September 13, 2024

Evaluasi dan Rekomendasi Debat Pilpres 2019

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Reformasi Agraria (KPA), dan Publish What You Pay (PWYP) pada 20 Januari 2019 di Jakarta, mengevaluasi Debat Pertama Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2019 dan memberikan sejumlah rekomendasi untuk Debat Kedua. Hadir anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan untuk menerima kritik dan mempertimbangkan rekomendasi perbaikan.

“Tidak mudah menerima segala kritik. Tapi sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU siap mempertimbangkan segala masukan untuk penyelenggaraan debat yang lebih baik,” kata Wahyu menanggapi (20/1).

Sebelumnya, peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menyampaikan sejumlah evaluasi dan rekomendasi. Perludem menyayangkan KPU memberikan paket pertanyaan kepada tiap pasangan calon sebelum acara debat diselenggarakan. Ternyata, jawaban paslon pun tetap tidak mendalam. Tiap paslon malah sangat normatif sehingga tak menghasilkan perbedaan argumen mengenai visi, misi, dan program terkait tema debat.

“Selain itu, pengunjung debat dari unsur pendukung mestinya dibatasi. Pendukung yang banyak cenderung bising dan bisa ciptakan kondisi tak nyaman dan mengganggu konsentrasi serta fokus paslon dan penonton TV,” kata Fadli.

KPU pun penting menjelaskan bentuk penyelenggaraan debat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 277 UU No.7/2017 menjelaskan Debat Pasangan Calon melalui sejumlah ayat. Ayat (1), debat dilaksanakan 5 kali, yang dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang dengan rincian, 3 kali debat calon presiden (Capres), dan 2 kali debat calon wakil presiden (cawapres).

“Mengenai format 5 debat, 3 kali debat capres, dan 2 kali debat cawapres, itu bisa soal tafsir. Debat pertama kemarin, meski debat paslon, tapi porsi capres jauh lebih banyak sehingga bisa ditafsirkan sebagai debat capres. Jadi KPU tak melanggar undang-undang,” jelas Wahyu menanggapi.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi dan Koordinator PWYP, Maryati Abdullah, menyayangkan KPU yang mengundi sejumlah pertanyaan pada tema krusial debat pertama “Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme”. Pertanyaan yang diharapkan bisa saja sudah disediakan panelis, tapi karena memilihnya dengan cara diundi, pertanyaan yang diharapkan muncul malah tak ada.

“Ini permasalahan bangsa. Jawabannya menentukan arah perbaikan negara. Tapi masa soalnya diundi,” kata Rukka.

“Saya mengharapkan pertanyaan-pertanyaan konkret mengenai permasalahan prinsipil bisa keluar di debat pertama. Mengapa tidak ditetapkan saja pertanyaan pentingnya untuk ditanyakan ke masing-masing paslon lalu kita bisa bandingkan jawaban berbedanya,” kata Maryati.

Soal substansi

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya menyayangkan pembahasan debat yang kurang menyinggung aspek substantif. Menurutnya, salah satu permasalahan hukum, HAM, dan korupsi adalah konflik agraria.

“Pertama, tak ada istilah agraria dalam tema debat pertama dan debat-debat berikutnya. Selain itu, sangat disayangkan tak ada pembahasan konflik agraria pada debat pertama padahal erat kaitannya dengan hukum, HAM, dan korupsi,” kata Benni.

Maryati menyayangkan, tak ada pertanyaan korupsi yang melibatkan korporasi. Padahal nilai korupsi yang melibatkan korporasi amat besar dan berkaitan dengan kedaulatan negara terkait intervensi pengusaha/perusahaan.

Rukka menyayangkan dalam tema HAM, pertanyaan dan pembahasan cenderung hanya dimaknai soal pelanggaran HAM masa lalu. “Pelanggaran HAM masa lalu penting, tapi banyak soal HAM yang juga penting yang sayangnya tidak ditanyakan dan dibahas,” kata Rukka.

Direktur Perludem, Titi Anggraini berpendapat, Tiap paslon cenderung hati-hati dan bermain aman. Jawaban dan bantahan belum memberikan kejutan untuk saling menguji satu sama lain. Tiap paslon pun kurang optimal memanfaatkan data/informasi untuk menjelaskan keadaan aktual dan faktual.

“Misal, pembahasan soal koruptor nyaleg. Juga, pertanyaan amat baik mengenai hak warga disabilitas malah tak direspon maksimal paslon. Kedua pembahasan ini akan baik jika tiap Paslon mengaitkannya secara aktual dan faktual karena dua isu ini menjadi kontroversi berkepanjangan. Bahkan, paslon tak memahami data koruptor nyaleg dan luput membahas warga disabilitas mental yang diduga akan dimobilisasi memilih,” kata Titi.

Soal panelis

Wahyu berjanji akan mengubah format debat berdasarkan evaluasi internal KPU serta kritik dan saran dari masyarakat. Misal, mengenai pertanyaan yang diberikan sebelum acara debat kepada paslon dan tim sukses, format ini tak akan digunakan lagi. Juga soal pemaknaan panelis yang dalam Undang-undang No.7/2017 tentang Pemilu, kata “panelis” tak ada sehingga bisa dioptimalkan berdasar kewenangan KPU.

“KPU akan memperbaiki segala hal yang berkaitan dengan kewenangannya KPU. Tapi yang jangan lupa, ada juga ketakpuasan atau kekurangan yang merupakan ranah dari paslon,” kata Wahyu.

Perludem merekomendasikan tiga kriteria panelis yang harus dioptimalkan KPU, bukan usulan paslon atau tim sukses. Pertama, netral imparsial yang berarti tak partisan dan tak punya jejak partisan ke peserta pemilu/parpol. Kedua, berlatarbelakang akademisi atau unsur lembaga masyarakat sipil. Ketiga, menguasai bidang/tema debat.

“Berdasarkan kemandirian dan netralitas KPU, kami memilih panelis. Sejak di debat pertama, kami sudah terapkan ini. Kita tahu, BW (Bambang Widjayanto) itu menguasai tema pertama, tapi kita tahu BW bagian dari tim sukses,” kata Wahyu.

Perludem pun berharap, KPU bisa mengoptimalkan peran panelis melalui segmen debat yang mempersilahkan panelis bertanya langsung kepada tiap calon/Paslon sehingga bisa leluasa membahas kasus konkret terkiat tema debat sebagaimana format debat dalam penyelenggaraan Pilkada. []

USEP HASAN SADIKIN