August 9, 2024
Print

Perludem, Wacana Pengembalian Pemilihan Kepala Daerah ke DPRD adalah Langkah Mundur

Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) muncul kembali. Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, mengatakan bahwa pilkada langsung berbiaya tinggi dan menyebabkan perilaku koruptif. Wacana ini didukung oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan.

Menanggapi hal tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan penolakan. Menurut Perludem, biaya tinggi Pilkada disebabkan oleh perilaku calon kepala daerah untuk hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang (UU) Pilkada. Salah satunya, biaya mahar pencalonan kepada partai politik.

“Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penyerahan uang kepada partai adalah sesuatu realitas yang tak bisa dibantah di dalam pencalonan kepala daerah. Padahal, perilaku ini sudah diberikan sanksi di UU Pilkada,” kata Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, sebagaimana tertulis di dalam siaran pers (11/4).

Selain itu, biaya mahal pilkada juga disebabkan oleh perilaku calon kepala daerah yang tak percaya diri jika tak memberikan suap atau politik uang kepada pemilih. Fakta di Sulawesi Tenggara (Sultra), petahana Gubernur Sultra tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama uang tunai senilai 2,7 miliar rupiah dengan pecahan 50 ribu rupiah. Uang ini diduga akan dibagikan kepada pemilih pada kampanye Pilkada.

“Diduga kuat akan dipergunakan untuk dibagi-bagikan kepada pemilih ketika kampanye pilkada. Padahal, praktik politik uang adalah sesuatu yang dilarang. Ancaman sanksinya pun tidak main-main, bisa didiskualifikasi sebagai calon kepala daerah,” ujar Fadli.

Perilaku buruk partai politik dan calon kepala daerah tak semestinya mengganti proses penerjemahan daulat rakyat melalui mekanisme pilkada. Pilkada oleh DPRD bukanlah solusi tepat untuk masalah yang dikeluhkan. Wacana ini telah selesai pada 2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Peraturan Perundang-Undangan (Perppu) No.1/2014.

Perludem menyarankan agar DPR dan Pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap persoalan yang muncul selama tiga kali pelaksanaan pilkada langsung. Tiga hal bisa dilakukan. Satu, membangun norma hukum di dalam UU Pilkada untuk menjatuhkan sanksi bagi partai politik atau calon kepala daerah yang terlibat mahar politik.

“Jadi, norma ini, tidak lagi dilakukan ketika pemberian uang selesai dilakukan. Tetapi, bagi partai politik, jika sudah ada permintaan uang kepada partai politik terkait pencalonan, sanksi tegas sudah bisa dijatuhkan. Begitu juga bagi bagi calon kepala daerah. Jika ada janji yang akan diberikan kepada partai politik, sanksi tegas juga sudah bisa dijatuhkan,” jelas Fadli.

Dua, mengatur batasan belanja kampanye. Aturan ini akan melengkapi ketentuan pembatasan sumbangan di  UU Pilkada sebelumnya.

Tiga, menguatkan aparatur penegakan hukum pemilu agar lebih tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran kampanye. Pelaporan dana kampanye yang tak jujur dan politik uang mesti menjadi perhatian utama.