August 10, 2024

Orang dengan Gangguan Jiwa, Hak Pilih, dan Stigma yang Mengancam

Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) melakukan audiensi ke kantor Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) terkait hak pilih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Dalam audiensi, PSJ meminta agar PDSKJI mengeluarkan surat edaran kepada seluruh cabang PDSKJI di Indonesia yang memerintahkan agar dokter psikiater memahami dan membela hak pilih ODGJ.

“Kami harap, PDSKJI membuat surat ke anggotanya untuk mendukung hak pilih ODGJl. Harapannya, dengan surat itu, bisa mengklarifikasi posisi yang seharusnya bisa diambil oleh para psikiater,” kata Ketua PSJ, Yeni Rosa Damayanti, di kantor PDSKJI di Cikini, Jakarta Pusat (22/3).

Sebelumnya, Yeni menuturkan bahwa baik psikiater maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, tak boleh mengesampingkan hak pilih seseorang hanya karena yang bersangkutan memiliki disabilitas mental berupa gangguan jiwa. Tak ada resiko atau bahaya apapun jika seluruh disabilitas mental terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

“Kami tidak melihat ada bahaya apapun, jika ODGJ yang parah sekalipun memilih. Beda dengan orang yang pegang senjata. Di pemilu, gak ada salah pilih. Misal saya pilih Prabowo, gak mungkin kan orang yang dukung Jokowi mengatakan saya salah pilih? Mencabut hak dengan tidak ada resiko sama sekali itu mesti dihindari,” tandas Yeni.

Yeni menjelaskan, pada Pilkada 2017, yakni di Pilkada DKI Jakarta putaran satu dan dua, disabilitas mental di Panti Laras tak bisa memilih. Ketidakpahaman Direktur Panti Laras terhadap kondisi ilmiah disabilitas mental dan pentingnya hak pilih bagi mereka menjadi penyebab hilangnya hak pilih. KPU DKI Jakarta pun tak aktif memberikan sosialisasi mengenai hak pilih kepada tempat-tempat rehabilitasi disabilitas mental.

“Di putaran pertama mereka (disabilitas mental di Panti Laras) Direktur Panti laras kita laporkan dengan alasan dia menghalangi hak seseorang untuk memilih. Dia dipanggil Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan di situ dijelaskan. Nah di putaran kedua, tahunya si Direktur menghubungi Rumah Sakit Duren Sawit. Lima psikiater datang ke Panti, dan dalam hitungan hari, mereka menyatakan kalau hampir 200 orang tidak bisa memilih,” kisah Yeni.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penjelasan medis

Dalam putusan terhadap uji materi yang diajukan oleh PJS dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), MK menyatakan bahwa semua disabilitas dapat memilih kecuali disabilitas mental yang berdasarkan surat dokter, tak mampu memberikan hak pilih. Putusan ini mengartikan, semua disabilitas mental berhak untuk terdaftar di DPT. Persoalan seorang warga negara dengan disabilitas mental tak dapat memilih pada hari pemungutan suara, harus dibuktikan dengan pemeriksaan medis.

“Jadi MK ini kasih klausul bahwa yang harus dibuktikan adalah ketidakmampuan untuk memilih, bukan kemampuan untuk memilih. Selama tidak ada surat psikiater, semua disabilitas mental bisa memilih. Ini yang harus dijadikan pegangan oleh KPU,” tegas Yeni.

Dokter profesional spesialis kesehatan jiwa pada PDSKJI, Danardi, menerangkan, gangguan jiwa adalah suatu kondisi dinamis. Tak semua ODGJ mengalami gangguan jiwa permanen dan terdapat tingkat keparahan gangguan. Oleh karena itu, berkaitan dengan hak pilih, pemeriksaan untuk menentukan ODGJ tak dapat memilih pada hari pemungutan suara tak dapat dilakukan beberapa bulan atau beberapa minggu sebelum pemungutan suara.

Dengan kata lain, surat dokter yang menyatakan ODGJ tak dapat memilih harus dapat membuktikan bahwa pada hari pemungutan suara, yang bersangkutan tak dapat memilih karena kondisi kejiwaan yang tak memungkinkan.

ODGJ itu dinamis. Sama seperti orang kena hipertensi, diabetes, atau sakit jantung. Tingkatnya pun dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Jadi, yang kita periksa adalah keadaan hari ini, bukan prediksi beberapa waktu ke depan, yang belum tentu dia akan mengalami gangguan. Makanya, kalau hari ini dia cakap mental, cakap hukum, ya milih!” ucap Danardi.

Pengalaman ODGJ dan kepentingan ODGJ atas pemilu dan pilkada

Jefri, salah satu aktivis PJS, menceritakan pengalaman yang menggugah. Jefri merupakan penderita bronkitis yang pada saat audiensi PJS kepada PDSKJI bisa berbicara. Jefri dimasukkan ke panti oleh keluarganya selama dua tahun. Jefri, yang merasa tak mengalami gangguan jiwa dan sadar secara penuh akhirnya dapat keluar dari “penjara” panti yang hanya memperbolehkannya keluar pada pagi dan sore hari dengan bantuan adik kandungnya.

“Penyakit saya ini hanya gak boleh kurang tidur. Kalau kurang, memang bisa jadi masalah. Tapi saya ini sadar gitu. Saya justru merasa terpenjara di panti untuk waktu yang saya tidak tahu berapa lama. Lebih-lebih dari kriminal yang dipenjara, lalu diputuskan oleh pengadilan untuk tempo kurungan yang jelas berapa lama,” tutur Jefri.

Jefri menggugah, setiap pihak mesti memandang ODGJ sebagai agensi yang dapat menentukan pilihannya sendiri. Kesanggupan ODGJ untuk memilih harusnya ditanyakan kepada yang bersangkutan, bukan psikiater sebagai agensi di luar eksistensi dirinya sebagai warga negara yang memiliki kedudukan hukum yang sama.

“Mestinya ditanya orangnya, sanggup gak milih. Bukannya melibatkan dokter untuk menentukan dia bisa memilih atau tidak. Dan psikiater mestinya tidak melakukan judgement bahwa kami tidak memilih. Dia mestinya mengadvokasi,” tegas Jefri.

ODGJ, kata Jefri, mengalami tak hanya diskriminasi, melainkan terhalang untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik karena stigma “gila permanen” yang dilekatkan kepadanya oleh masyarakat. ODGJ sulit mendapat pekerjaan karena adanya syarat sehat rohani. Ketidakpahaman masyarakat dan absennya advokasi psikiater terhadap ODGJ menambah derita ODGJ.

“Apa arti pemilu dan pilkada buat ODGJ? Makanya, kami meyakini, hak pilih bagi ODGJ adalah hal paling dasar untuk menghentikan stigma buruk yang melekat, agar ODGJ bisa bersuara dan menentukan nasib,” kata Jefri.

PDSKJI menerima saran PJS untuk membuat surat edaran. Segera, kata Eka, panduan dan surat edaran akan dikerjakan. PDSKJI menghimbau kepada masyarakat untuk meninggalkan stigma buruk terhadap ODGJ. ODGJ dapat sembuh, dan ODGJ yang telah sembuh harus mendeklarasikan dirinya bahwa ia telah sembuh.

“Memang ada stigma yang begitu kencang dari masyarakat terhadap ODGJ. Apalagi kalau orang yang terganggu jiwanya pernah melakukan kekerasan. Dan sekarang, ada politisasi orang gangguan jiwa mengincar ulama. Nah, ini tugas kita bersama untuk memperlakukan mereka dengan benar dan adil,” tutup Eka.