Komisi II DPR menargetkan sejumlah opsi model keserentakan pemilu telah tuntas disusun pada akhir Maret mendatang. Selanjutnya, para pemangku kepentingan akan diberi ruang untuk memberi masukan.
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat akan menyusun sejumlah opsi model keserentakan pemilu dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi dan pengalaman Pemilu 2019. Opsi yang dipilih kelak diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas pemilu.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/3/2020), mengatakan, saat ini draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sedang digodok oleh tenaga ahli Komisi II DPR bersama Badan Keahlian DPR.
RUU itu masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 sehingga ditargetkan sudah bisa dibahas di masa persidangan DPR berikutnya. Untuk diketahui, saat ini DPR sedang memasuki masa reses dan baru kembali bersidang pada 23 Maret 2020.
Belajar dari keserentakan Pemilu 2019 dan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/2), Komisi II akan menyusun sejumlah opsi model keserentakan. Opsi-opsi itu diharapkan selesai dikerjakan pada masa reses DPR.
Selanjutnya, Komisi II akan mengundang para pemangku kepentingan, seperti penyelenggara pemilu dan kalangan pemerhati pemilu. ”Kami akan undang semua sebab kami ingin UU ini sempurna dan ideal. Kalau bisa, UU ini akan tetap, tidak diubah-ubah setiap lima tahun,” katanya.
MK dalam putusannya menyatakan, pemilu lima kotak (presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota, dan DPRD provinsi) bukan satu-satunya model pemilu serentak yang konstitusional. Ada lima model lain yang dapat dipilih pembentuk UU (Kompas, 27/2/2020).
Selain putusan MK yang jadi pertimbangan saat membahas model keserentakan pemilu, Doli menekankan, Komisi II akan belajar dari penyelenggaraan Pemilu 2019. Komisi II, misalnya, tidak ingin kelelahan yang menyebabkan kematian banyak petugas pemilu di Pemilu 2019 terulang kembali.
Pemisahan keserentakan
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, secara pribadi berpendapat, di antara enam model yang diputuskan MK, model pemisahan pemilu serentak tingkat nasional (presiden/wapres, DPR, dan DPD) dan pemilu serentak tingkat lokal (DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/wali kota) merupakan pilihan yang tepat.
”Pemisahan membuat tata kelola menjadi lebih mudah, baik dari sisi penyelenggara pemilu, pemilih, maupun partai politik,” katanya. Pemilih, misalnya, bisa lebih fokus dalam menilai partai atau calon. Adapun partai lebih mudah mengelola perekrutan calon, kampanye, dan strategi pemenangan. Untuk penyelenggara pemilu, pemisahan pemilu bakal membuat beban kerja terbagi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, juga menilai model tersebut paling rasional. Meski demikian, untuk pemilu serentak tingkat lokal, harus dikaji lebih dalam. Dengan banyaknya daerah otonom dan peserta pemilunya, praktik penyelenggaraan pemilu lokal itu bisa lebih berat dan rumit dari Pemilu 2019.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemilu lokal dilaksanakan secara bergelombang. Misalnya, pemilihan gubernur dan anggota DPRD provinsi dipisahkan dengan pemilihan bupati/wali kota dan anggota DPRD kabupaten/kota. (REK/DEA)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/03/02/dpr-susun-sejumlah-opsi-keserentakan/