December 25, 2024

Bayu Dwi Anggoro: PKPU Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Tak Bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK

Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggoro, merupakan salah satu pakar hukum tata negara yang ikut merumuskan aturan agar mantan narapidana kasus korupsi tidak dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dengan basis keilmuannya, Bayu berpendapat bahwa PKPU yang telah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 3 Juli 2018 dengan No.20/2018 ini tak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana yang dinilai oleh partai politik dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Simak penjelasan Bayu dalam format wawancara.

Hingga saat ini, Bawaslu dan beberapa partai politik masih menilai bahwa PKPU No.20/2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD) bermasalah. Bagaimana pendapat Bapak?

Ketika PKPU itu belum diundangkan oleh Kemenkumham, dalam perspektif perundang-undangan, memang PKPU bermasalah. Karena, menurut Undang-Undang (UU) No.12/2011 Pasal 1 angka 1, pengundangan merupakan bagian dari tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Nah, setelah Kemenkumham pada akhirnya mengundangkan, maka PKPU sah secara paripurna karena telah melalui semua tahapan. PKPU memiliki daya laku dan daya ikat kepada peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan seluruh komponen masyarakat. Jadi, yang bilang PKPU ini bermasalah, sejak 3 Juli 2018, PKPU ini tidak punya masalah.

Tapi bukankah masih ada yang berpendapat bahwa norma yang mewajibkan partai politik mengajukan bakal calon yang bersih dari rekam jejak pidana kasus korupsi, pelecehan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK?

Saya berani katakan, PKPU ini tidak bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK. Karena, KPU telah menghapuskan Pasal 7 ayat 1 huruf e. Selama ini kan polemiknya di situ. KPU menambahkan syarat untuk menjadi bakal calon anggota legislatif. Oleh Kemenkumham, diselaraskan. Katanya, norma ini berpotensi bertentangan dengan putusan MK dan UU Pemilu. Karena itu, dicari sebuah solusi bersama yang mana merupakan solusi cerdas sehingga PKPU ini tidak bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK, yakni Pasal 4 ayat 3 dan Pasal 6 ayat 1 huruf e. Pasal 6 itu mewajibkan agar sebelum mengajukan daftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg), partai politik peserta pemilu menandatangani pakta integritas yang di dalamnya berisi larangan untuk mengajukan mantan terpidana bandar narkotika, pelecehan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Pasal 6 ini diperkuat oleh Pasal 4 ayat 3 yang menyatakan bahwa seleksi terbuka oleh partai politik tanpa mengikutsertakan tiga mantan terpidana tadi.

Rumusan pertama dengan yang kedua ini (yang telah diselaraskan) berbeda. Yang pertama memang orang akan mengatakan bahwa ini berpotensi melanggar UU Pemilu dan Putusan MK. Tetapi rumusan yang telah disepakati antara Kemenkumham dengan KPU yang sekarang telah diundangkan, itu membebankan kepada partai politik. Jadi, partai lah yang mengeliminasi caleg-caleg mantan terpidana tiga jenis kejahatan tadi. Bukan KPU melarang mereka untuk mendaftar, tetapi partai yang sejak awal, karena dia tanda tangan pakta integritas, dia lah yang melarang caleg-caleg ini.

Jadi, PKPU ini tidak punya masalah yang dikatakan bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK. Karena larangan terhadap calon adalah tanggung jawab partai.

Berarti sebenarnya Pemerintah mendukung niat KPU untuk mencegah adanya mantan narapidana di daftar caleg?

Ya. Dengan diselaraskannya PKPU dan diundangkannya PKPU oleh Kemenkumham menunjukkan bahwa Pemerintah mendukung niat baik KPU utnuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.

Baik. Pemerintah telah menunjukkan dukungannya. Lalu, apa yang akan dihadapi KPU ke depannya?

Ada tiga hal yang harus diantisipasi KPU karena mungkin akan ada tiga serangan, yakni serangan secara hukum, secara etik, dan secara politik.

Secara hukum, pertama, di pasal 76 ayat 3 UU Pemilu dikatakan bahwa bagi pihak yang berkeberatan dengan PKPU bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Di situ disebutkan, dalam jangka waktu 30 hari setelah diundangkan. Ini sebenarnya mengapa diundangkan, karena selain dia berlaku mengikat, dia juga akan bisa diuji ke MA.

Pengujian ke MA bisa dilakukan, terutamanya oleh Bawaslu. Tapi menurut saya, pasca diundangkan oleh Kemenkumham, kecil kemungkinan MA akan membatalkan PKPU ini. Karena, pengundangan itu kan sudah melalui penyelarasan terhadap UU Pemilu dan Putusan MK. Jadi, kalau yang menggugat hanya berargumentasi bahwa PKPU ini bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK, saya optimis MA akan menolak permohonannya.

Serangan hukum yang kedua, yakni melalui sengketa proses ke Bawaslu. Kita ingat, sengketa proses di Bawaslu itu dilakukan terhadap keputusan KPU terkait penetapan caleg ini. Nah, menurut saya, Bawaslu harusnya menolak sengketa proses ini. Karena, KPU ini kan dalam konteks penyelengaraan pemilu mendasarkan pada asas kepastian hukum dan asas kehati-hatian. Nah, KPU menetapkan daftar caleg berdasarkan PKPU yang sah. Lalu apa alasan Bawaslu untuk membatalkan keputusan Bawaslu, karena PKPU ini sah berlaku.

Baik. Berarti prediksi Bapak, gugatan di MA atas PKPU ini akan ditolak oleh MA dan ajuan sengketa proses di Bawaslu mestinya ditolak oleh Bawaslu. Lalu, bagaimana dengan serangan etik yang akan dihadapi oleh KPU?

Serangan etik ini berkaitan dengan sudah adanya orang yang melaporkan KPU ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) karena KPU membuat PKPU ini. Menurut saya, tidak ada pelanggaran etik yang dilanggar oleh KPU. Karena, sumpah janji penyelenggara pemilu waktu itu adalah akan melaksanakan peraturan perundang-undangan. Nah, PKPU ini adalah peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau KPU nanti menolak partai-partai yang tidak mematuhi pakta integritas atau tidak meloloskan caleg-caleg yang merupakan mantan narapidana tiga jenis kejahatan, KPU dapat hanya mengatakan bahwa saya melaksanakan PKPU yang telah diundangkan. Sehingga, berat juga kalau ini dikatakan pelanggaran etik.

Nah, yang ditakutkan justru adalah serangan politik.

Mengapa?

Begini. Serangan politik adalah bertemunya kepentingan sebagian partai yang tidak dapat menerima PKPU ini karena punya agenda ingin meloloskan kader-kadernya yang mantan terpidana tiga jenis kejahatan tadi, kemudian bertemunya caleg-caleg pemodal yang mungkin dia punya kepentingan untuk tampil lagi di kancah perpolitikan kita, mereka menggunakan hak-hak yang dimiliki oleh DPR.

Mulai dari rapat konsultasi. Hari ini, DPR memanggil KPU. Ini salah kaprah. Kan penyusunan PKPU ini telah melalui rapat konsultasi toh? Putusan MK mengatakan rapat konsultasi tidak lagi mengikat. Lalu apa wewenang DPR memaksa KPU untuk membatalkan PKPU ini?

Lalu hak angket. Ini bisa digunakan DPR, tapi menurut saya, ini berlebihan. Justru hak angket itu kan pelaksanaan UU atau kebijakan yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Nah, PKPU ini justru berdampak positif untuk memberikan caleg-caleg yang berintegritas.

Jadi, serangan politik ini yang harus diwaspadai oleh KPU dan masyarakat yang berkomitmen untuk melawan korupsi ya?

Ya. Kita tau betul watak DPR yang kadang, demi kepentingan tertentu, aturan PKPU bisa ditabrak. Masyarakat harus mengawal dan terus mengawasi.