November 28, 2024

Gelombang Rasisme dan Pilkada Papua

Gelombang demonstrasi yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa belahan negara lain ternyata mampu memantik semangat yang sama di Indonessia, khususnya di Papua. Kasus kekerasan terhadap George Floyd, pria kulit hitam asal Minneapolis Amerika Serikat, memang tak sama persis dengan rasisme di Indonesia terhadap Papua. Namun, ada persinggungan nyata mengenai ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat Papua dibandingkan dengan daerah lain.

Aksi demonstrasi menuntut pembebasan tujuh orang warga Papua yang tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan terkait dengan dakwaan makar tidak hanya terjadi di Jakarta. Aksi serupa juga dilakukan serentak di beberapa daerah di Indonesia. Tentu Papua menjadi pusat aksi tersebut. Seperti yang diperkirakan banyak kalangan, bahwa kondisi ini akan memuncak pada perhelatan pesta demokrasi lima tahunan di tanah Papua. Pemilihan kepala daerah.

Korelasi Pilkada Papua

Benar apa yang disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo. Semua pihak terkait tetap harus waspada, karena tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berusaha menjadi provokator. Kejadian di Amerika Serikat mungkin dimanfaatkan untuk menyulut emosi publik yang dapat mengganggu kedamaian di Papua khususnya, di Indonesia pada umumnya.

Tidak jarang kemudian aksi-aksi yang terjadi di Papua dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengambil momentum dan penggiringan opini dengan dalil persoalan ketidakadilan menjelang pelaksanaan Pilkada 2020 di Papua.

Provinsi Papua sendiri ada sebelas kabupaten yang menyelenggarakan pilkada. Nama-nama kabupatennya adalah Nabire, Asmat, Keerom, Waropen, Merauke, Membramo Raya, Pegunungan Bintang, Boven Digoel, Yahukimo, Supiori, dan Yalimo.

Dari nama kabupaten itu, ada yang punya riwayat pemungutan suara ulang (PSU) dan konflik sosial serta permasalahan proses demokrasi. Nama-nama kebupatennya adalah Waropen, Mamberamo Raya, Asmat, Yahukimo, Nabire, dan Pegunungan Bintang. Ada beberapa langkah strategis menurut hemat penulis di tengah buruknya keamanan dan ketertiban masyarakat menjelang Pilkada 2020 di Papua.

Perlu adanya pembaharuan ulang Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2020 yang dikeluarkan oleh Bawaslu. Pada Februari 2020, sebelum kesadaran pandemi Corona, Bawaslu telah meluncurkan IKP 2020. IKP ini dirancang untuk memetakan potensi kerawanan Pilkada 2020 yang berlangsung di 270 daerah dengan fungsi antisipasi dan pencegahan dini.

Hasil penelitian IKP Pilkada 2020 menyoroti dari 261 Kabupaten/Kota didapati tiga daerah yang memiliki kerawanan level tertinggi. Ada  Kabupaten Manokwari, Kabupaten Mamuju, dan Kota Makassar. Sedangkan daerah dengan kerawanan level terendah adalah Kabupaten Lombok Utara.

Tak hanya itu, IKP Pilkada 2020 juga menunjukkan dari 9 provinsi yang mengadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Hasilnya, Provinsi Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan kerawanan paling tinggi. Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan kerawanan terendah.

Sayangnya, dari hasil IKP di atas Provinsi Papua tidak masuk dalam daerah rawan Pilkada  2020. Padahal, kita ketahui hal yang sering muncul sebelum dan setelah pilkada, konflik ini terus bergulir.

Faktor penyebab kerawanan lain yakni adanya daerah yang menggunakan sistem noken, yang masyarakatnya tidak atau belum menerima one man one vote. Memang narasi kuasa lokal di Papua cukup tinggi baik dari kepala suku, kepala adat juga perang suku masih sering terjadi  setelah pilkada. Lalu ada serangan dari kelompok bersenjata. Juga ada tantangan jumlah pemilih yang sampai saat ini masih misteri karena kualitas dan akurasi DPT masih menuai banyak permasalahan di tingkat daerah.

Langkah Antisipasi

Harus menjadi perhatian bersama dari semua pemangku kepentingan menjelang pilkada. Pelaksanaan perhelatan pilkada di sebelas kabupaten dalam Provinsi Papua dibayangi gelombang demonstrasi atas nama rasisme. Semoga ini tidak sampai meluas ke daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada .

Pertama, IKP perlu diperbarui oleh Bawaslu secara berkala lantaran adanya pandemi Corona yang telah dijadikan bencana nasional nonalam. Tetapi menurut hemat penulis, jika IKP sebelum Papua tidak masuk dalam daerah rawan pilkada, maka IKP selanjutnya perlu memasukan Papua dalam daerah rawan tinggi dengan berpatokan pada riwayat pelaksanaan pilkada sebelumnya.

Hal ini dilakukan guna memantapkan fungsi penceghan dini jika ada gangguan. Yang seperti diuraikan di atas ketika muncul kepermukaan. Belum lagi dengan situasi darurat kesehatan saat ini karena masyarakat Papua belum terbiasa dengan protokol kesehatan yang di canangkan oleh pemerintah pusat.

Tidak bisa dipandang sebelah mata. Terlebih, banyak proses atau tahapan pilkada sebelas kabupaten mengharuskan masyarakat atau pemilih melakukan pertemuan secara langsung.

Kedua, persoalan jumlah pemilih untuk mengatasi masalah jumlah pemilih itu, perlu peningkatan pengadaan KTP elektronik dan sensus penduduk. Ini dilakukan dengan cara, mendorong di daerah pegunungan pun diberlakukan e-KTP, sensus, dan lain-lain.

Selebihnya perlu dilakukan pencermatan yang serius terhadapan data DP4 yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bayangkan proses pencocokan data pemilih dari rumah ke rumah dengan begitu sulit medan dan kondisi geografis yang begitu menantang. KPU dan Bawaslu perlu ada semangat yang sama untuk bergandengan tangan memastikan DPT Pilkada 2020 di sebelas kabupaten bisa akurat dan berkualitas.

Ketiga, adalah potensi gangguan keamanan dari kelompok bersenjata. Pihak keamanan perlu perkuat dengan kegiatan intelijen dan pendekatan kepada kelompok-kelompok tersebut maupun operasi-operasi penegakan hukum keamanan. Bila perlu penambahan jumlah anggota, menggunakan sistem rayonisasi dari daerah terdekat yang tidak pemilu untuk membantu yang ada pemilu.

Gelombang demonstran isu rasis ini harus menjadi peringatan keras bagi perhatian dari pihak keamanan. Perlu dilakukan operasi intelejen guna mastikan aksi-aksi isu rasis ini murni untuk kemanusian jangan sampai ditunggangi oleh kelompok atau kepentingan elite politik tertentu sebagai legitimasi kemenangan pilkada.

Demokrasi lima tahunan di tanah Papua ini merupakan sirkulasi elite daerah untuk ke jenjang selanjutnya. Sehingga pelaksanaan demokrasi tidak hanya memenuhi unsur prosedural semata melainkan demokrasi subtansial untuk mendapatkan pemimpin masa depan Papua yang negarawan dan berkualitas. []

NASARUDIN SILI LULI

Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraaan