DUA orang siswa kelas tiga sekolah dasar Evergreen Primary School di Wuhan, Tiongkok kebingungan ketika ditanya tentang demokrasi dan pemilihan. “Saya tidak tahu. Apa itu?” dengan dahi mengerut disusul senyum yang canggung. Di negeri yang sejak 1949 pemerintahannya dikuasai Partai Komunis Tiongkok ini, konsep demokrasi mungkin terasa asing bagi anak-anak yang tak punya pengalaman sama sekali dengan demokrasi ataupun pemilihan langsung.
Zhang, guru di sekolah dasar itu, kemudian mengenalkan konsep demokrasi pertama kalinya. “Demokrasi adalah memilih ketua kelasmu sendiri,” kata Zhang. Ketua kelas, yang pada dua tahun sebelumnya ditunjuk guru, kini dipilih oleh anggota kelas melalui pemilu langsung pada awal tahun ajaran baru. Zhang menunjuk tiga orang kandidat untuk berkompetisi selama kurang dari dua minggu. Ketiga kandidat ini mesti melalui tiga tahapan yaitu unjuk bakat, debat, dan pidato kunci sebelum pemilihan oleh seluruh anggota dilaksanakan. Chen Weijun merekam proses pemilu yang dipenuhi taktik, siasat, dan juga tangis ini melalui film dokumenternya berjudul Please Vote for Me (2007).
Please Vote for Me menggambarkan pemilihan ketua kelas sebagai sebuah simulasi demokrasi yang memuat kelemahan-kelemahan utama di sana-sini. Film ini merangkum kelemahan-kelemahan itu melalui tokoh-tokoh utamanya: orang tua dan tiga calon—Luo Lei, Cheng Cheng, dan Xu Xiaofei. Kelemahan-kelemahan serupa juga muncul di Indonesia saat ini.
Orang Tua dan Bohir Politik
Pemilihan ketua kelas ini sebetulnya adalah pertarungan antara orang tua para kandidat. Dalam proses persiapan, sangat terlihat orang tua kandidat lebih bersemangat untuk memenangkan pemilu. Di sisi lain, anak-anak justru memperagakan gestur yang gerah diatur-atur menuruti desain kampanye yang dibuat orang tuanya.
Ibu Cheng Cheng, yang seorang produser televisi, melatih intensif kemampuan bernyanyi Cheng Cheng. Ia menyuruh Cheng Cheng mengeluarkan chi dalam tubuhnya dan menggunakan gestur saat bernyanyi. Ibu Xiaofei, seorang petugas administrasi sekolah, menguatkan kepercayaan diri anak perempuannya dengan mengajarinya kemampuan komunikasi. Bapak Luo Lei yang seorang polisi menata pidato Luo Lei agar tegas dan berwibawa. Bahkan ia jadi pemodal, menyiapkan satu sesi jalan-jalan naik monorail bagi seluruh anggota kelas agar anaknya bisa leluasa berkampanye.
Keadaan serupa terjadi di politik kita. Transaksi di balik layar dari para pemilik modal yang membiayai kampanye kandidat kerap terjadi. Kepentingan pemilik modal bertemu dengan kebutuhan biaya kampanye kandidat yang tak sedikit. Pemilu bukan lagi kompetisi antarkandidat yang saling beradu gagasan tentang kepentingan rakyat, tapi pertarungan para bohir untuk saling mengamankan kepentingannya masing-masing. Jaringan Advokasi Tambang, misalnya, mencatat 170 izin tambang baru sepanjang 2017—2018, terutama di daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada. Calon kepala daerah, memanfaatkan penerbitan izin itu untuk mendapatkan biaya kampanye politik. Pebisnis tambang biasanya membayar sejumlah uang kepada kepala daerah. Uang dari pebisnis dibarter dengan pengeluaran izin, kemudahan izin sumber daya alam, investasi usaha, kelonggaran kebijakan, bahkan pembiaran hukum oleh kepala daerah.
Aturan soal transparansi dan akuntabilitas dana kampanye mesti diperkuat dan diperluas. Banyak penyumbang dan pengeluaran kandidat yang besar justru tak tercatat dan tak terawasi.
Xu Xiaofei dan Representasi Minoritas
Xiaofei adalah satu-satunya perempuan kandidat dalam pemilihan kelas ini. Ia anak dari seorang ibu tunggal, oleh karenanya diperlihatkan tak memiliki support system sekuat kandidat lain. Permasalahan yang dihadapi Xiaofei selama pemilihan serupa dengan posisi perempuan yang masuk arena politik di Indonesia. Serangan terhadap identitas dan sisi personal lebih menonjol dan meminggirkan kompetensi-kompetensi kepemimpinan yang dimiliki.
Dalam rivalitas kontestasi yang ketat, identitas kaum minoritas rentan dipolitisasi. Sentimen primordial, baik berbasis gender, suku, agama, kedaerahan, maupun etnis, malah digunakan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong, dan fitnah untuk menyerang kandidat lain. Peristiwa pada beberapa pilkada 2017 bisa jadi membuat beberapa oknum beranggapan bahwa kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA dalam kampanye merupakan pendekatan yang mudah, murah, dan efektif untuk jadi basis pemenangan pilkada. Apalagi jika aktor politik yang terlibat tak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif, dan demokratis. Sementara hal substansial seperti perlindungan dan pemenuhan hak kaum minoritas tak banyak diulas. Nyaris tidak ada yang berani menyuarakan hak-hak beragama, sebagai hak asasi manusia dan hak sipil warga negara. Tak terdengar suara mereka yang melakukan advokasi atas kaum minoritas yang terancam jiwanya dan terampas kebebasannya.
Sebagai contoh, kandidat mencitrakan diri sebagai mayoritas agama tertentu untuk meraup suara. Saat diisukan berafiliasi dengan kelompok minoritas, kandidat buru-buru mengklarifikasi bahwa ia bukan bagian dari kelompok tersebut. Sedikit banyak, fenomena ini mengarah pada populisme sebagai gerakan yang melibatkan pemimpin karismatik yang berorientasi pada kehendak mayoritas. Populisme yang mengandung fantasi masyarakat tunggal ini akan makin subur ketika ada kemandekan dalam demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini berbahaya bagi Indonesia yang plural, mulitikultural, dan menjunjung toleransi pada perbedaan identitas. Fantasi populisme ini tak hanya menciptakan polarisasi dan menyulut konflik, tapi juga mengancam lawan politiknya sebagai musuh masyarakat.
Luo Lei dan Politik Uang
Luo Lei, anak seorang polisi, dicitrakan sebagai sosok diktator yang tegas. Dalam sebuah adegan, seorang anggota kelas tidak mau memilih Luo Lei karena ia sering memukul. Luo Lei langsung mengklarifikasi, “Kalau saya tak seketat itu, kalian tak akan nurut!” Sikap tegasnya di kelas didukung oleh orang tuanya.
Luo Lei, seorang petahana dua periode berturut-turut, melakukan dua kali politik uang dengan bantuan orang tuanya. Pertama, ia mengajak seluruh anggota kelas (bahkan guru) jalan-jalan dengan menaiki monorail. Hal ini sukses memukul kepercayaan diri Cheng Cheng yang menghitung tak akan ada lagi suara untuknya dan kemudian mengajukan keluar dari proses pemilu pada gurunya. Namun kepercayaan diri Cheng Cheng kembali muncul setelah dimotivasi orang tuanya.
Kedua, di hari pemungutan suara, ia membagikan hadiah tiket mid-autumn festival pada semua anggota kelas. Akibatnya, perolehan suara Luo Lei sangat jauh melampaui lawan-lawannya.
Di Indonesia, politik uang banyak disangkut pautkan dengan pragmatisme pemilih yang membuat biaya politik semakin mahal. Padahal, studi Burhanuddin Muhtadi (2013) menunjukkan bahwa politik transaksional antara politisi dan pemilih tak bisa dilepaskan dari kegagalan partai dalam meningkatkan diferensiasi dan positioning ideologis partai di mata pemilih. Semakin rendah party-ID seseorang semakin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang.
Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terbukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai. Jika partai politik tak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai. Jadi, fenomena politik uang yang semakin merajalela di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai politik itu sendiri dalam meningkatkan kinerjanya di mata pemilih.
Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka.
Cheng Cheng dan Citra Pemimpin Demokratis
Ibu Cheng Cheng adalah seorang produser televisi. Ia membentuk karakter pemimpin demokratis yang mesti ditonjolkan Cheng Cheng dalam pemilihan. Dalam teks pidato yang ia susun, “Saya akan menjadi manajer, bukan diktator seperti Luo Lei. Saya akan berlaku adil, setara, dan perhatian pada semua orang.”
Meski mencitrakan diri sebagai pemimpin demokratis, ia tetap berlaku lancung.
Citra pemimpin demokratis dipilih Cheng Cheng hanya sebagai polesan politik agar bisa menjadi antitesis Luo Lei dan berharap suara berpindah padanya. Cheng Cheng sebenarnya ingin jadi ketua kelas karena bisa memerintah orang di sekitar.
Cheng Cheng mengintip sesi latihan Xiaofei dan kemudian dengan licik menggunakan tangan juru kampanyenya untuk menghasut anggota kelas agar menyoraki penampilan Xiaofei. Siasatnya berhasil saat Luo Lei dan mayoritas anggota kelas mengganggu Xiaofei bahkan sebelum ia memulai penampilan unjuk bakatnya. Tangis Xiaofei pecah disusul tangis juru kampanye dan anggota kelas lainnya. Cheng Cheng kemudian meminta maaf pada Xiaofei justru atas perlakuan provokasi Luo Lei, bukan meminta maaf atas keributan yang didesain dirinya sendiri.
Cheng Cheng juga menjadikan patronase sebagai bagian penting dari daya pikatnya. Ia menjanjikan posisi dalam pemerintahannya kelak jika teman-temannya mau mendukungnya. Tapi di sebuah debat, Cheng Cheng diuji Luo Lei. Cheng Cheng disebut tak konsisten karena janji-janjinya yang sering kontradiktif. Politik yang dimainkan Cheng Cheng menjadi bumerang bagi integritas dirinya sendiri.
Semoga perilaku Cheng-Cheng tidak mengingatkan kita pada siapapun yang perangainya mungkin serupa: mencitrakan diri sebagai seseorang yang demokratis, tetapi menggunakan cara tak demokratis untuk meraih kuasa.***
Maharddhika, Pengelola Rumahpemilu.org Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
Tulisan ini adalah pengantar diskusi film Please Vote for Me sebagai bagian dari acara rutin “Nonton dan Diskusi Film” yang digagas Maarif Institute.