September 13, 2024

Menyelamatkan Hak Pilih Warga

Di sepanjang jalan menuju Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, terdapat tiga baliho besar. Isinya, mengingatkan warga untuk segera melakukan perekaman data kartu tanda penduduk elektronik sebelum pencoblosan dilakukan pada 27 Juni mendatang. Dalam baliho tersebut disebutkan, kepemilikan KTP elektronik menjadi jaminan warga bisa memilih saat pilkada berlangsung.

Baliho serupa dapat ditemui di Nusa Tenggara Timur. Dalam perjalanan menuju Desa Oinlasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, baliho berisi pesan segera mengurus KTP elektronik tersebut ada di kabupaten yang dilewati, antara lain Kabupaten Kupang hingga Kota Kupang. Rupanya banyak warga di wilayah tersebut belum melakukan perekaman data.

Yeri Liu, warga dari Oinlasi, menceritakan sulitnya mengurus KTP elektronik di daerahnya. Dari alasan blangko yang habis hingga alat perekaman data dan pencetakan kartu yang rusak. Mau tidak mau, mereka hanya mengantongi surat keterangan kependudukan.

Akibatnya, mereka harus aktif untuk memeriksa keberadaan namanya dalam daftar pemilih agar haknya tidak hilang.

”Ada yang tidak tercantum di daftar pemilih sementara karena e-KTP belum punya. Tetapi, coba diurus saja dulu
dan dilihat terus masuk atau tidak karena pemilihan ini untuk bupati juga gubernur,” ujar Yeri Liu.

Berdasarkan data rekapitulasi perekaman KTP elektronik di NTT per 26 Februari 2018, dari jumlah penduduk NTT yang mencapai 5.359.667 orang, penduduk yang wajib memiliki KTP elektronik 3.901.728 orang. Dari jumlah itu, yang belum melakukan perekaman KTP elektronik masih ada 968.643 orang. KPU NTT sejauh ini sudah melakukan sosialisasi bersama pemerintah agar warga segera mengurus KTP elektronik.

Sementara itu, di NTB, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat 408.489 orang yang belum mempunyai KTP elektronik.

Jutaan warga

Ini merupakan masalah yang tidak hanya dijumpai di NTT, tetapi juga di beberapa daerah. Mengacu pada data rekapitulasi daftar pemilih sementara (DPS) Pilkada 2018 per 20 Maret 2018, masih ada 6.768.025 pemilih pada Pilkada 2018 yang belum memiliki KTP elektronik atau surat keterangan pengganti KTP elektronik dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat.

Sementara berdasarkan penyisiran terakhir oleh Kementerian Dalam Negeri, ada 4,6 juta penduduk yang belum melakukan perekaman KTP elektronik. Sebanyak 2,1 juta penduduk yang tercatat dalam daftar rekap DPS itu adalah pemilih pemula yang akan berusia 17 tahun sejak ditetapkannya data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) sampai pada hari pemungutan suara.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, diperlukan koordinasi di antara semua pemangku kebijakan, baik di pusat maupun daerah, untuk mengambil solusi konkret. Wilayah yang warganya belum melakukan perekaman KTP elektronik sudah terdeteksi, tetapi belum ada langkah untuk mengatasi masalah infrastruktur di sejumlah daerah tersebut.

Pemerintah beberapa kali menitikberatkan pada perlunya sosialisasi agar warga segera mengurus KTP elektronik. Akan tetapi, masalahnya tidak hanya itu. Sebab, menurut Titi, kesadaran warga sebenarnya sudah ada, tetapi terkendala persoalan teknis.

”Ada disparitas informasi antara pusat dan daerah. Pembuat kebijakan di pusat yakin semua sudah terdistribusi dengan baik, tetapi kenyataannya di lapangan masih ada kendala teknis, seperti mesin yang rusak, blangko yang kurang, dan lain-lain,” kata Titi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pihaknya telah membentuk tim- tim kecil di daerah untuk menelusuri calon pemilih yang belum merekam data kependudukan. Sebagian besar calon pemilih itu adalah pemilih pemula. Untuk itu, fokus utama tim dukcapil di daerah nantinya adalah sekolah menengah atas.

Zudan yakin bahwa hak pilih mereka tidak akan hilang karena semuanya sudah masuk dalam DP4. ”Hak pilihnya sudah kami akomodasi dalam DP4,” katanya.

Kendala teknis

Kendala kekurangan blangko, kerusakan alat, dan kesulitan perekaman tidak bisa dilepaskan dari perkara pengadaan KTP elektronik yang menyeret mantan Ketua DPR Setya Novanto. Terkait dengan blangko, tahapan awal konsorsium PNRI yang semestinya mampu menyediakan 172.000 blangko KTP elektronik yang terpersonalisasi dan siap didistribusi hanya memenuhi 122.000. Selanjutnya, pengadaan bahan dasar KTP elektronik ini sempat keteteran meski Kementerian Dalam Negeri kini mengatakan telah mengatasinya.

Mengenai perekaman data dan pencetakan kartu, ahli bidang komputer dan jaringan dari Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbuddin, mengatakan, persoalan perekaman yang dilakukan tumpang tindih sebab pengadaannya pun tidak efisien. Pengadaan alat perekaman sidik jari dan retina dilakukan dan digunakan bersamaan. Padahal, keperluan perekaman retina sebenarnya hanya merupakan pelengkap bagi warga yang tidak memiliki sidik jari.

Akibatnya, seseorang saat sidik jarinya bisa terekam tidak bisa melanjutkan proses KTP elektronik karena alat pemindai retina rusak. Padahal, semestinya tidak demikian.

Begitu pula dengan persoalan pencetakan kartu. Dalam pengadaan yang disepakati dimenangi konsorsium PNRI tersebut, kartu KTP elektronik hanya bisa dicetak dengan mesin tertentu. Ini berdampak saat mesin itu rusak.

Kendala-kendala teknis di atas perlu dicarikan solusi. Hal itu penting demi terlindunginya hak pilih sekitar 4,6 juta penduduk Indonesia. (AGE/IAN)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2018 di halaman 2 dengan judul “Menyelamatkan Hak Pilih Warga”. https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/03/26/menyelamatkan-hak-pilih-warga/