August 8, 2024

Perempuan Caleg Terpilih di 2019 Capai 20,5 Persen, Puskapol Masih Pesimis Parlemen Membaik

Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia merilis hasil kajian mengenai keterpilihan perempuan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu Serentak 2019 dan hubungan antara keterpilihan dengan kekerabatan dan klientelisme politik. Hal pertama yang disampaikan  yakni,  meningkatnya persentase keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari sebelumnya 17 persen di 2014, menjadi 20,5 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Pemilu era Reformasi 1999.

“Jumlah caleg perempuan terpilih meningkat, yaitu sebanyak 20,5 persen. Ini setara dengan 118 kursi. Nah, ini merupakan pencapaian tertinggi sejak 1999. Jadi, ini capaian yang luar biasa, meski belum sampai target 30 persen,” tukas Direktur Eksekutif Puskapol  UI, Aditya Perdana, pada diskusi “Analisa Perolehan Suara Pemilu DPR RI Tahun 2019: Kekerabatan dan Klientelisme dalam Keterwakilan Politik” di Cikini, Jakarta Pusat (26/5).

Dari data yang dikemukakan, Puskapol menilai capaian yang diraih Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan capaian terbaik. Keterwakilan perempuan dari Partai NasDem mencapai 32 persen dari sebelumnya 11 persen, dan PKS meningkat 8 kali lipat, yakni dari 2,5 persen atau hanya 1 kursi perempuan, menjadi 16 persen atau 8 kursi perempuan.

“Kami menganggap capaian terbaik ada di Nasdem dan PKS. 2019, yang luar biasa dan pertama kali, partai politik yang menjebol 32 persen adalah NasDem. Dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), meski kursinya kecil, tapi mampu mempertahankan kositsensinya 25persen perempuan,” ujar Aditya.

Faktor meningkatnya keterpilihan perempuan di 2019

Puskapol mencatat setidaknya ada dua faktor yang mendorong peningkatan keterpilihan perempuan. Pertama, nomor urut. Mayoritas perempuan yang terpilih di 2019 merupakan perempuan yang ditempatkan di nomor urut 1. Sisanya, nomor urut 2 dan 3. Adapun perempuan caleg dari Partai NasDem banyak terpilih karena memiliki hubungan kekerabatan dengan elit lokal, meski tak ditempatkan di nomor urut atas.

“NasDem, sebagian besar memang nomor urutnya di atas 3. Tapi, dari 19 perempuan NasDem, sebagian besar punya hubungan kekerabatan. Istri dari bupati, mantan bupati ini itu. Di PKS, nomor urut 1 yang terpilih. Tapu ternyata kekerabatan punya peran yang signifikan juga. Di Sulawesi Tengah, cucuk dari pahlawan Al Jufri, terpilih. Lalu isteri Pak Aher juga terpilih,” jelas Aditya.

Dosen Ilmu Politik UI, Sri Budi Eko Wardhani tak heran jika perempuan yang terpilih adalah perempuan yang ditempatkan di nomor urut satu. Pasalnya, selain pemilih masih cenderung memilih caleg dengan nomor urut atas, masing-masing partai politik kebanyakan hanya mendpaatkan satu kursi per daerah pemilihan (dapil).

“Analisa per dapil, rata-rata perolehan kursi partai sangat ketat. Memang ada kursi partai di dapil lebih dari 2. PDIP di Jawa TengahV, ada 4 kursi. Tapi (kasus) itu kurang dari 10 dapil. Rata-rata partai hanya dapat satu-satu kursi,” terang Dhani.

Faktor kedua, yakni latar belakang. Dari 118 perempuan caleg terpilih, 53 persen merupakan aktivis partai yang pernah bertarung di tingkat lokal atau pernah berkontestasi pada pemilu maupun pilkada sebelumnya. Pengalaman bertarung memberikan pelajaran bagi perempuan caleg dalam mendapatkan dukungan, mendekati pemilih, dan memetakan strategi pemenangan. Dan, 41 persen diantaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan elit partai atau tokoh berpengaruh di dapilnya.

‘Aktivis partai adalah mereka pengurus partai, atau mantan anggota DPRD (DPR Daerah), atau mantan kepala daerah, yang memang di tingkat lokal bertarung dan bisa dapat kursi. Nah, 41 persen, punya hubungan kekerabatan. Kekerabatan maksudnya, dinasti politik, keluarga politik, atau klan-klan politik. Jadi, entah anaknya, hubungan dengan pimpinan partai, atau siapapun itu,” ungkap Aditya.

6 persen dari 118 perempuan caleg terpilih merupakan profesional non politisi yang berkontestasi di pemilu untuk pertama kalinya. Sebagai contoh, Krisdayanti. Krisdayanti unggul di dapil Malang Raya.

Temuan Puskapol sejalan dengan hasil pengamatan Dhani bahwa latar belakang kekerabatan menentukan keterpilihan. Bahkan, tren rekrutmen caleg saat ini serupa dengan warisan kursi. Kursi anggota DPR di suatu dapil diwariskan kepada kerabatnya. Catatan Puskapol, banyak petahana DPR RI yang terpilih kembali untuk yang ketiga atau keempat kalinya.

“Kursi wakil rakyat itu, di suatu dapil diwariskan kepada keluarganya. Misal, dulu anggota DPR tiga kali di dapil itu. Lalu diwariskan ke anaknya. Atau, kalau tidak, dari suami ke istrinya. Partai, kenapa banyak merekrut istri-istri kepala daerah, karena mereka punya kekuatan jaringan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Jadi, dengan PKK, mereka bisa terjun sampai ke tingkat desa, dan juga mereka biasanya jadi Bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini),” urai Dhani.

Dhani mengatakan, bahwa selain faktor latar belakang dan nomor urut, modal finansial juga menjadi faktor penentu keterpilihan perempuan caleg. Persaingan ketat antar partai di dapil memerlukan politik biaya tinggi. Apalagi, melihat data Puskapol bahwa 65 persen pemilih memilih caleg dan bukan memilih partai, menunjukkan bahwa caleg bergerak untuk memenangkan diri sendiri. Dhani menemukan banyak perempuan caleg yang membentuk tim pemenangan sendiri, yang berbeda dari tim pemenangan partai.

“Memang strategi pemenangannya bukan partai. Dia harus bikin struktur pemenangan sendiri, cari donator sendiri. Ini tidak mudah. Makanya, akhirnya perempuan yang mau jadi caleg adalah perempuan dengan modal keuangan besar. Makanya yang terpilih adalah profesional, pengusaha, petahan, dan yang punya hubungan dengan elit,” tandas Dhani.

Persentase meningkat, tapi warna DPR RI diprediksi tak akan berubah

Meskipun tingkat persentase keterwakilan perempuan di DPR RI meningkat, namun Puskapol pesimis jumlah yang meningkat tersebut dapat merubah wajah parlemen nasional. Perempuan caleg terpilih didominasi oleh kekuatan elit lokal atau oligarki daerah, sehingga diprediksi kebijakan yang dihasilkan cenderung tak mengutamakan kepentingan publik, apalagi memperjuangkan kesetaraan gender.  Politik berbiaya mahal juga diduga akan berimplikasi pada kebijakan yang cenderung mengembalikan modal finansial yang dikeluarkan caleg sewaktu bertarung merebutkan kursi wakil rakyat.

Gak ada jaminan ada suatu arus perubahan yang pro gender di parlemen. Sebab, dominasi kekuatan lokal atau oligarli di tingkat daerah masih sangat kuat. Kami percaya mereka akan mudah dipengaruhi oleh kekuatan penguasa lokal tersebut karena alasan kedekatan dengan elit lokal. Politik biaya mahal juga mendukung terjadinya status quo perilaku korupsi,” tutup Aditya.