalau 30 persen perempuan ada di kepengurusan, maka proses asal comot atau asal populer pasti akan bisa dihindari. Undang-undang Partai juga mengatakan pencalonan berbasis kaderisasi,” tegas Titi.

Partai, yang seharusnya menjadi pusat kaderisasi dan sumber perekrutan calon legislator (caleg), malah menjadi penghalang bagi perjuangan kepentingan perempuan. “Partai dapat menjadi pembatas antaranggota perempuan. Kepentingan partai menghegemoni ketika mendiskusikan kepentingan bersama,” kata Nurul Adha Muharrar, perempuan anggota DPRD Lombok Barat, saat menjadi pembicara pada Konsolidasi Nasional Kaukus Perempuan Parlemen RI di Jakarta (16/11).

Sebagai contoh, saat pembahasan RUU Pemilu, usulan syarat menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota masuk menjadi salah satu opsi yang akan diambil keputusan. Siti Masrifah, perempuan anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKB, tak memilih opsi itu karena ada kepentingan partai yang tak ingin diverifikasi ulang sebagai partai peserta Pemilu 2019.

“Kemarin menginginkan bahwa kalau partai yang sudah terverifikasi maka dia tidak akan verifikasi ulang. Persyaratan (keterwakilan perempuan—red.) ini kan termasuk di dalam verifikasi itu. Kalau kita ingin tetap itu terjadi, mau tidak mau maka kita harus pilih opsi pertama,” kata Siti Masrifah, anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKB, saat rapat pansus di Kompleks Parlemen, Jakarta (30/5).

Opsi satu yang dimaksud Siti Masrifah adalah kepengurusan partai tingkat pusat dan bakal calon wajib memenuhi 30 persen perempuan. Selain itu—kepengurusan partai tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan penyelenggara pemilu—cukup “memperhatikan” dengan menyebutkan persentase 30 persen.

Semua partai tak memenuhi

Wahiduddin Adams dan I Dewa Gede Palguna, hakim MK, pada persidangan itu, mempertanyakan soal kekhawatiran partai tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut. “Khawatir nanti apabila memang seperti disampaikan bahwa mengapa tidak di provinsi kabupaten/kota dan kecamatan itu sendiri harus diwajibkan, tidak hanya memerhatikan, justru memang nanti tidak realistis, tidak akan terpenuhi?” kata Wahiduddin (14/11).

Kenyataannya, mengacu pada data Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang disiapkan KPU per (20/11), tidak ada satupun partai yang mampu memenuhi syarat 30 persen perempuan di kepengurusan partai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten kota. Di tingkat pusat saja, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum mampu memenuhi syarat. Persentase keterwakilanperempuan di kepengurusan pusat PDIP hanya 28.57.

Di tingkat provinsi, rata-rata partai bisa memenuhi syarat kepengurusan dengan 30 persen perempuan di 74.58 persen provinsi (25 dari 34 total provinsi). Sementara di 9 provinsi sisanya, keterwakilan perempuan di bawah 30 persen. Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata partai bisa memenuhi syarat keterwakilan perempuan di 64.87 persen kabupaten/kota (333 dari total 514 kabupaten/kota). Sementara di 181 kabupaten/kota sisanya, keterwakilan perempuan di bawah 30 persen.