Maret 29, 2024
iden

Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara Pemilu Turun, Warning bagi KPU dan Bawaslu

Menurut Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), penyelenggara pemilu tengah menghadapi masalah kepercayaan publik. Setelah beberapa tokoh akademisi dan mantan penyelenggara pemilu mengkritik habis KPU terkait metode verifikasi faktual terhadap partai lama, baru-baru ini terungkap kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Ketua Panitia Pengawas (Panwas) Garut dalam operasi tangkap tangan (OTT).

OTT makin menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja penyelenggara. Lalu di lain kasus, penyelenggara tersandera kepentingan anggota Dewan kita. Karena meskipun sudah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) kewajiban konsultasi itu, tapi itu jadi wajib di balik layar,” tandas Koordinator Nasional JPPR, Sunanto, pada diskusi “Mengukur Kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara dan Peserta Pemilu” di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (8/4).

Ketua Umum Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, yang juga hadir dalam diskusi, mengatakan bahwa kasus OTT tak hanya terjadi di Garut. Penyelenggara pemilu disinyalir terlibat dalam aliran uang OTT pejabat publik di Sulawesi Tenggara, Lampung Tengah, Subang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kendari, dan Sulawesi Selatan.

“Meski tidak terblow up media, tapi kasus-kasus ini disinyalir dalam obrolan dengan Bawaslu.  Dikatakan bahwa ditemukan potensi adanya penyelenggara yang terlibat dalam aliran OTT. Kalau benar terbukti, maka penyelenggara pemilu semakin tertampar,” kata Kaka.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengingatkan agar KPU dan Bawaslu melakukan supervisi secara ketat dan masif. Pasalnya, di Pilkada 2018, banyak potensi pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu.

“Mimika misalnya, Ketua KPU bersaudara dengan salah satu kandidat independen. Nah, seringkali kasus ketidaknetralan terjadi karena ada relasi keluarga/ Ini warning bagi KPU dan Bawaslu,” tegas Veri.