November 27, 2024

Kado Bawaslu untuk Perpu

Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim .

Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif.

Pada Kamis 9 April 2020 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) genap berusia 12 tahun. Kalau dilihat dari usia biologis maka usia 12 tahun sering juga disebut dengan usia remaja,yaitu peralihan dari anak-anak menuju dewasa.

Dari perkembangan  dan keberadan Bawaslu sekarang tentu menemui dinamika dan tantangan kelembagaan yang tidak selalu mulus. Kita baru saja menyaksikan piilihan untuk menunda tahapan Pilkada 2020. Bahkan opsi menunda pilkada dapat dikatakan sebagai satu-satunya pilihan di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengkhawatirkan.

Kesimpulan pada poin pertama dalam rapat dengar pendapat antara DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu pada 30 Maret 2020, mengakui bahwa pandemi Covid-19 masih belum terkendali. Melihat penyebarannya yang semakin meluas hampir di 32 provinsi, Pilkada 2020 di 270 daerah, harus ditunda.

Begitulah akhir dari rapat dengar pendapat antara DPR Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Lantas bagaimana dengan nasib Perpu yang sampai aaat ini belum juga dikeluarkan oleh pemerintah?

Bawaslu dan Perpu

Perintah pelaksanaan pilkada pada September 2020 ada di Pasal 206 ayat (1) UU No. 10/2016. Artinya, jika hendak menunda pelaksanaan pilkada di luar waktu yang sudah ditentukan oleh UU tersebut, diperlukan perubahan UU.

Pilihan melakukan perubahan dapat dilakukan dengan dua pilihan. Pertama, melakukan revisi cepat terhadap UU No. 10/2016. Kedua, presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

Melihat kondisi saat ini maka hal yang paling logis dilakukann dengan dikelurakannya perpu penundaan Pilkada 2020. Jika Perpu suda terbentuk maka lembaga yang paling berdampak sebenarnya adalah Bawaslu dan penyelelengara pemilu lainya. Para penyelenggara pemilu ini bisa menginisiasi usulan dalam pembentukan Perpu tersebut.

Jika kita merevisi pandangan sebelumnya mengatakan bahwa Perpu mesti menempatkan jadwal pilkada lanjutan dalam desain keserentakan pemilu nasional-lokal sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019. Maka Bawaslu perlu menginisiasi hal diatur di dalam Perpu penundaan Pilkada 2020.

Pertama, implikasi teknis penundaan pilkada yang mengakibatkan terjadinya perubahan aturan di UU Pilkada. Perpu dinilai wajib memuat mekanisme penundaan pilkada, waktu pemungutan suara, dan skema pengembalian anggaran pilkada kepada Pemerintah Daerah.

Masa kerja PPS (Panitia Pemungutan Suara) ada di UU Pilkada. Disebutkan PPS dibentuk enam bulan sebelum pemungutan suara hal ini perlu menjadi perhatiaan jika terebentuknya PPS dengam melihat masa kerjanya.

Kedua, Bawaslu bisa mengusulkan agar pilkada dilaksanakan setelah pertengahan Juni 2021, dan waktu pemungutan suara diserahkan kepada KPU. Waktu yang cukup dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ikutan dari Coronavirus disease 2019 (Covid-19) sehingga Perpu tidak perlu keluar dua kali. Maka perlu dilakukan dengan hitungan yang matang terkait kapan Covid-19 ini akan berakhir karena ini akan berdampak pada berubahnya aturan.

Ketiga, Bawaslu mengusulkan agar anggaran dibiayai oleh APBN dengan dibantu APBD. Melihat pengalaman pada tahapan Pilkada 2020 ini begitu lambatnya pencairan anggaran pilkada sehingga bisa mempengarui tahapan yang akan dilaksanakan. Hal ini karena masih banyak Pemda yang belum punya kesadaran penuh terkait pembiayaan pilkada yang bersumber dari APBD.

Oleh karena Bawaslu harus menegaskan kepada pemerintah bahwa Perpu dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mencegah kekacauan elektoral akibat pilkada serentak yang dilaksanakan pada 2024, bersamaan dengan pemilu nasional. Pilkada lanjutan 2020 dirasa dapat digabungkan dengan Pilkada serentak bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir hingga Juni 2022.

Bagi daerah yang akhir masa jabatannya setelah Juli 2022 sampai dengan 2024, pilkadanya dilaksanakan setelah Juni 2022 atau awal 2023. Ini relevan untuk masuk Perpu karena ini bagian untuk mengatasi situasi genting kalau dipaksakan pilkada nasional di 2024.

Keempat,Bawaalu bisa mengusulkan pengulangan tahapan pendaftaran calon perseorangan. Perlu menjadi pertimbangan dalam Pemangkasan jadwal tahapan pendaftaran calon dari jalur perseorangan yang sebelumnya dilakukan sesuai  dengan perubahan terhadap PKPU Nomor 15 Tahun 2019 menjadi PKPU Nomor 16 Tahun 2019 tentang syarat penyerahan dukungan bagi bakal calon perseorangan. Harus ada kesadaran adanya perubahan jadwal untuk pendaftaran calon perseorangan yang awalnya dilaksanakan selama 4 bulan dipangkas menjadi 5 hari .

Kelima, Bawaslu mengusulkan agar dalam Perpu terkait rekapitulasi elektronik agar tidak masuk dalam Perpu perubahan pilkada. Ini mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penerapan rekapitulasi elektronik pada pemilu masih minim.

Hal tersebut menjadi kendala yang masih harus dipecahkan jika rekapitulasi elektronik akan diterapkan pada Pilkada Serentak 2020. Dalam pasal 84 ayat 2 UU Pilkada telah menutup pintu bagi sistem rekapitulasi elektronik ini untuk bisa diterapkan.

Pasal itu menyatakan pemungutan suara adalah pemberian tanda pada kertas suara. Namun, peluang untuk menggunakan sistem tersebut sedikit terbuka di pasal 98 ayat 3 UU Pilkada.

Penghitungan suara yang dilakukan secara elektronik dilakukan secara manual dan/atau elektronik. Pasal 111 ayat 1 UU Pilkada mengatakan perhitungan suara pemilihan secara manual dan atau melakukan sistem perhitungan suara secara elektronik diatur dengan peraturan KPU.

Regulasi juga membuka peluang bagi KPU untuk menerapkan sistem rekapilutasi elektronik. Kalau dilakukan secara manual maupun elektronik maka harus dituangkan dalam peraturan KPU. Mandat ini yang seharusnya cukup tegas pada KPU untuk menyusun detail-detail teknikalitas pelaksanaan e-rekap. Jika melihat kondisi geografis di Indonesia dengan keterbatasan fasilitas maka belum saatnya untuk diterapkannya di Pilkada 2020 .

Keenam, Bawaslu mengusulkan penentuan pejabat kepala daerah perluh menjadi pertimbangan matang dalam Perpu. Lantaran Indonesia dilanda Covid-19, ada sekitar 200 daerah yang harus menunda pilkada tahun ini. Dengan begitu, akan terjadi banyak kekosongan jabatan setelah periode kepemimpinan kepala daerah terkait berakhir.

Perpu penundaan pilkada harus mengatur lebih spesifik siapa saja yang bisa mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Mulai dari pejabat setingkat bupati, walikota, dan gubernur. Mungkin perlu dipertimbangkan jabatan apa yang memadai agar pemenuhan pejabat kepala daerah itu bisa dilakukan pemerintah.

Bawaslu bisa merekomendasikan dan meminta agar pembahasan Perpu penundaan pilkada dilakukan secara transparan. Langkah ini dianggap penting guna mencegah masuknya pasal-pasal tidak penting dan akhirnya merugikan masyarakat pada umumnya termasuk Bawaslu dan penyelenggara pemilu lainnya.

Dari keenam usulan Bawaslu di atas harus menjadi ikhtiar Bawaslu dalam memberikan usul terkait Perpu penundaan Pilkada 2020 pada usia yang ke 12 tahun ini akan menjadi kado istimewa. Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi. []

NASARUDIN SILI LULI

Pegiat Kebangsaan dam Kenegaraan