August 8, 2024

Perlindungan Data Privasi Pemilih, Perludem Nilai Tuntutan Gerindra Tak Tepat

Sengketa data pemilu bermula dari penolakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta untuk memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) pemilih DKI Jakarta kepada Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) provinsi DKI Jakarta. Tak terima penolakan tersebut karena memandang data pemilih sebagai bagian dari informasi publik, Partai Gerindra menggugat KPU DKI Jakarta ke Komisi Informasi (KI) DKI Jakarta.

KI DKI Jakarta memutuskan pada 30 Oktober 2018 bahwa, satu, informasi yang dimohonkan oleh Partai Gerindra merupakan informasi terbuka yang bersifat ketat dan terbatas. Dua, memerintah KPU DKI Jakarta untuk melakukan pertemuan dalam forum terbatas antara Dinas Kependudukan dan Catata Sipil (Disdukcapil), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan partai politik peserta pemilu. Tiga, memerintahkan KPU untuk melaksanakan keputusan KI selambat-lambatnya tujuh hari kerja. Empat, agar Partai Gerindra memanfaatkan informasi data pemilih sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KPU DKI Jakarta, pun KPU RI kukuh tak akan menyerahkan salinan NIK dan NKK pemilih DKI Jakarta kepada Partai Gerindra DKI Jakarta demi melindungi data privasi warga negara. KPU mengacu pada Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan bahwa NIK termasuk kategori data privasi penduduk yang wajib dilindungi oleh negara.

(Baca: http://rumahpemilu.org/gerindra-vs-kpu-paham-tak-paham-soal-data-pribadi-pemilih/)

Geram dengan sikap KPU DKI, Partai Gerindra DKI mengeluarkan somasi pada 23 November 2018. Isinya, meminta agar KPU DKI segera melaksanakan putusan KI DKI Jakarta dan menyerahkan daftar pemilih dengan NIK dan NKK lengkap dalam waktu tiga hari sejak somasti diterima secara patut. Jika KPU tak kunjung menyerahkan, maka Partai Gerindra DKI akan menempuh upaya hukum lebih lanjut dan melaporkan KPU DKI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan instansi lain yang terkait.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memandang penting isu perlindungan data pribadi dalam pemilu dan mendukung sikap KPU dalam menjamin data pribadi pemilih. Perludem menilai, langkah KPU menutup empat digit tengah NIK pemilih berisi tanggal, bulan, dan tahun lahir telah tepat. Pasal 1 angka (2) Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan No.24/2006 menyebutkan bahwa data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dilindungi kerahasiaannya. Pasal 58 ayat (2) merinci, data perseorangan termasuk NKK, NIK, nama lengkap, dan jenis kelamin. Pasal 79 ayat (1) mewajibkan agar data perseorangan disimpan dan dilindungi oleh negara.

“Tidak tepat kalau Gerindra mensomasi KPU DKI dan mengancam untuk mengambil langkah hukum kalau KPU DKI tidak memberikan dokumen yang dimaksud. KPU kan membintangi itu untuk melindungi dan menjamin kerahasiaannya. Ada di UU Adminduk (Administrasi Kependudukan),” tegas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, pada diskusi “Menjamin Perlindungan Data Privasi di Pemilu” di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (30/11).

Titi kemudian mengatakan bahwa rezim pemilu tak ramah terhadap perlindungan data privasi warga negara. Membuka empat digit NIK pemilih merupakan hal rentan, sebab kemampuan teknologi saat ini lebih hebat dari pengetahuan awam. NIK dan NKK adalah informasi  pribadi yang amat riskan, sebab NIK dapat digunakan untuk mengakses berbagai layanan, seperti asuransi kesehatan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), permohonan kartu kredit, dan mendaftar pada layanan penyedia jaringan komunikasi.

Menurut Titi, jika partai politik berkeinginan melakukan penelusuran secara menyeluruh terhadap daftar pemilih untuk menghapuskan data ganda, partai tak semestinya mengandalkan data lengkap pemilih yang dimiliki oleh KPU. Pencatatan data pemilih dilakukan oleh petugas KPU secara berjenjang, dimana partai dapat mengakses hasil pemuratakhiran data pemilih di tempat-tempat yang disebut oleh UU Pemilu dan mendapatkan salinannya.

“Dalam konteks pemutakhiran dan pengumuman data pemilih, PPS (Panitia Pemungutan Suara) mengumumkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) selama 14 hari di kelurahan dan tempat-tempat terbuka. Nah, kan kontrol partai, kalau mau tau apakah DPS itu valid atau tidak, bisa dimulai dengan penelusuran di tingkat kelurahan. Partai kan punya struktur sampai ke tingkat ranting,” tandas Titi.

Meskipun UU Pemilu No.7/2017 tak melarang agar KPU mempublikasi NIK lengkap pemilih, namun publik mesti mengikuti ketentuan di UU Adminduk. Warga negara berhak mengatakan tidak kepada partai politik untuk melindungi hak privasinya, sebab tak ada regulasi apapun yang dapat menjamin partai politik tak akan menyalahgunakan data pribadi warga negara.

“Jadi, jangan kita mempertentangkan antara UU Pemilu dengan UU Adminduk, tapi mengkorelasikan. Kami sebagai warga negara merasa data kami tidak patut dibuka tanpa dibintangi kepada peserta pemilu. Aturan hukum sekarang sama sekali tidak mengatur data pribadi pemilih jika dimiliki oleh partai,” ujar Titi.

Perludem menegaskan bahwa permintaan Partai Gerindra agar KPU DKI Jakarta menyerahkan NIK dan NKK lengkap pemilih DKI Jakarta adalah berlebihan. Partai Gerindra pun dinilai tak semestinya melakukan intimidasi kepada penyelenggara pemilu. Putusan KI DKI Jakarta tak memerintahkan KPU DKI Jakarta untuk menyerahkan seluruh nomor NIK dan nomor NKK pemilih kepada Partai Gerindra.