August 8, 2024

Menjadi Tuan di Tanah Papua

Syarat ‘orang asli Papua’ diminta tak hanya berlaku bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. Calon bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota syarat yang sama harus diberlakukan.

Ketentuan ‘orang asli Papua’ tercantum dalam Pasal 12 Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (otsus) Provinsi Papua. Namun UU Otsus Papua menyatakan syarat ini hanya berlaku bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua.

Bagi putra asli daerah seperti Hofni Simbiak, Robert D. Wanggai, Benyamin Wayangkau, ketentuan ini sangat merugikan hak konstitusional mereka. Sebab keistimewaan hanya sampai pada Pilkada Provinsi, sementara tak berlaku bagi Pilkada Kabupaten dan Kota.

“Keberadan pasal yang diuji merugikan para pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan karena membeda-bedakan persyaratan untuk menjadi kepala daerah kabupaten/kota dengan tingkat provinsi, serta berpotensi mempersempit daya saing para pemohon menjadi kepala daerah,” ujar kuasa hukum pemohon Heru Widodo dalam sidang pemeriksaan di Gedung Mahkamah Kontitusi (MK).

Ketentuan ini secara resmi didaftar di MK dengan nomor 34/PUU-XIV/2016 untuk di-judicial review. Tiga orang pemohon masing-masing sebagai pemohon I, Wakil Ketua 1 Majelis Rakyat Papua (MRP) Hofni Simbiak, Pemohon II Anggota MRP Robert D. Wanggai, dan Pemohon ke III Benyamin Wayangkau.

Selama pencalonan di pilkada kabupaten dan kota, Heru mengatakan partai politik lebih memprioritaskan penduduk yang bukan orang asli Papua. Orang asli Papua diposisikan sebagai calon cadangan yang meramaikan pemilihan dan pendulang suara pemilih.

Hal ini sangat bertentangan bagi daerah yang diakui kekhususannya. Padahal tujuan pemberlakuan UU Otsus tidak lain untuk menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua sebagai subjek utama dalam pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota serta perangkat di bawahnya.

Menurut Heru, pengutamaan orang asli Papua dalam pemilihan kepala daerah di wilayah Papua merupakan perlakuan khusus yang dibenarkan konstitusi. Tindakan khusus ini untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat asli dalam mengejar kemajuan.

Penerapan Undang-Undang Otsus pun, menurutnya, tidak dapat diterapkan secara parsial hanya kepada pemerintahan provinsi saja. Sehingga seolah-olah sebutan orang asli Papua hanya dikenal dalam struktur pemerintahan provinsi dan bukan kepada struktur pemerintahan daerah di bawahnya.

“Padahal eksistensi pemerintahan provinsi tidak dapat berdiri sendiri tanpa pemerintahan kabupaten/kota dan seterusnya sampai kepada pemerintahan terendah di seluruh pelosok tanah Papua,” katanya.

Perlu diketahui, dulu UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua sejajar dengan UU 19 Tahun 2001 tentang Otsus Nanggore Aceh Darussalam. Dilihat dari arsitektur perundang-undangannya, UU ini hanya mengatur hingga lingkup provinsi.

Menurut hakim MK, Wahiduddin Adams, ketentuan peralihan UU Pilkada, menyebut UU 8/2015 tentang Pilkada berlaku bagi penyelenggara pemilihan di Provinsi Aceh, Daerah Khusus Ibukota, DI Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat, kecuali ditentukan lain.

Dalam UU Otsus Papua, tidak satu pasal pun yang mengatur kabupaten dan kota karena UU Otsus hanya mengatur kertentuan untuk provinsi, maka untuk kabupaten dan kota harus mengikuti UU 8/2015.

“Sebab ketika aturan yang lain dia tidak ada di dalam Undang-Undang Otsus itu, dia kembali kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Walaupun konstitusional bersyarat,” katanya.

Sementara itu, hakim Maria Farida Indrati mempertanyakan hak konstitusional yang dilanggar. Menurutnya pelanggaran hak konstitusional terjadi apabila orang asli Papua tidak boleh menjadi bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. Namun ketentuan UU Otsus maupun UU Pilkada tidak ada yang melarang.

Kemudian Majelis Permusyawarah Rakyat (MPR) RI yang menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hanya di Provinsi Papua yang diterapkan kekhususan dalam pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah Provinsi Papua, serta penerapan kewenangan tersebut.

Seandainya MK mengabulkan gugatan pemohon, Maria menilai ketentuannya sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh MPR karena TAP MPR yang mengatakan otonomi khusus untuk Provinsi Papua.

“Kalau ini diikuti seperti ini, nanti di Yogyakarta juga meminta kalau gubernur dan wakil gubernurnya sekarang adalah sultan dan paku alam, nanti bupati dan wakil bupatinya juga harus keturunan mereka,” katanya.

UU Otsus memang menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua sebagai subjek pemerintahan. Tapi penduduk Papua adalah juga orang asli Papua dan orang yang lain.

Mengenai adanya persaingan antara penduduk asli dan pendatang, Maria mengatakan hal itu memang terjadi. Namun untuk menjadikan penduduk asli sebagai pemimpin tidak otomatis dilakukan dengan mengubah pasal. Perlu dipertimbangkan bagaimana masyarakat asli bisa meraih posisi pemimpin

“Karena kalau semua dikhususkan, nanti di Papua yang boleh hanya orang Papua sendiri pemimpinnya. Nah, ini nanti ada raja-raja kecil di daerah,”ujar Maria.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kholilullah Pasaribu mengatakan tututan ini menghambat hak politik sebagian penduduk Papua. Sebab dari empat juta penduduk Papua, penduduk bukan asli Papua jumlahnya mencapai dua juta.

Kholil mengatakan kekhususan Papua telah diakomodir dalam UU Otonomi Khusus yang mewajibkan calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai orang asli Papua. Selain itu, dalam UU Pilkada juga tidak ditemukan ketentuan yang membatasi orang asli Papua untuk dipilih di pilkada Kabupaten/Kota.

Namun di sisi lain, pemohon sebaiknya mengumpulkan petisi dukungan dari kepala-kepala suku di Papua, yang jumlahnya ribuan. Hal ini untuk memastikan tuntutan pemohon merupakan keinginan seluruh masyarakat asli Papua.

“Jangan sampai ini hanya kepentingan segelintir elit demi kepentingan politik yang pragmatis dan oportunis,” katanya.

DEBORA BLANDINA SINAMBELA