Pasal 523 Undang-Undang (UU) Pemilu membatasi objek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana politik uang. Tak seperti Pasal 515 yang dapat menjerat semua orang jika melakukan politik uang pada saat pemungutan suara, Pasal 523 hanya ditujukan kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye.
Namun ternyata, Pasal 523dapat dioperasionalisasikan untuk menjerat orang di luar objek hukum yang disebutkan. Putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Tanjung Balai memutuskan bersalah pelaku pelanggaran pidana politik uang, meski yang bersangkutan bukan tim kampanye, peserta, atau pelaksana kampanye. Putusan ini dapat menjadi preseden bagi penegakan hukum politik uang di masa kampanye dan masa tenang.
“Pasal 523 itu berarti bahwa orang yang tidak jelas, tidak bisa jadi objek hukum politik uang. Tetapi berdasarkan putusan di Tanjung Balai, selama orang itu terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap), dia bisa dikenakan Pasal 523. Memang tidak semua putusan konsisten, tapi putusan ini bisa menjadi bekal untuk digunakan Bawaslu,” kata anggota Bawaslu RI, Fritz Edrward Siregar pada diskusi “Awas, Politik Uang di Pemilu 2019” di Cikini, Jakarta Pusat (27/3).
Tak hanya itu, putusan Bawaslu lainnya menunjukkan progresifitas penegakan hukum pemilu saat ini, dibanding penegakan hukum pada Pemilu 2014. Jika pada Pemilu 2014 kasus pemberian kupon umroh tak dapat ditindak karena dianggap bukan politik uang, kini ada kasus dimana seorang calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Amanat Nasional (PAN), yakni Mandala Shoji, didiskualifikasi oleh Bawaslu karena membagikan kupon umroh di Pasar Gembrong, Jakarta Timur.
“Perbuatan membagikan voucher belanja di Pemilu 2014 itu banyak sekalai. Kita melapor itu ke Bawaslu, tapi gagal di Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) karena tidak ada kesepahaman yang sama. Nah sekarang, ketika pembagian voucher itu dihukum, itu adalah modal penting bagi Bawaslu untuk mensosialisasikan bahwa pembagian voucher termasuk politik uang dan bisa dikenakan sanksi diskualifikasi,” tandas Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil.
Fritz kemudian mengatakan, bahwa kasus politik uang marak terjadi selama pemilu. Namun, tak banyak kasus yang dilaporkan kepada Bawaslu, karena pelaku politik uang biasanya adalah orang terdekat. Kedekatan hubungan menyebabkan seseorang segan untuk melaporkan pelanggaran.
“Jadi, kalaupun mereka mau lapor, mereka segan untuk melapor. Maka, Bawaslu oke kalau ada orang yang mau lapor, tapi kita gak taroh namanya. Tapi kan kita perlu bukti dan saksi. Bawaslu sendiri gak bisa jadi saksi. Harus ada orang yang mau jadi saksi bahwa dia benar melihat si A membagikan uang,” ujar Fritz.
Catatan Bawaslu, dari 66 putusan pidana yang telah inkracht, 9 diantaranya merupakan putusan untuk pidana politik uang. Dari 9 putusan tersebut, diantaranya ada pelaku yang telah didiskualifikasi dan dicoret dari Daftar Calon Tetap (DCT).
“Kalau terbukti melanggar Pasal 280, dan ada putusan inkracht, meskipun hukumannya percobaan, sudah ada yang dicoret dari DCT. Kemarin itu ada yang dicoret karena bagikan uang di Tanjung Priok,” kata Fritz.
Menurut Fritz, sanksi diskualifikasi adalah sanksi yang paling ditakuti oleh peserta pemilu. Oleh karena itu, sanksi diskualifikasi efektif membuat jera pelaku politik uang. Ganjaran diskualifikasi dinilai setimpal karena perilaku politik uang mengurangi kepercayaan masyarakat akan kualitas hasil pemilu, bahwa kandidat yang menang adalah kandidat berkantong tebal yang mampu membeli suara pemilih.
“Akibat politik uang, masyarakat jadi gak percaya sama pemilu. Masyarakat bisa berpikir, buat apa memilih, toh orang yang menang hanya orang yang paling banyak bagi-bagi duit. Nah, praktik ini menggerus kepercayaan masyarakat,” ucap Fritz.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengatakan bahwa dampak politik uang bukan hanya melemahkan kepercayaan masyarakat, melainkan menjadi sumber terjadinya korupsi politik di kemudian hari. Memang belum ada kasus korupsi politik yang menunjukkan hubungan langsung antara politik uang dengan korupsi, namun terdapat 12 kasus yang menunjukkan adanya irisan antara pemilu dengan tindak korupsi.
“Ada 12 kasus yang ada irisannya dengan pemilu, meski tidak disebutkan dengan detil itu untuk apa. Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman, disebutkan bahwa alasan korupsi salah satunya untuk kepentingan isterinya maju di pilkada. Lalu mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti, melakukan korupsi untuk modal kampanye selanjutnya. Di Biak Numfor, korupsi dipakai untuk bayar hutang pas kampanye,” jelas Almas.
Untuk mencegah dan menindak politik uang secara efektif, Fadli dan Almas merekomendasikan agar politik uang dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi, alih –alih pelanggaran pidana. Dengan mengkategorikan politik uang sebagai pelanggaran adminsitrasi, pelaku politik uang hanya akan dikenakan sanksi peringatan dan diskualifikasi, tanpa hukuman penjara. Pun, proses penanganan pelanggaran administrasi akan lebih cepat dan mudah, tanpa mesti menunggu proses di Gakkumdu berjalan.
“Desain sanksi politik uang harus didorong agar proses penanganannya lebih cepat, dan tidak semuanya harus ditarik ke penegakan hukum pidana karena prosesnya panjang, efek jeranya sulit dihitung, dan akan menambah orang masuk penjara. Padahal, pemilu itu hanya satu tahun saja. Makanya, sanksi mestinya administrasi saja, diskualifikasi,” tutup Fadli.