December 9, 2024

60,65% Lebih Petahana Menangkan Pilkada 2017

Ada 37 petahana kepala daerah yang memenangkan Pilkada 2017 dari total 61 daerah berpetahana kepala daerah (Infopilkada.kpu.go.id per 23/2). Angka 60,65% ini akan bertambah karena empat daerah berpetahana kepala daerah hasil suaranya belum masuk. Kewenangan petahana menyetujui jumlah anggaran pilkada yang diajukan penyelenggara pilkada menguatkan dominasinya sebagai peserta. Puncak dominasi petahana tampak di 9 daerah bercalon tunggal dan kemenangannya.

Jika dihitung secara pasangan calon, 37 petahana kepala daerah terpilih 16 (43,24%) di antaranya berpasangan dengan wakilnya (tetap kongsi). Ada 13 (35,13%) petahana kepala daerah terpilh tanpa berpasangan lagi dengan wakilnya, dan tak saling bertarung. Sedangkan, petahana kepala daerah yang pecah kongsi dengan wakilnya hanya 7 (18,9%) pasangan.

Petahana atau inkumben (incumbent) adalah pejabat publik berkewenangan. Tesaurus Bahasa Indonesia menuliskan kata “tahana” merupakan kata benda (nomina) yang bersinonim (sin) dengan kedudukan, martabat, persemayaman, prestise, takhta. Petahana bisa diartikan orang yang mempunyai nomina dari “tahana”, berkedudukan, bermartabat, berpersemayaman, berprestise, atau bertakhta.

Petahana sering diartikan kepala daerah yang mencalonkan di pilkada. Merujuk pengertian Tesaurus itu, petahana tak hanya kepala daerah yang mencalonkan saja. Wakil kepada daerah seperti wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota tanpa konteks pemilu pun merupakan petahana.

Berdasar pengertian petahana, pencalonan dan keterpilhan petahana menjadi kompleks. Ada 25 petahana wakil kepala daerah yang memenangkan Pilkada 2017. 16 (64%) di antaranya menang berkongsi dengan petahana kepala daerah. Hanya 3 (12%) petahana wakil kepala daerah pecah kongsi bisa menang melawan petahana kepala daerah. Sisanya, 6 (24%) petahana wakil kepala daerah mencalonkan lagi sebagai wakil kepala daerah dan menang tanpa berpasangan dan tanpa melawan petahana kepala daerah.

100%/lebih penyetujui anggaran

Ada banyak sebab keterpilihan petahana kepala daerah masih dominan. Pemilih sebagai rakyat yang daerahnya dipimpin petahana sangat mungkin merasa puas sehingga ingin melanjutkan kepeminpinan petahana melalui pilihan di pilkada. Bisa juga, pemilih tak puas dengan petahana tapi karena para calon lain dinilai tak lebih baik, petahana kembali mendapat suara terbanyak.

Tapi ada aspek yang memang makin menguatkan dominasi petahana yang mencalonkan lagi di pilkada, yaitu anggaran. Sekretariat Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Soetjipto menjelaskan, besaran anggaran pilkada yang diajukan KPU provinsi, kabupaten, atau kota disetujui kepala daerah yang bisa mencalonkan lagi di pilkada. Petahana calon akan merasa berposisi sebagai pemberi anggaran yang bisa mempersulit atau memperlancar kerja penyelenggara. KPU daerah penyelenggara akan merasa berposisi sebagai penerima.

“Di sini KPU di daerah bisa tersandera kemandiriannya sebagai penyelenggara pilkada. Penting untuk mengubah sumber anggaran pilkada dari APBD menjadi APBN,” tegas Yenny.

Keadaan relasi tak setara dari dominasi petahana terjadi pula dalam aspek kontestasi. Kewenangan anggaran oleh petahana yang bisa mencalonkan makin menciptakan relasi tak setara antara petahana calon dengan calon lainnya. Keadaan ini bertentangan dengan cita kesetaraan kontestasi pilkada melalui fasilitasi kampanye oleh KPU dan pembatasan anggaran kampanye para calon.

Dari para petahana kepala daerah calon, ada kecenderungan memperlancar anggaran pilkada. Bentuknya bisa memenuhi 100% anggaran pilkada yang diajukan KPU provinsi, kabupaten, atau kota. Bentuknya bisa juga melebihkan anggaran pilkada yang diajukan KPU daerah sebagai penyelenggara.

Daerah Pilkada Serentak 2017 yang Petahana Kepala Daerah Mencalonkan dan Menyetujui Anggaran Pilkada 100% atau Lebih

No Nama Daerah Pilkada Daftar Pemilih Tetap (DPT) Anggaran Pengajuan (Rp dalam M) Anggaran Realisasi (Rp dalam M) Selesih

(Rp dalam M)

% Disetujui Petahana Biaya/ Pemilih

Rp

Menang /Kalah
1 Buol, Sulteng 95,753 20,8 29,6 8,8 142.26 309,626 Menang
2 Jayapura, Papua 132,094 30 38,3 8,3 127.85 290,354 Menang
3 Kota Ambon, Maluku 237,627 24,4 26,4 2,0 108.23 111,330 Menang
4 Nduga, Papua 94,071 59,8 61,8 1,9 103.29 657,450 Belum
5 Mappi, Papua 69,809 63,8 63,8 0 100 914,954 Belum
6 Intan Jaya, Papua 79,337 66,8 66,8 0 100 842,040 Belum
7 Muna Barat, Sultra 51,495 22,4 22,4 0 100 436,703 Menang
8 Buton, Sultra 71,527 24,6 24,6 0 100 344,506 Menang
9 Puncak Jaya, Papua 179,144 59,9 59,9 0 100 334,919 Belum
10 Buru, Maluku 94,688 19 19 0 100 200,659 Menang
11 Bolaang Mongondow, Sulut 167,551 25,3 25,3 0 100 151,479 Menang
12 Kota Cimahi, Jabar 375,722 34,5 34,5 0 100 91,886 Kalah
13 Tulang Bawang Barat, Lampung 197,263 15 15 0 100 76,041 Menang
14 Buleleng, Bali 583,3  81 40,2 40,2 0 100 68,953 Menang
15 Provinsi DKI Jakarta 7,108,589 478,3 478,3 0 100 67,295 Menang
16 Kota Yogyakarta, DIY 298,989 14,9 14,9 0 100 49,893 Menang
17 Kulon Progo, DIY 332,211 14,3 14,3 0 100 43,130 Menang
18 Bekasi, Jabar 1,974,831 72,1 72,1 0 100 36,537 Menang
19 Pati, Jateng 1,034,256 29,7 29,7 0 100 28,809 Menang

Hasil suara Pilkada 2017 yang sudah masuk infopilkada.kpu.go.id menginfokan, hanya ada satu daerah yang petahana kepala daerah calon yang menyetujui anggaran pilkada KPU 100% tapi kalah. Kasus korupsi Walikota Cimahi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat mungkin menjadi penyebat kegagalan petahana kepala daerah di Pilkada 2017.

Ada empat pilkada yang hasil suaranya belum masuk infopilkada.go.id. Semua merupakan kabupaten di Provinsi Papua. Nduga, Mappi, Intan Jaya, dan Puncak Jaya semuanya terdapat petahana kepala daerah yang mencalonkan. Merujuk pengalaman penyelenggaraan pilkada di empat daerah ini, petahana kepala daerah yang mencalonkan lagi sangat mungkin memenangkan pilkada.

Penyajian data dalam tabel itu bukan maksud menyimpulkan, kewenangan anggaran mempengaruhi kemenangan petahana yang mencalonkan lagi di pilkada. Data bermaksud memberikan gambaran, aspek kewenangan anggaran petahana kepala daerah dalam menentukan anggaran pilkada berpotensi mengintervensi prinsip “free and fair”. Kesetaraan sebagai bagian nilai dari kebebasan jelas terganggu dengan salah satu konstestan yang berwenang menentukan anggaran kompetisi.

Dominasi calon tunggal

Wujud dominasi terkuat petahana kepala daerah di Pilkada 2017 adalah hadir dan terpilihnya calon tunggal. Di Pilkada 2017 terdapat 9 daerah bercalon tunggal. Semuanya dimenangkan calon tunggal yang merupakan petahana kepala daerah atau petahana wakil kepala daerah.

Dominasi Petahana Kepala Daerah di Pilkada Calon Tunggal 2017

Pilkada Pasangan Calon Pekerjaan Cakada Pekerjaan Cawakil Kursi Koalisi Kursi DPRD % Koalisi % Suara
Kota Tebing Tinggi, Sumut Umar Zunaidi Hasibuan-Oki Doni Siregar; Kepala daerah Wakada 19 25 76 71,39
Tulang Bawang Barat, Lampung Umar Ahmad-Fauzi Hasan Kepala daerah Wakada 30 30 100 96,75
Landak, Kalimantan Barat Karolin Marget Natasa-Herculanus Heriadi; DPR Wakada 32 35 91.43 96,62
Pati, Jawa Tengah Haryanto-Saiful Arifin Kepala daerah Swasta 46 50 92 74,52
Buton, Sulawesi Tenggara Samsu Umar Abdul Saimun-La Bakry Kepala daerah Wakada 20 25 80 55,08
Maluku Tengah, Maluku Tuasikal Abua-Marlatu Leleury Kepala daerah Wakada 34 40 85 70.78
Kota Sorong, Papua Barat Lambert Jitmau-Pahima Iskandar Kepala daerah Wakada 27 30 90 79,73
Tambrauw, Papua Barat Gabriel Asem-Mesak Metusala Yekwan Kepala daerah PNS 19 20 95 Belum
Kota Jayapura, Papua Benhur Tommy Mano-Rustan Saru DPRD Prov Wakada 29 40 72.5 84,81

Bisa dibilang, semua pilkada bercalon tunggal merupakan daerah yang kuat didominasi petahana kepala daerah. Tujuh dari sembilan pilkada bercalon tunggal, kepala daerah terpilihnya merupakan petahana kepala daerah periode sebelumnya. Petahana di Landak dan di Kota Jayapura hanya wakil kepala daerah karena kepala daerahnya tak bisa mencalonkan lagi.

Pada dasarnya, sistem pemilu satu putaran (pluralitas) yang pertama kali diterapkan di Pilkada 2015 dan dilanjutkan di Pilkada 2017 lalu 2018 (kecuali Pilkada DKI) telah menguatkan dominasi petahana sebagai calon dan makin memperbesar peluang keterpilihan. Kontestasi pilkada menjadi jauh lebih ketat sehingga calon yang punya ragam modal finansial dan popular lebih diuntungkan. Petahana kepala daerah pun bermodal dikenal warga karena selama 5 tahun berkuasa memimpin daerah.

Di luar jalur perseorangan yang makin diperberat persyaratannya, pencalonan kepala daerah di jalur partai pun mendorong petahana kepala daerah yang mencalonkan lagi tak mendapat banyak lawan. UU No.10/2016 tentang Pilkada mengatur syarat pencalonan kepala daerah jalur partai menyertakan syarat minimal kepemilikan kursi DPRD atau perolehan suara partai atau koalisi partai pengusung. Pasal 40 bertuliskan, 20 persen kursi DPRD atau 25 persen raihan suara pemilu legislatif terakhir.

Deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunisa Nur Agustyati berpendapat, berdasar desain keserentakan yang ingin dibangun dalam perbaikan pemilu, dukungan jumlah kursi parlemen tak relevan sebagai syarat pencalonan kepala daerah. Selain menjadi sandera parlemen di konteks pemilihan kepala eksekutif secara langsung, syarat kursi parlemen pun sudah berbeda konteks waktu pemilu.

“Tanpa syarat kursi parlemen, bukan berarti nantinya pemilu eksekutif akan dibanjiri banyak calon. Partai akan menimbang-nimbang kemenangan, dan tak akan asal mengusulkan. Malah, rakyat sebagai pemilh terpenuhi kebutuhannya mendapat tawaran banyak calon pemimpin yang tinggi kualitas. Tak akan ada calon tunggal lagi,” jelas Ninis (17/2).

Pentingnya membahas keterpilihan petahana kepala daerah adalah untuk perbaikan pilkada berikutnya. Evaluasi keterpilihan petahana kepala daerah bukan mempermasalahkan hasil keterpilhannya. Menjelaskannya pun bukan untuk menggalang gerakan antipetahana lalu menyarankan pilihan ke kontestan lain atau kolom kosong.

Setelah Pilkada Serentak 2017, pesta demokrasi lokal berlanjut ke Pilkada Serentak 2018. Ada 172 daerah, 17 di antaranya pilkada provinsi, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagia tiga provinsi terbanyak penduduk di Indonesia. Dibutuhkan perubahan mendasar untuk perbaikan besar demokrasi lokal melalui revisi UU Pilkada. []

USEP HASAN SADIKIN