Maret 28, 2024
iden

Terobosan Belum Terlihat

Baliho bergambar tiga pasangan cagub/cawagub yang akan maju dalam pilkada DKI Jakarta di Jalan Casablanca, Jakarta Selatan, Rabu (23/11). KOMPAS/AGUS SUSANTO

Misi, Visi, dan Program Cenderung Formalitas

JAKARTA, KOMPAS — Satu bulan pertama pelaksanaan kampanye Pilkada 2017, secara umum belum tampak terobosan dari para kandidat. Meski kondisi 101 daerah yang menggelar pilkada berbeda, misi, visi, dan program yang ditawarkan para kandidat dalam kampanye cenderung sama.

Kampanye sudah dimulai sejak 28 Oktober lalu. Dari enam pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang bertarung di Aceh, semua mencantumkan kata “sejahtera” di dalam visinya.

Sementara itu, moto pasangan Richard Louhenapessy-Syarif Hadler yang bertarung dalam Pilkada Kota Ambon, Maluku, yaitu “Ambon untuk Semua”, mengingatkan pada slogan “Jakarta untuk Semua” yang dipakai pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dalam Pilkada DKI Jakarta 2007.

Sejalan dengan langkah pemerintah yang gencar membangun infrastruktur, kandidat di sejumlah daerah juga memasukkan pembangunan infrastruktur dalam programnya. Hal ini, antara lain, terlihat dari program semua pasangan calon peserta pilkada di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang diikuti dua pasangan, dan Pilkada Papua Barat yang diikuti tiga pasangan.

Sementara itu, metode blusukan, yang dipopulerkan Joko Widodo saat kampanye Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 dan Pemilihan Presiden 2014, kini masih jadi metode yang paling banyak dipakai oleh para kandidat untuk berkampanye.

Dalam metode ini, langkah yang paling banyak dilakukan kandidat adalah mengunjungi permukiman padat penduduk atau pasar. Hal ini terjadi di kota besar seperti DKI Jakarta hingga di luar Pulau Jawa.

Sandiaga Uno, satu dari tiga calon wakil gubernur di Pilkada DKI Jakarta, Minggu (27/11), di Jakarta, menyatakan, pihaknya mengandalkan metode kampanye dengan mendatangi kampung-kampung dan permukiman warga. Hal itu tidak lepas dari kondisi ekonomi yang tengah lesu.

Suswono, salah satu calon bupati Brebes, Jawa Tengah, menyatakan, kampanye dengan cara mendatangi lalu mengajak berdialog warga yang ditemui di tempat ramai seperti pasar justru lebih menguntungkan. Pasalnya, dengan cara itu, dia merasa lebih memiliki ruang untuk menjelaskan visi dan misi serta menawarkan program kerja apabila terpilih sebagai bupati.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Brebes Kuntoro Tayubi mencatat, sekitar 80 persen kampanye pilkada di daerahnya dilakukan di pasar-pasar tradisional di Brebes.

Tidak jelas

Namun, sebagian warga mencatat, tak ada program baru yang ditawarkan para kandidat dalam pilkada kali ini. Sunarsih (40), warga Kemanggisan, Jakarta Barat, mengatakan, para kandidat di Pilkada DKI Jakarta masih mengulang janji kampanye seperti di masa lalu, tetapi belum jelas upaya untuk mewujudkannya, misalnya tentang mengatasi banjir dan kemacetan Jakarta.

Sejumlah janji, seperti menurunkan harga kebutuhan pokok di Jakarta, dinilai pesimistis dapat diwujudkan.

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung, Hieronimus Soerja Tisnanta, mengatakan, masalah yang ada di daerahnya, seperti konflik lahan yang berlarut-larut di sejumlah wilayah di Mesuji, tak disinggung oleh dua pasangan calon yang bertarung dalam pilkada kabupaten itu. Padahal, konflik lahan di Mesuji telah menelan korban jiwa dan harta. “Para calon bupati seharusnya melihat ini sebagai suatu tugas yang penting. Mereka merupakan wakil negara di tengah masyarakat Mesuji,” katanya.

Saat masalah konflik lahan ini ditanyakan kepada dua pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Mesuji, yaitu Khamamik- Sapli dan Febrina Lesisie Tantina-Adam Ishak, mereka menyatakan memiliki cara khusus untuk mengatasi masalah itu.

Sementara itu, Mahmudin Salampessy (57), warga Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau, Ambon, menyatakan, yang dibutuhkan hanyalah Ambon yang aman. Konflik sosial bernuansa agama seperti yang terjadi di Ambon pada 1999 jangan terulang.

Menyalin

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menuturkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa visi, misi, dan program kepala daerah hanya formalitas untuk memenuhi syarat ikut pilkada, Akibatnya, katanya, pada Pilkada 2015 bahkan ada calon kepala daerah yang menyalin visi misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat Pemilihan Presiden 2014.

Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan, visi, misi, dan program memang syarat untuk ikut pilkada. “Visi, misi, dan program kalau tidak dikumpulkan, tidak memenuhi syarat pendaftaran. KPU kemudian mengunggahnya dalam sistem informasi tahapan pemilu di situs KPU untuk memudahkan masyarakat mengenali calon pemimpinnya,” ujarnya.

Fenomena bahwa visi, misi, dan program hanya formalitas, menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, menunjukkan praktik demokrasi di tingkal lokal yang belum mengarah ke demokrasi yang substansial.

Namun, untuk sejumlah daerah yang masyarakatnya sudah rasional seperti DKI Jakarta, lanjutnya, pemilih sudah menjadikan janji calon sebagai salah satu tolok ukur dalam memilih. Masyarakat seperti ini juga sudah tidak mudah terbuai oleh politik uang.

Yunarto Wijaya dari Charta Politika menuturkan, selama ini misi, visi, dan program memang kurang terlalu mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih. “Untuk masyarakat yang relatif rasional seperti DKI Jakarta, efektivitas program dalam memengaruhi pemilih hanya sekitar 25 persen. Sementara untuk masyarakat yang tingkat pendidikan dan terpaan informasinya tidak setinggi Jakarta, persentase itu jauh lebih kecil,” katanya.

Faktor terbesar penentu kemenangan calon dalam pilkada, kata Yunarto, adalah aspek persepsi emosional pemilih. Di masyarakat yang lebih rasional, aspek itu lebih banyak dibangun oleh rekam jejak kandidat. Sementara di masyarakat yang cenderung tradisional, aspek itu dibangun oleh kepribadian kandidat yang antara lain dilihat dari cara berbicara, bekerja, dan berpakaian. “Pada aspek ini, unsur primordial juga penting,” ujarnya.

Ketika aspek persepsi emosional ini tak ada yang menonjol dalam diri kandidat yang bertarung, lanjut Yunarto, politik uang akan berpengaruh besar.

Terkait hal itu, menurut Yunarto, dibutuhkan terobosan untuk menghadirkan kandidat yang jelas rekam jejak dan kepribadiannya dalam pilkada agar rakyat tak salah pilih. Pendidikan politik kepada rakyat juga perlu diintensifkan. “Ini terutama menjadi tugas partai politik,” katanya. (INA/ILO/RTS/IRE/GER/FLO/WIE/FRN/APA)