September 13, 2024

Panggilan Tugas Memperkuat Pintu Demokrasi

Lembaga penyelenggara pemilu memiliki dua pejabat baru. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dilantik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum dan Didik Supriyanto sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Keduanya sudah banyak makan asam garam di urusan kepemiluan.

Jumat (20/3/2020) siang telepon seluler Didik berdering. Bersama istrinya, ia tengah dalam perjalanan pulang dari kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Pasangan itu baru saja menanyakan sejumlah hal terkait anak mereka yang tengah menuntut ilmu di Portugal, menyusul kebijakan lockdown yang ditetapkan di negara tersebut terkait pandemi Covid-19.

Panggilan telepon itu tidak diangkatnya sebab berasal dari nomor tak dikenal. Setibanya di rumah, ia membaca pesan bahwa sang penelepon adalah sekretaris Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sang penelepon lalu mengirimkan foto keputusan presiden tentang penunjukannya sebagai anggota DKPP. Didik masih tak yakin. Sejumlah konfirmasi dari beberapa teman yang akhirnya meyakinkan dirinya.

”Jawabannya (dari teman) benar. Ya udah bismillah ajalah,” kenang Didik saat itu.

Didik menjadi anggota DKPP untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Harjono. Akhir tahun lalu, dia dilantik Presiden Joko Widodo menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Padahal sesungguhnya, sudah sekitar tiga tahun Didik Supriyanto melepaskan segala urusan kepemiluan. Salah seorang pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu tengah menikmati dunia baru yang disebutnya ”bisnis kecil-kecilan bersama kawan SMP”. Untuk keperluan itu, dunianya tiga tahun terakhir adalah Jakarta-Semarang-Tuban.

Pada 2016, Didik sudah mundur dari segala urusan kepemiluan. Tahun itu pula, Didik menyelesaikan tugas sebagai pemimpin redaksi media daring merdeka.com yang diembannya sejak 2012. Ia bergabung di merdeka.com dengan sejumlah kesepakatan. Pertama, hanya mau dikontrak lima tahun. Selain itu, tetap diperbolehkan mengurusi pemilu dan boleh menulis di media massa lain.

Satu tahun bergabung di merdeka.com, Didik diminta menjadi Pemimpin Redaksi Kapanlagi Group yang juga membawahkan merdeka.com. Salah satu tugasnya, menegakkan prinsip maupun etika jurnalistik di lembaga dengan sejumlah usaha media massa daring itu.

Prinsip dan etika jurnalistik menjadi bagian tak terpisahkan dari Didik. Pada 1994, ia turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), setelah dibredelnya tabloid Detik. Tahun 1999-2001, Didik adalah Sekretaris Jenderal AJI. Pada saat bersamaan, ia juga merupakan wakil pemimpin redaksi di media daring detik.com.

Pada saat itulah, Didik juga mengikuti isu kepemiluan. Hingga di pertengahan 2003, ia mengirim salah satu laporan dari detik.com ke mailing list AJI mengenai pendaftaran calon anggota Panwaslu yang dibuka oleh KPU. Singkat cerita, Didik lalu ditunjuk sebagai wakil AJI untuk mendaftar. Ia lolos dan mengabdi sekitar 17 bulan di Panwaslu.

Didik lalu kembali lagi ke detik.com, walaupun selama bertugas di Panwaslu ia tidak pernah benar-benar meninggalkan kantor lamanya tersebut. Tahun 2005, bersama sejumlah kawan, ia turut mendirikan Perludem.

Perludem pada awalnya disebut Didik sebagai tempat kangen-kangenan dan bertegur sapa. Terutama di antara pegiat pemilu yang sebelumnya banyak berinteraksi di Panwaslu.

Bersama Topo Santoso, Siti Noordjannah Djohantini (Ketua Umum Aisyiyah 2015-2020), dan sokongan dari sejumlah orang di antaranya Prof Komaruddin Hidayat serta Rozy Munir (almarhum), Perludem bergeliat. Keunggulan Perludem yang sekarang dipimpin Titi Anggraini itu berada pada analisis di sisi hukum dan politik terkait kepemiluan.

Didik yang lulus program sarjana ilmu pemerintahan Universitas Gadjah Mada pada tahun 1993 itu juga sempat meneruskan studi S-2. Tahun 2007-2009, ia menempuh studi tersebut dan lulus dari program master ilmu politik Universitas Indonesia

Pada masa itu, Didik tetap bertugas di detik.com sebagai wakil pemimpin redaksi. Tahun 2012, ia mundur dari detik.com dan di tahun yang sama ia bergabung dengan merdeka.com sebagai pemimpin redaksi.

Tantangannya kini di DKPP adalah memosisikan dan memfungsikan lembaga tersebut sebagaimana dikehendaki undang-undang. Menurut dia, adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu, mendorong pembentuk undang-undang untuk membuat KPU, Bawaslu, dan DKPP sama-sama memiliki sifat tetap, mandiri, dan nasional. Namun, jika setiap lembaga tidak menyadari posisinya, akan terjadi kompetisi di antara lembaga penyelenggara pemilu.

”Kalau para penyelenggara, orang-orang di KPU, Bawaslu, DKPP tidak menyadari posisi dan fungsinya, yang menjadi korban, atau yang (akan) terjadi, ketidakpastian hukum,” kata pria yang lahir di Tuban, Jawa Timur, 6 Juli 1966, itu.

Setelah mengambil jeda sekitar tiga tahun, kiprah Didik kini dinanti di DKPP. Pengalaman Didik di Dewan Pers, dengan sidang-sidang etik yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peran DKPP yang bakal pula menyelenggarakan sidang etik. Sekalipun menurut pendapatnya, persidangan etik di DKPP tidak akan semudah di Dewan Pers. Ada pertarungan kepentingan, ideologi, hingga perebutan kursi yang membuat tugasnya lebih kompleks.

Kembali ke ”Rumah”

Sementara bagi I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, pelantikannya sebagai anggota KPU dapat diibaratkan seperti perjalanan kembali ke ”rumah”.

Raka yang lahir di Jembrana, Bali, pada 21 November 1970 adalah tamatan program sarjana teknik kimia di Universitas Gadjah Mada. Ia lulus tahun 1999 setelah menuntaskan perjuangan menuju era reformasi bersama kawan-kawannya.

”Saya bersama teman-teman waktu itu (bersepakat), ya sebaiknya menyelesaikan skripsi setelah ini (perjuangan reformasi) selesai, gitu,” tutur Raka.

Lulus kuliah, ia kembali ke Denpasar. Raka menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Tahun 2007, ada salah seorang rekan diskusinya ingin mendaftar seleksi KPU. Akan tetapi, rekannya itu urung. Raka yang justru dibawakan formulir pendaftaran. Singkat cerita, ia terpilih menjabat anggota KPU Bali periode 2008-2013.

Di sela-sela itu, pada tahun 2010 persisnya, Raka kuliah lagi di program S-1 Ilmu Hukum Universitas Udayana Bali. Pada saat yang relatif sama, ia juga mengambil program S-2 Studi Kajian Budaya di Universitas Udayana. Dua perkuliahan di dua jurusan berbeda itu diselesaikannya pada 2015 dan 2016. Hasilnya juga sangat memuaskan dengan IPK 3,91 (ilmu hukum) dan IPK 4,0 (kajian budaya).

Raka lalu terpilih menjadi Ketua KPU Bali untuk periode 2013-2018. Hari terakhirnya bertugas dalam jabatan itu pada 24 Juli 2018 tatkala penetapan pasangan calon gubernur/wakil gubernur Bali terpilih. Esok harinya, Raka dilantik sebagai anggota Bawaslu Bali.

”Proses seleksi (di Bawaslu yang sebelumnya diikuti) sepengetahuan pimpinan dan ada surat persetujuan tertulis dari KPU (bahwa) saya mengikuti (seleksi) itu,” kata Raka.

Pada masa tugasnya sebagai Ketua KPU Bali itu pula, Raka sempat mengikuti seleksi untuk menjadi anggota KPU RI. Harapannya agar bisa berperan lebih luas dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Raka tidak lolos. Ia hanya bisa berada di peringkat ke-8.

Takdir berkata lain saat anggota KPU, Wahyu Setiawan, ditangkap KPK. Nama Raka kembali muncul untuk menggantikannya. Raka juga mengetahui ihwal tersebut dari sejumlah media massa. Sehari sebelum ia menghadiri undangan resmi dari DPR untuk menghadiri rapat paripurna dengan agenda persetujuan Raka sebagai pengganti Wahyu, Raka baru beroleh konfirmasi resmi.

”Paginya (saya) tiba di Jakarta (menghadiri) acara Bawaslu. Sorenya saya berangkat lagi ke Jakarta,” kenang Raka seputar momen di DPR pada 27 Februari 2020 tersebut.

Ia hanya tertawa saat ada yang menyindirnya bahwa sebagai sarjana teknik kimia, dirinya sudah memiliki chemistry dengan dunia kepemiluan.

Raka mengatakan, hal pertama yang dilakukan seusai dilantik adalah koordinasi internal. Termasuk di dalamnya adalah pembagian tugas divisi.

Kedua, ia memandang kelanjutan Pilkada 2020 harus sama-sama dicarikan solusinya. Tak hanya soal kapan pilkada dilanjutkan, tetapi juga dampak lain yang ditimbulkan oleh penundaan itu. Mencari solusi dari persoalan-persoalan itu tidak mudah. Yang terutama karena belum jelas kapan pandemi Covid-19 bakal berakhir.

”Perlu pemikiran aspek hukum (terkait) teknis penyelenggaraan, aspek peserta, dan bagaimana pemutakhiran data pemilih, dan verifikasi (dukungan bakal) calon perseorangan di tengah situasi ini,” ujarnya.

Setumpuk pekerjaan memang langsung menanti Didik dan Raka. Tidak ada waktu bagi keduanya untuk berleha-leha. Selamat bekerja Raka dan Didik, memperkuat KPU dan DKPP, yang menjadi bagian dari pintu berjalannya demokrasi. (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/19/panggilan-tugas-memperkuat-pintu-demokrasi/