August 8, 2024

Pemilih Dinilai Makin Kritis Memilih Pemimpin

JAKARTA, KOMPAS — Fenomena kemenangan pasangan calon dari kalangan teknokrat dan kotak kosong di sejumlah daerah dalam hitung cepat pemilihan kepala daerah menunjukkan masyarakat kini sudah semakin kritis dalam memilih pemimpin. Pemilihan kepala daerah tidak lagi berbasis pada kekerabatan atau dinasti politik, tetapi pada kualitas figur pemimpin yang diyakini bisa membawa perubahan ke arah lebih baik.

Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte mengatakan, kesadaran memilih figur pemimpin yang berkualitas sudah menjadi tolok ukur bagi masyarakat di sejumlah daerah. Bahkan, apabila di suatu daerah tidak ada pemimpin yang dinilai ideal, masyarakat berani secara tegas memilih kotak kosong.

”Itu memperlihatkan ada era baru di mana masyarakat mulai melihat pemilihan kepala daerah sebagai harapan baru terhadap orang-orang yang punya kemampuan untuk memberikan servis sosial publik, mendorong transparansi, dan keterbukaan,” ujar Philips dalam diskusi ”Membaca Hasil Pilkada” di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (30/6/2018).

Diskusi tersebut juga dihadiri Direktur Riset Populi Center Usep S Ahyar, peneliti dari Penelitian dan Pengembangan Kompas Yohan Wahyu, dan Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun.

Salah satu fenomena yang menarik ditinjau, menurut Philips, adalah di Pilkada Sulawesi Selatan. Kemenangan pasangan calon Nurdin Abdullah-Andi Sulaiman dinilai telah berhasil mengeluarkan masyarakat Sulawesi Selatan dari dinasti politik yang telah mengakar di daerah itu.

Adapun menurut hasil hitung cepat versi LSI, pasangan calon Nurdin Abdullah-Andi Sulaiman meraih suara paling tinggi, yakni 42,92 persen. Raihan suara itu lebih tinggi dibandingkan pasangan Nurdin Halid-Aziz Qahhar Mudzakkar (26,61 persen), Agus Arifin Nu’mang-Tanribali Lamo (10,28 persen), dan Ichsan Yasin Limpo-Andi Mudzakkar (20,18 persen).

”Kan yang dihadapi keluarga-keluarga elite Makassar, seperti Yasin Limpo, Mudzakkar, dan Nurdin Halid. Kemenangan Nurdin Abdullah memperlihatkan politik berbasis keluarga dan kekerabatan paling tidak hari ini di Sulawesi Selatan mulai terkikis,” kata Philips.

Selain itu, fenomena lain yang muncul adalah kemenangan kotak suara yang kosong, seperti di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Ubedilah menuturkan, kemenangan kotak kosong menandakan pemilih di kota tersebut merupakan pemilih rasional karena merasa kandidat tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

”Kota Makassar itu kota yang tingkat pendidikannya tinggi, mengapa kemudian justru kotak kosong yang menang. Itu artinya mereka pemilih rasional. Mereka mengkritik sangat keras terhadap partai politik,” ujar Ubedilah.

Berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Makassar, persentase kotak kosong unggul 53,17 persen atau perolehannya sebanyak 178.933 suara. Suara itu mengalahkan pasangan calon Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi yang meraih 46,83 persen atau sebanyak 157.572 suara.

Sementara itu, menurut Usep S Ahyar, fenomena kotak kosong melawan satu pasangan calon itu seharusnya menjadi bahan evaluasi parpol untuk bisa mengajukan kader yang ideal.

”Ini kritik terhadap parpol yang seharusnya mampu memunculkan kader-kader terbaik sesuai keinginan masyarakat,” kata Usep.

Secara terpisah, Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily menilai, tingginya suara kotak kosong disinyalir sebagai bentuk penolakan masyarakat Kota Makassar terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan pencalonan Danny Pomanto-Indira Mulyasari.

”Kita tahu Danny Pomanto pernah dievaluasi sebagai wali kota petahana dinilai masyarakat punya kepuasaan terhadap kinerja dia. Tiba-tiba ada proses hukum yang membuat pilkada jadi satu calon. Mungkin publik menolak dengan cara memilih kotak kosong itu,” ujar Ace. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2018 di halaman 2 dengan judul “Pemilih Makin Kritis dalam Memilih”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/07/02/pemilih-dinilai-makin-kritis-memilih-pemimpin/