September 13, 2024

Evi Novida Ginting Akan Gugat Putusan DKPP

Kamis (19/3), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menggelar konferensi pers di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam konferensi itu, KPU RI menyatakan keberatan dengan pemberitaan beberapa media yang dinilai telah salah menafsirkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No.317/2019. Putusan tersebut tidak memberhentikan tetap anggota KPU RI atas nama Evi Novida Ginting karena telah mengubah perolehan hasil suara, melainkan karena perbedaan pandangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan oleh calon anggota legislatif (caleg) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon.

“Dalam kesempatan ini KPU menggunakan hak jawab dengan menjelaskan bahwa dalam kasus ini, anggota KPU RI, Evi Novida Ginting Manik sama sekali tidak berinisiatif atau memerintahkan atau mengintervensi atau mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara tersebut. Dalam perkara Kalimantan Barat ini, terdapat dua putusan yang berbeda dari putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum),” kata anggota KPU RI, Pramono Ubaid.

Duduk perkara masalah yang diadili DKPP

Evi menjelaskan pokok permasalahan Putusan DKPP. Kasus bermula saat KPU Kabupaten Sanggau menetapkan Surat Keputusan rekapitulasi hasil perolehan suara caleg DPRD Kabupaten Sanggau. Surat Keputusan tersebut digugat oleh Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK memanggil semua pihak, termasuk Bawaslu Kabupaten Sanggau, Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat, dan Bawaslu RI untuk memberikan kesaksian dan alat bukti. Dalam putusannya, MK mengoreksi perolehan suara Hendri Makaluasc, namun tidak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri. MK menetapkan suara Hendri sebesar 5.384 suara, dari sebelumnya 5.325 suara.

Pasca keluarnya Putusan MK, KPU Kalimantan Barat berkonsultasi kepada KPU RI. KPU RI kemudian memerintahkan KPU Kalimantan Barat untuk melaksanakan Putusan MK, dan KPU Kalimantan Barat menetapkan perolehan suara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri sesuai Putusan MK.

Kecewa dengan Putusan MK yang tak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri, Hendri Makaluasc dan Cok Hendri mengajukan sengketa ke Bawaslu. Bawaslu memenangkan Hendri Makaluasc dan mengoreksi suara Cok Hendri. Akibat Putusan Bawaslu, Hendri Makaluasc menjadi caleg terpilih.

“Sehingga posisi berubah. Tadinya Hendri Makaluasc tidak terpilih. Lalu atas Putusan Bawaslu, Hendri Makaluasc jadi terpilih dan Cok Hendri dikoreksi sehingga tidak terpilih,” ujar Evi.

Putusan Bawaslu dilaksanakan oleh KPU Kalimantan Barat. Namun kemudian KPU RI memerintahkan KPU Kalimantan Barat untuk kembali menaati Putusan MK, sebab berdasarkan Pasal 24 C Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat, dan tak ada lembaga lain yang berhak menafsirkan putusan MK. Dan, berdasarkan UU Pemilu No.7/2017, hanya MK yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. KPU Kalimantan Barat lantas kembali menjalankan Putusan MK.

“Inilah yang kita sampaikan ke KPU Kalbar (Kalimantan Barat). Semua harus konsisten melaksanakan Putusan MK. Sehingga KPU RI meminta agar KPU Kalbar laksanakan Putusan MK kembali. Jadi, tidak ada KPU RI meminta mengurangi perolehan suara. Yang ada, hanya melaksanakan Putusan MK,” tegas Evi.

Evi berkali-kali menegaskan bahwa yang dilakukan KPU RI hanyalah melaksanakan Putusan MK. KPU RI meyakini bahwa pihaknya, begitu pula lembaga lain, tak berwenang menafsirkan Putusan MK.

Evi menggugat Putusan DKPP No.317/2019 

Evi menilai Putusan DKPP No.317/2019 tak sesuai dengan kebenaran dan keadilan, serta cacat hukum. Ia berkeberatan dan menhyatakan akan mengajukan gugatan.

“Saya akan mengajukan gugatan untuk membatalkan Putusan DKPP No.317/2019. Dalam gugatan tersebut, saya akan menyampaikan alasan-alasan lainnya agar pengadilan dan publik dapat menerima apa yang sudah dialami saya,” tutur Evi.

Alasan yang disampaikan Evi sebagai dasar gugatannya yakni pertama, pengadu dalam Putusan DKPP No.317/2019, yakni Hendri  Makaluasc sudah mencabut pengaduannya dalam sidang DKPP tanggal 13 November 2019. Pencabutan disampaikan Hendri kepada Majelis DKPP secara langsung dalam sidang dengan menyampaikan Surat Pencabutan Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dengan dicabutnya pengaduan, maka DKPP tak lagi dapat mengadili aduan.

“Akibat dari pencabutan Pengaduan oleh Pengadu maka diartikan Pengadu sudah menerima dan sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas terbitnya Keputusan KPU Kalbar No.47/2019. Dan DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik,” urai Evi.

Kedua, Putusan DKPP tidak melaksanakan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No.2/2019 yang mewajibkan agar pleno pengambilan keputusan dihadiri oleh paling sedikit lima anggota DKPP. Putusan DKPP ini hanya diambil oleh empat anggota.

“Dengan demikian, putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan,” tandas Evi.

Evi juga berkeberatan dengan proses persidangan yang digelar oleh DKPP. Ia tak menghadiri sidang kedua perkara karena mesti menjalani operasi usu buntu sehingga tak dapat memberikan pembelaan diri. Ia menilai, sebagai pihak yang terdampak pada kasus ini, seharusnya diberikan hak untuk membela diri di persidangan.

“Jadi, pada sidang itu, saya tidak bisa memberikan pembelaan pada kasus ini. Padahal, jika kasus ini dianggap sangat berat dan bisa berakibat pada posisi dan kedudukan saya sebagai penyelenggara pemilu, harusnya saya diberikan kesempatan untuk membela diri di persidangan  secara verbal dan langsung. Ini juga dijamin oleh Peraturan KDPP,” ucap Evi.

Gugatannya terhadap Putusan DKPP dimaksudkan untuk tak hanya membela kepentingan individu, namun martabat seluruh penyelenggara pemilu. Evi juga berharap, aka nada refleksi terhadap seluruh putusna yang dikeluarkan oleh DKPP.

“Sehingga Putusan DKPP yang tidak berdasarkan kebenaran dan keadilan ini memberikan kenyamanan dan ketenangan kepada seluruh penyelenggara pemilu yang menjalankan tugas sehari-harinya, menegakkan undang-undang dan menjalankan putusan MK,” tutup Evi.