Komisi Pemilihan Umum mengusulkan tahap pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 dilaksanakan pada Februari atau Maret. Dengan kata lain, dua bulan lebih awal dibandingkan periode sebelumnya yang berlangsung April. Untuk mengantisipasi kompleksitas penyelenggaraan, tahapan pemilihan dimulai lebih dari 20 bulan. Namun, Komisi II DPR meminta penyelenggara pemilu membuat perencanaan lebih rinci dalam bentuk simulasi penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024.
Penyelenggara pemilu bersama Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR akan membentuk tim kerja bersama untuk mematangkan, memantapkan, serta finalisasi konsep dan desain penyelenggaraan.
Dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Senin (15/3/2021), KPU memaparkan simulasi tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Pelaksana Tugas Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, KPU memiliki dua alternatif hari pemungutan suara pemilu serentak 2024, yakni 14 Februari atau 6 Maret. Adapun untuk pemungutan suara Pilkada 2024 tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, yakni pada 13 November 2024.
Pelaksanaan pemungutan suara pemilu yang lebih awal dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni April, karena partai memerlukan waktu yang cukup untuk menyiapkan syarat pencalonan Pilkada 2024. Sebab, hasil dari pemilu legislatif menjadi acuan persyaratan pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik.
Selain itu, pemilihan hari pemungutan suara Pemilu 2024 mempertimbangkan proses administrasi anggaran yang biasanya masih menemui kendala pada Januari-Februari. Kondisi cuaca awal tahun yang menjadi puncak musim hujan dapat mengganggu pengiriman logistik dan pemungutan suara. Pemilihan hari tersebut juga memperhatikan hari libur keagamaan dan nasional yang berpotensi meningkatkan mobilitas pemilih.
”Jika pemungutan suara pemilu pada April, ada kekhawatiran terhadap proses perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. Misalkan ada pemungutan suara ulang dan berakibat pada penundaan penetapan hasil, bisa berimplikasi pada pencalonan Pilkada 2024”
”Jika pemungutan suara pemilu pada April, ada kekhawatiran terhadap proses perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. Misalkan ada pemungutan suara ulang dan berakibat pada penundaan penetapan hasil, bisa berimplikasi pada pencalonan Pilkada 2024,” tutur Ilham.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024, lanjut Ilham, perlu dilakukan tahapan kegiatan pemilu dan pilkada lebih awal atau lebih dari 20 bulan. Jika mengacu pada Pasal 167 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum pemungutan suara. Dengan demikian, tahapan pemilu yang dimulai lebih dari 20 bulan tetap dimungkinkan dan tak melanggar UU.
Tahapan Pemilu 2019 dimulai 20 bulan sebelum pemungutan suara, sedangkan Pilkada 2018 dan Pilkada 2020 dimulai 12 bulan sebelum pemungutan suara. Pada Pemilu 2019, sebanyak 722 penyelenggara meninggal dan 798 penyelenggara sakit.
Berdasarkan dokumen simulasi tahapan pemilu dan pemilihan dengan alternatif pemungutan suara Maret 2024 yang dikirim anggota KPU, Hasyim Asy’ari, tahapan dimulai pada September 2021. KPU akan melakukan percepatan persiapan yang meliputi tahapan perencanaan program dan anggaran, serta penyusunan peraturan KPU dan sosialisasi sejak September 2021 atau 10 bulan sebelum jadwal tahapan awal Juli 2022. Tahap pendaftaran dan verifikasi parpol peserta pemilu juga dimulai pada Oktober 2021. Dengan demikian, tahapan pemilu akan dimulai 30 bulan sebelum pemungutan suara.
Adapun tahapan Pilkada 2024 akan dimulai November 2023 atau 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Tahapan Pemilu dan Pilkada 2024 yang akan beririsan adalah pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih serta masa kerja Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara.
”Tahun 2021, KPU akan memutakhirkan data pemilih berkelanjutan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota,” ucap Ilham.
KPU juga menilai perlu ada dasar peraturan berupa undang-undang atau peraturan KPU (PKPU) sebagai payung hukum aplikasi berbasis teknologi. Penggunaan teknologi melalui aplikasi Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap), Sistem Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Logistik (Silog), Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Data Pemilihan (Sidapil), dan Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam).
Untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada 2024, lanjut Ilham, diperkirakan perlu anggaran sekitar Rp 86 triliun untuk pemilu yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Rp 26 triliun untuk pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Anggaran tersebut dicairkan bertahap mulai 2021 hingga 2025.
“Perlu sinkronisasi PKPU dan peraturan Bawaslu pada setiap tahapan. Komunikasi yang intensif harus dilakukan antara penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan agar kualitas pengawasan meningkat”
Sinkronisasi
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, perlu sinkronisasi PKPU dan peraturan Bawaslu pada setiap tahapan. Komunikasi yang intensif harus dilakukan antara penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan agar kualitas pengawasan meningkat. ”Sebab biasanya permasalahan pemilu terjadi di tingkat tempat pemungutan suara serta tahapan-tahapan di desa dan kecamatan,” kata Abhan.
Ketua DKPP Muhammad menambahkan, jika tata kelola pemilu dipersiapkan dan diimplementasikan dengan baik, potensi pelanggaran kode etik akan turun signifikan. Hal ini terlihat pada dugaan pelanggaran kode etik sepanjang Januari-Maret 2021 yang sebagian besar putusannya rehabilitasi, bukan sanksi.
”Sebagian besar penyelenggara bisa menjaga integritas karena banyak yang direhabilitasi dibandingkan dengan dijatuhi sanksi,” ujarnya.
Meski mendengar paparan simulasi dari KPU, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, DPR meminta penyelenggara pemilu membuat rencana lebih rinci dalam bentuk simulasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024.
Hal-hal yang perlu dirinci, antara lain, tahapan dan waktu Pemilu dan Pilkada 2024, anggaran, sinkronisasi daftar pemilih tetap, serta koordinasi, konsolidasi, dan komunikasi antarpihak. DPR juga meminta penjelasan dasar hukum terkait penggunaan teknologi informasi dan digitalisasi tahapan Pemilu dan Pilkada 2024.
”Untuk mematangkan, memantapkan, serta finalisasi konsep dan desain penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024, Komisi II DPR bersama Kemendagri dan penyelenggara pemilu membentuk tim kerja bersama,” ujar Doli.
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengingatkan, masalah DPT sangat penting karena terus menjadi sumber masalah dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Oleh sebab itu, KPU dan Bawaslu harus bersinergi dengan Kemendagri dalam menyusun DPT. Pemerintah daerah perlu dimintai pertanggungjawaban untuk menyukseskan pergelaran Pemilu dan Pilkada 2024.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim mengatakan, Mendagri perlu memastikan dasar hukum berupa UU Pemilu dan UU Pilkada tidak akan direvisi. Sebab, jika tahapan sudah dimulai dan di tengah jalan ada revisi, hal itu bisa mengganggu persiapan yang dilakukan sejak lama.
Pertaruhan Kemendagri
”Harus mulai dipersiapkan dari sekarang penjabat yang akan duduk sebagai penjabat gubernur dan bupati/wali kota. Bahkan, penting juga untuk diberikan pelatihan-pelatihan secara bergilir kepada mereka sebelum turun ke lapangan memimpin daerah”
Terkait ekses dari pilkada serentak secara nasional pada 2024 yang membuat 272 daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah seperti diberitakan Kompas (15/3/2021), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Satya Arinanto meminta pemerintah fokus menyiapkan para calon penjabat agar dapat memimpin daerah dengan baik hingga kepala/wakil kepala daerah definitif terpilih melalui Pilkada 2024.
”Harus mulai dipersiapkan dari sekarang penjabat yang akan duduk sebagai penjabat gubernur dan bupati/wali kota. Bahkan, penting juga untuk diberikan pelatihan-pelatihan secara bergilir kepada mereka sebelum turun ke lapangan memimpin daerah,” tutur Satya.
Saat rapat dengan Komisi II DPR, Senin, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan, pejabat pimpinan tinggi madya yang akan mengisi posisi penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mengisi posisi penjabat bupati/wali kota harus netral dan tidak berpihak. Mereka yang dipilih juga harus dipastikan tidak memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah. (SYA, REK, BOW, DEA)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 March 2021 di halaman 2 dengan judul “Perinci Simulasi Pemilu dan Pilkada” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/16/perinci-simulasi-penyelenggaraan-pemilu-dan-pilkada-serentak-2024/