September 13, 2024

Wajarkah Dewan Terpilih Diberhentikan Partai?

20160406_044019_kursi-partai2

Wajarkah dewan terpilih hasil pemilu, langsung dari rakyat, diberhentikan jabatan publiknya oleh partai? Fahri Hamzah, salah satu dewan Partai Keadilan Sejahtera hasil keterpilihan di Pemilu 2014, diberhentikan partai, institusi yang tak menggajinya bahkan dirinya yang menyisihkan gaji dari negara untuk partai. Keanggotaan partai Fahri diputus untuk semua posisi dan tingkatan oleh partai yang juga didirikan Fahri saat bernama Partai Keadilan. Wakil ketua DPR RI ini dinilai PKS tak disiplin terhadap arahan pimpinan partai dan kesantunannya tak sesuai karakter partai dakwah.

Tak ada persoalan hukum dari Fahri sebagai anggota dewan. Ketua umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pertama ini tak sedang menjadi tersangka korupsi. Fahri tak terkait “Kasus Sapi” dengan Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua Umum PKS yang tetap menjadi anggota partai meski korup dan dipenjara. Fahri pun tak berkelakuan seperti koleganya, Arifinto yang menonton film porno melalui ponselnya di ruang sidang DPR. Tak ada desakan publik terhadap Fahri seperti yang dialami LHI dan Arifinto untuk mengundurkan diri dari posisi dewan.

Jika merujuk aspek ada/tak adanya persoalan hukum, pemecatan Fahri oleh PKS merupakan ketakwajaran. Tapi, bagaimana perspektif sistem pemilu menjelaskan kejadian pemberhentian dewan oleh partai?

Sistem proporsional yang tak proporsional

Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 bertuliskan, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Karena peserta pemilu DPR dan DPRD hanya partai politik, tak ada dari jalur perseorangan, sangat bisa ditafsirkan sistem pemilu DPR dan DPRD adalah sistem pemilu proporsional.

Sistem pemilu proporsional, yang menurut The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) beristilah “proportional representation (PR)”, merupakan sistem yang menekankan pada hubungan rakyat dengan kelembagaan partai. Di sistem ini satu daerah pemilihan (dapil/distrik) terdapat lebih dari satu kursi. Sistem ini biasa dihadapkan dengan sistem mayoritarian (majority/plurality) yang menekankan hubungan rakyat dengan personal dewan yang terpilih menduduki hanya satu kursi di tiap distrik (sistem distrik). Secara ortodoks, sistem proporsional menggunakan metode memilih lambang partai di surat suara pemilu, bukan nama calon.

Evaluasi legislatif hasil pemilu bersistem proporsional merujuk pada partai parlemen, bukan tiap nama anggota dewan. Sistem yang lebih cocok di pemerintahan parlementer ini menguatkan relasi politik antara komunitas pemilih dengan partai, bukan individu. Bentuk kedaulatan pemilih adalah dengan meneruskan/menghukum partai yang dipilih di pemilu berikutnya. Meski kinerja tiap dewan jadi acuan awal, tapi nilai evaluasi akhir tertuju pada fraksi partai.

Karena tatanan politik itu, pakar hukum tata negara, Fadjroel Falakh menafsirkan, sistem pemilu DPR dan DPRD yang konstitusional adalah proporsional daftar partai (PR party list). Kursi di parlemen adalah kursi fraksi partai, bukan kursi dewan. Pertanggungjawaban parlemen lebih menitikberatkan terhadap fraksi partai, bukan dewan secara personal. Malah, dewan secara personal bertanggungjawab kepada partai, bukan pemilih.

Tapi, yang perlu menjadi catatan, sejak Pemilu 2004, Indonesia menerapkan sistem pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional daftar calon (PR candidate list). Malah, sejak putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa hasil Pemilu DPR (DPD) dan DPRD 2009 hingga Pemilu 2014, Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar calon utuh, yang berarti calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak jika keseluruhan suara yang diperoleh partai dan tiap calonnya sesuai dengan nilai satu kursi atau lebih.

Di sistem pemilu proporsional daftar calon, elektabilitas partai sebetulnya bergeser ke arah sosok calon. Elektabilitas institusional berubah menjadi elektabilitas personal. Perolehan suara dan kursi partai sebetulnya menjadi bergantung pada calon yang ditawarkan di daftar calon kepada pemilih. Relevansinya makin menguat, karena dari 2004 hingga 2014 jumlah pemilih yang memilih calon signifikan meningkat dibanding pemilih yang hanya memilih logo partai.

Sebagai gambaran bisa kita rujuk hasil Pemilu 2014 di daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat, tempat Fahri berkontestasi politik. Fahri memperoleh suara lebih dari 125 ribu pemilih. Jumlah ini terlalu banyak untuk dibandingkan dengan suara pemilih yang memilih “Kabah bergambar padi yang diapit dua bulan sabit”.

Sistem pemilu itu, yang di dalamnya mengandung variabel cara pemilihan dan cara penghitungan suara serta keterpilihan, menjadikan sistem proporsional pemilu Indonesia menjadi tak proporsional. Faktor penentu perolehan suara hingga mendapat kursi adalah personal calon tapi yang menentukan lama/tidak-nya dewan terpilih bekerja di parlemen adalah partai.

Balik lagi ke pertanyaan, wajarkah dewan terpilih pemilu proporsional daftar calon diberhentikan partai? Jawabannya, tidak wajar tapi apa mau dikata bisa ditafsirkan sesuai regulasi. Bisa disimpulkan, UU No.8/2012 tentang Pemilu Legislatif mengatur sistem pemilu Indonesia saat ini secara tidak wajar atau ngawur.

Pada ketakwajaran itu, dewan sebagai personal yang mewakili kumpulan suara rakyat, menjadi lemah dan tak mandiri. Ini menyadarkan kita kenapa caleg ketika terpilih lebih patuh pada partai dibanding rakyat yang memilihnya. Pertanda kuat, posisi rakyat, sebagai pemilik kedaulatan negara demokrasi Republik Indonesia, masih rendah. []

USEP HASAN SADIKIN