348 Pelanggaran Pidana di Pemilu 2019, Kebanyakan Diganjar Sanksi Ringan

Indonesian Legal Roundtable (ILR) merilis hasil kajian mengenai tindak pidana pemilu pada Pemilu Serentak 2019. Hasil kajian menunjukkan beberapa fakta. Simak sebagai berikut.

Terdapat 348 kasus putusan pidana pemilu dengan putusan inkracht.

Dari 348 kasus, hanya ada 13 kasus terkait Pemilihan Presiden (Pilpres). Sisanya, 335 kasus terkait dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Jumlah ini meningkat dari jumlah kasus pidana di Pemilu 2014 sebanyak 203 kasus.

“Dari 348 kasus yang sudah divonis bersalah, ada semacam kenaikan yang cukup signifikan, yakni hampir 60 persen. Kalau 2014 itu hanya 203 kasus,” kata Direktur ILR, Firmansyah Arifin, pada diskusi “Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Dinamika dan Masalahnya” di kantor ILR, Pancoran, Jakarta Selatan (7/10).

Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan putusan pidana pemilu terbanyak

Di provinsi Sulawesi Selatan, 40 kasus tindak pidana diputus secara inkracht. Jumlah ini terbanyak dari seluruh provinsi di Indonesia. Terbanyak selanjutnya, Sulawesi Tengah dan Sumatera Utara dengan 24 putusan, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 21 putusan, serta Maluku dan Maluku Utara dengan 19 putusan. Secara umum, tindak pidana terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.

“Semua daerah bisa dikatakan ada kasus pidana pemilu yang sudah divonis oleh pengadilan. Range daerah, paling banyak di Sulawesi Selatan. Ini sama juga dengan 2014, Sulawesi Selatan terbanyak putusan tindak pidana pemilunya,” jelas Firman.

Pidana pemilu terbanyak terjadi di tahap kampanye

Tahapan Pemilu 2019 telah berlangsung sejak September 2017, namun kasus tindak pidana pemilu mulai ada pada November 2018. Dari berbagai tahapan, tindak pidana pemilu paling banyak terjadi dan diputus di sepanjang tahap kampanye.

“November 2018, sudah ada pengadilan yang bekerja. Kampanye itu mulai bulan September 2018. Jumlahnya stabil sampai April, lalu melonjak tajam di bulan Mei sampai Juli 2019. Menurun lagi sampai akhir Agustus. Dilihat dari tahapannya, paling banyak ditemukan pada saat kampanye,” terang Firman.

28 kasus divonis bebas

Dari 348 kasus pidana, 320 kasus terbukti dan divonis bersalah, sedang 28 kasus lainnya dinyatakan bebas. Adapun rincian sanksinya, 170 kasus divonis pidana percobaan dan 131 vonis penjara.

“Pidana percobaan, pelakunya tidak dipenjara. Yang 131 kasus, divonis penjara baik atas perintah langsung hakim atau konsekuensi jatuhnya pidana tersebut,” tukas Firman.

Dari jumlah tersebut, 13 kasus divonis penjara kurang dari satu bulan, 190 kasus penjara satu sampai tiga bulan, 76 kasus penjara empat sampai enam bulan, 22 kasus penjara lebih dari enam bulan, dan 19 kasus penjara lebih dari satu tahun.

Tindak pidana pemilu terbanyak adalah kasus politik uang

ILR menemukan ada dua puluh jenis pelanggaran tindak pidana pemilu yang disidangkan oleh pengadilan, yakni politik uang, mengubah hasil perolehan suara, mencoblos lebih dari satu kali, kepala desa tidak netral, kampanye di tempat ibadah atau tempat pendidikan, mencoblos menggunakan surat suara orang lain, menggunakan ijazah palsu, melanggar netralitas aparatur sipil negara (ASN), merusak alat peraga kampanye, kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, menghina suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), kampanye diluar jadwal, kampanye melibatkan ASN, melakukan kekerasna atau mengganggu ketertiba, membuat kotak suara tidak tersegel, menghilangkan hasil rekap suara atau Form DA1, menyebabkan hilangnya hak pilih, mengacaukan kegiatan kampanye, memalsukan data pemilih, dan kampanye mengajak warga negara Indonesia yang belum memiliki hak pilih.

Dari dua puluh jenis pelanggaran kampanye tersebut, paling banyak terjadi yakni politik uang dengan 72 kasus. Terbanyak kedua, pelanggaran mengubah hasil perolehan suara dengan 56 kasus. Terbanyak ketiga, pelanggaran mencoblos lebih dari satu kali dengan 46 kasus.

“Dari jenis pelanggarannya, di Pemilu 2019, kita temukan paling banyak politik uang. Faktanya, ada 72 kasus terkait politik uang. Lainnya, manipulasi suara atau penggelembungan suara. Itu 56 kasus,” ujar Firman.

Caleg, aktor yang paling banyak melakukan tindak pidana

86 kasus tindak pidana dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg). Sementara 59 kasus pelanggaran dilakukan oleh masyarakat umum, 59 kasus oleh penyelenggara pemilu, 33 kasus oleh Tim sukses, 30 kasus oleh kepala desa, dan sisanya lain-lain. Bupati tercatat sebagai pelaku pelanggaran pidana pemilu sebanyak tiga kali, dan ASN 17 kali.

“Warga masyarakat yang melakukan itu ada ibu rumah tangga, ada petani, buruh, dan sebagainya. Penyelenggara pemilu juga tidak sedikit yang divonis. Paling banyak, 26 kasus di tingkat PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) juga ada. Staf KPU juga ada,” tutur Firman.

Dari caleg, ILR mencatat caleg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang paling banyak divonis karena pelanggaran pidana pemilu. Rinciannya, 19 kasus dilakukan oleh caleg Partai Gerindra, 12 caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 11 caleg Partai Amanat Nasional (PAN), 9 caleg Partai Persatuan Indonesia (Perindo), 5 caleg Partai NasDem, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 4 caleg Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 3 caleg Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Beringin Berkarya (Berkarya), 2 caleg Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia (PKPI), dan 1 dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan caleg Dewan Perwakilan Daerah ((DPD).

“Dari semua caleg, sebagian besar caleg DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Hanya lima yang terkait dengan caleg DPR RI dan 1 caleg DPD yang terbukti bersalah. Ini catatan kita dari 348 tadi,” pungkas Firman.

Banyaknya kasus pelanggaran pidana yang berhasil divonis oleh penegak hukum diapresiasi oleh ILR. Menurut ILR, jumlah tersebut menunjukkan kinerja lembaga peradilan yang cukup baik. Namun, ILR menyayangkan vonis yang diberikan terlalu ringan dan adanya perbedaan vonis terhadap kasus yang sama. Sebagai contoh, kasus politik uang di Maluku. Dua kasus pidana yang sama diberikan vonis berbeda.

“Satunya divonis bebas, satunya divonis bersalah. Vonisnya sama, pidanannya sama. Caleg memberikan janji hitam diatas putih kepada para pendukungnya. Kalau menang, akan diberikan sesuai dengan yang ditulis. Oleh pengadilan, yang satu divonis bebas, tapi di peradilan lainnya memvonis bersalah. Malah, ada kasus pidana manipulasi suara oleh PPK, di satu wilayah yang sama, yang satu divonis 1 tahun 6 bulan dan denda 20 juta, tapi di kasus lain hanya 1 bulan dan denda 1 juta,” urai Firman.

ILR merekomendasikan agar ada penguatan perspektif para hakim yang menangani tindak pidana pemilu. Memberikan vonis hukuman yang berefek jera dinilai penting agar tak pelanggaran pidana pemilu tak terjadi lagi. ILR juga mendorong agar penanganan pelanggaran pidana pemilu digelar secara terbuka.